Merindukan Kesederhanaan Part 16
Merindukan Kesederhanaan Part 16
Mimpi kalian. Cita-cita kalian
Hari yang ditunggu itu akhirnya tiba juga. Apa lagi kalau bukan kepulangan Gita dari Australia. Ini lucu. Hati ku rasanya berbunga-bunga. Rasanya sungguh indah. Hamparan padang rumput yang hijau nan luas. Bunga-bunga bermekaran. Harum mewangi semerbak merasuk ke dalam sukma. Sukma ku dan sukma nya.
Setelah aku rayu sedemikian hingga, akhirnya Gita mau memberitahukan kapan dia akan pulang. Merayu? Iya, sebelumnya Gita ngambek karena ke polos an ku yang jujur sedang berada di kost Mba Ayu. Kalau bukan Mba Ayu yang memberi tahu ku, awalnya aku juga tidak menyadarinya. Jadi inget bagaimana sebel dan gemesnya Mba Ayu waktu itu.
***
Dengan mengenakan celana jeans dan polo shirt terbagus yang aku miliki, malam minggu ini ku beranikan diri ku untuk berkunjung ke rumah Gita. Ngapel? Iya. Masih jaman? Anggep aja sekalian silaturahmi. Oiya, kenapa aku bilang memberanikan diri? Karena saat aku bilang akan main ke sini, Gita tidak melarang, namun juga tidak mengiyakan.
TING TONG!!!
Suara bel rumah Gita yang sangat mainstream. Tidak lama kemudian pagar pun terbuka. Seperti biasa, pak satpam yang membukakan pintu. Senyum ramahnya selalu menghiasi wajahnya.
“Malem mas, mau ketemu Pak Weily atau, non Gita?” tanya nya.
“Ehm, non Gita pak, ada kan?”
“Ada mas, sebentar saya sampaikan ke non Gita. Mas nya tunggu sini dulu ya,” pesannya.
“Oke pak.”
Si bapak satpam pun langsung masuk ke dalam rumah. Aku menunggu di pintu pagar yang kecil, yang biasa digunakan untuk akses keluar masuk orang. Tidak lama kemudian orang yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga.
“Hei,” sapa ku. Kaku. Garing. Kikuk. Nervous. Isin. Dan temen-temennya, semua bergabung menjadi satu. Campur aduk.
“Ngapain lu kesini?”
“Lu?” Kok manggilnya lu lagi? Kemarin kan Aku-Kamu. Aku bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Masih kah dia marah? Aduh. Tapi Mba Ayu kemarin bilang Gita udah ga ada masalah. Kok masih jutek gitu?
“Mau ngambil oleh-oleh, hehe,” canda ku. Berharap suasana akan mencair.
“Oleh-oleh? Ada tuh, E’e kanguru, mau?” jawabnya ketus.
“Yah, kok gitu? Kemaren nawarin,” protes ku dengan nada memelas.
“Kapan ya? Lupa tuh!” balasnya dengan jutek.
Aku yang memang pada dasarnya ga bisa ngerayu dan memaksa akhirnya hanya bisa diam. Jujur, aku bingung dengan apa yang harus aku katakan. Duh, gimana ya. Aku masih menatapnya, dengan wajah memelas tentunya. Sedangkan Gita, dengan gaya membuang muka, melipat kedua tangannya, membuat dua gundukan di dada nya semakin terangkat. Gagal fokus lagi.
“Udah pergi sana, temuin aja tuh Mba Ayu mu,” ucapnya lagi menyudutkan ku. Ah, bener kan dia masih kesel. Eh tapi, kok dia sampai segitunya ya. Aku malah jadi senyum-senyum sendiri.
“Dasar Gila, senyum-senyum sendiri!”
“Hehehe.”
“Udah sono pergi, ngapain masih di sini? Hush! Hush!” ucap Gita mengusir ku sambil mendorong ku keluar pagar.
“Eh, ada apa ini?” tiba-tiba suara yang sangat aku kenal terdengar. Pak Weily.
“Ini Om, saya di usir sama Gita,” balas ku mengadu. Om? Aku memanggilnya Om? Hahaha. Pertama kali nya Aku memanggil Pak Weily dengan panggilan Om. Rasanya geli.
“Tukang ngadu!” ucap Gita ketus.
“Biarin!” balas ku tak mau kalah.
“Tamu kok diusir sih. Ga sopan banget. Ayo masuk Ian,” ajak Pak Weily. Tentu saja aku mengiyakan tanpa memperdulikan Gita.
“Tapi Pah? Iihhh…” balas Gita kesal.
“Dia tamu Papa, kamu ada masalah?”
Gita semakin menampakkan kekesalannya. Mukanya nampak cemberut. Tapi lucu. Entah kenapa aku jadi semakin senang melihat raut mukanya yang seperti ini. Sama seperti dulu. Gita yang pemarah itu kembali lagi. Hahaha.
***
Aku dan Pak Weily sekarang sudah berada di ruang tamu. Kami terlibat dalam obrolan ringan. Pak Weily menanyakan kabar Mas Rizal dan keluarga kecilnya. Kabar ku juga tentunya. Kuliah ku. Dan juga kehidupan ku. Orang tua ku. Beliau ingin sesekali main ke kampung ku. Siapa tau ada barang antik pikirnya.
Sekitar lima menit kami mengobrol, seseorang masuk ke dalam ruang tamu yang luas nan mewah itu. Siapa lagi kalau bukan non Gita yang manis. Hehehe. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri. Untung Pak Weily nya ga nyadar. Si Gita yang justru sadar. Dengan agak malu-malu dia ikut bergabung dengan kami.
“Pah?” panggil Gita ke papanya.
“Hmm…” balas Pak Weily cuek. Beliau masih fokus ngobrol dengan ku. Aku kembali tersenyum.
“Ian kan ke sini mau nemuin Aku, kok malah papa ajak ngobrol sih?”
“Kamu ini gimana? Tadi ngusir, sekarang lagi ngobrol sama papa malah komplain. Aneh!”
“Aneh-aneh juga anak Papa.”
“Tumben? Biasanya ga ngakuin?”
“Au ah!”
Aku hanya tersenyum melihat perdebatan kecil di antara mereka. Sekarang aku yakin kalau Gita tadi tidak serius mengusir ku. Hehehe. Hati ku jadi semakin tenang.
“Pah!” panggil Gita lagi ke papanya.
“Hmm…?” lagi-lagi Pak Weily menjawabnya dengan malas-malasan.
“Masuk sono, biasanya juga sibuk ama guci-guci nya kan?”
“Seharusnya Papa yang ngomong begitu. Kamu itu bener-bener deh. Ian, jangan ditiru ya,” pesan Pak Weily. Sekarang Gita duduk bersandar di lengan Pak Weily dengan posisi membelakanginnya.
“Iya Om, eh, Pak maksudnya, hehe” jawab ku yang kelepasan memanggilnya Om lagi.
“Dasar, SKSD banget manggil om!” protes Gita.
“Gita! Biarin aja kenapa? Ian itu udah papa anggep anak sendiri.”
“Males banget!”
“Gita!”
“Gapapa Pak, hehehe,” sela ku merasa tidak enak.
“Tuh, Ian aja gapapa. Huh! Pasti gitu, kalau sama Ian pasti dia yang dibelain. Anaknya papa kan akuh,” protes Gita. Lucu sekali anak ini kalau lagi manja. Dia masih duduk membelakangi papa nya meskipun dia sedang berbicara dengan papa nya sendiri.
“Udah sana masuk, Gita masih ada urusan sama nih bocah satu. Papa jangan ganggu!” pinta Gita sambil mendorong papanya untuk pergi. Buset dah.
“Oke, oke, anak jaman sekarang. Luar biasa kelakuannya,” ucap Pak Weily sambil berdiri.
“Emansipasi anak pah, udah ga jaman anak selalu nurut. Sekali-kali ngeyel itu wajar.”
“Liat sendiri kan Ian kelakuannya? Mudah-mudahan kamu nanti dapet istri ga yang kaya gini. Hahaha,” canda Pak Weily sambil mencubit hidung Gita.
“Eh, kok gitu?” Gita nampak kaget dan protes dengan candaan papanya.
“Eh, kok kamu yang protes?” tanya balik Pak Weily.
“Eh, eng-enggak. Ga protes. Aku juga males dapet suami yang kaya gitu,” balas Gita sambil menunjuk ku tapi membuang muka. Tapi jelas. Jelas sekali kepura-puraannya. Hehehe.
“Halah. Ya sudah papa masuk dulu. Selesaikan apa yang mau kalian selesaikan. Oiya ajak Ian makan tuh kalau mau. Ian, jangan sungkan ya. Kalau Gita nakal lagi bilang ke Om,” pesan Pak Weily.
“Ihhh…dasar papa om-om, weekkk…” balas Gita sambil menjulurkan lidahnya. Pak Weily hanya tersenyum lalu meninggalkan kami berdua di ruangan besar ini.
Beberapa saat kemudian hening. Tidak ada suara diantara kami berdua. Gita sibuk dengan HP nya. Sedangkan aku, bingung mau bicara apa. Bingung? Iya. Bingung plus grogi. Dengan si anak manja ini.
“Kalau cewek lagi kesel itu ditanyain. Diajak ngobrol gitu. Atau apa kek. Bukannya malah di diemin. Seminggu lagi,” sindirnya. Iya. Seminggu ini aku memang mendiamkannya. Tidak mendiamkannya juga sih. Hanya saja, menghubunginya hanya beberapa kali saja. Itu juga karena balasannya seadanya juga. Apa aku salah. Jelas salah lah. Karena wanita selalu benar.
“Kan aku udah hubungin kamu Git.”
“Masih kurang!”
“Kurang?”
“Kurang usahannya!”
“Usaha?”
“Au!”
Aku malah jadi bingung sendiri. Dasar wanita. Ribet. Untung aku bukan seorang wanita.
“Iihhh…Ian nyebelin! Bete ah!” omel nya.
“Iya-iya aku emang ngeselin. Maaf.”
“Hiiih,” ucapnya gemas.
Lalu hening lagi. Gita masih membuang mukanya. Sedangkan aku masih terus memandangnya. Memandang rambut nya yang lurus panjang tergerai dengan indah.
“Ngomog-ngomong, kamu ngapain ke sini? Kok ga ke tempat Mba Ayu aja?”
“Kok nanya itu lagi?”
“Suka-suka dong!”
“Hmm…ya karena kamu udah balik, jadi aku kesini.”
“Owh, jadi kalau aku pergi lagi, kamu bakal ke Mba Ayu lagi? Gitu? Enak banget jadi cowok.”
“Eh, ga gitu juga, haduh. Kemarin itu ada insiden kecil makanya aku ke tempat Mba Ayu.”
“Insiden? Iiihhh…kalian pasti…”
“Eh, enggak-enggak. Aku dan Mba Ayu ga ngapa-ngapain kok. Bener deh.”
“Ngapa-ngapain juga gapapa kok, ga ada urusannya sama aku.”
“Kok gitu?”
“Gitu kenapa? Emangnya aku harus nangis-nangis gitu kalau kalian ada apa-apa? Males banget.”
“Owh gitu ya, ya sudah kalau memang begitu.”
“Tuh kan, kamu itu jadi cowok pasrah banget. Usaha dikit napa?”
“Usaha apa?”
“Au!”
Aku jadi jadi semakin bingung dengan obrolan ga jelas ini. Lama-lama pulang juga nih. Lalu tiba-tiba…
“Masih ga ngerti juga?”
“Ehmm…itu…sebenarnya…aku…”
“Kalau ada yang mau diomongin, ya diomongin aja. Sekarang. Atau ga usah sama sekali!” ucap Gita memberikan ultimatum.
Serius aku bimbang. Apa aku harus mengatakannya sekarang? Tapi Aku takut kalau Gita akan menolaknya. Aku lebih suka dengan hubungan kami yang sebelum ini. Tapi, kalau dipikir memang tidak fair baginya karena sama saja aku menggantungkan status nya. Ngegantungin? Emangnya kamu yakin Ian dia ngarepin kamu? Bimbang lagi kan.
“Sebenarnya, aku kesini mau bilang sesuatu sama kamu Git,” ucap ku pelan. Gita langsung menoleh antusias.
“Aku tau ini terlalu cepat, mungkin kamu juga merasakannya begitu. Dan, mungkin juga kamu akan mengira aku hanya menjadikan mu pelampiasan. Tapi, aku tidak bisa membohongi perasaan ku sendiri Git. Setelah malam itu, jujur aku merasakan sesuatu hal yang berbeda diantara kita. Aku ga tau kamu merasakannya juga apa ga. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Sesuatu yang sangat istimewa. Mengisi dan menghiasi relung hati ku.”
“Bertele-tele banget. Jadi intinya apa?” ucapnya ketus, tidak menghargai kalimat yang udah kurangkai panjang lebar.
“Aku suka sama Kamu,” ucap ku. Dan kalimat itu akhirnya terucap juga. Yang pertama kali muncul di kepala ku adalah, Diah. Maafkan aku Di. Aku sungguh tidak menginginkan ini, tapi perasaan ku ini tidak mungkin berbohong.
“Udah? Itu doang? Suka aja? Kirain apaan!”
“Sayang juga. Cinta juga. Aku, aku sayang sama kamu Gita,” ucap ku tegas hampir berteriak. Tapi sambil menunduk. Tidak berani aku menatap wajahnya. Mungkin muka ku sekarang lebih merah dari pada kepiting rebus. Aku masih menunduk hingga beberapa saat. Dari sudut mata ku Aku bisa melihat Gita merubah posisinya menghadap ku. Kelihatan dari kaki nya. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya.
“Sama, Aku juga merasakannya, Ian,” ucapnya pelan namun lancar. Tidak seperti ku yang sangat gugup dan agak kaku. Reflek aku langsung mengangkat pandangan ku. Ku dapati senyum mengembang terpancar dari wajahnya yang manis. Aku pun ikut tersenyum.
“Kalau sayang tuh di peluk, bukan disenyumin doang.”
“Eh, i-iya,” jawab ku lagi-lagi masih dengan gugup. Aku langsung berdiri dan mengampirinya. Ya Tuhan, mimpi apa hamba semalam? Ini anugerah banget pikir ku. Gita memiliki perasaan yang sama. Dan sekarang, minta di peluk. Sini sayang, abang datang. Batin ku dengan agak geli. Hahaha.
“Eh, eh, mau apa?” tanya Gita tiba-tiba menghalangi ku dengan tangannya.
“Lah piye to mba? Tadi katanya minta di peluk?” tanya ku balik.
“Hahaha, Ian mesum deh. Mupeng ya?” tanya nya mengejek ku.
“Eh, bercanda doang ya tadi?” tanya ku. Aku pun balik lagi sambil menggaruk kepala ku yang tidak gatal dengan muka yang terlihat sangat bego. Lalu kemudian duduk dengan menanggung malu yang sangat dalam.
“Hahaha, ngarep ya meluk aku? Ada papah tuhh, berani emang?”
“Eh, ehmm…”
“Hahaha, Ian-ian, gemesin banget sih Kamu.”
“Kamu jelek!” balas ku.
“Jelek-jelek juga suka kan kamu?”
“Hahaha.”
Kami kemudian terdiam, untuk beberapa saat. Membayangkan ucapannya tadi yang memiliki perasaan yang sama, aku jadi bahagia. Tak sadar aku kembali senyum-senyum sendiri.
“Dih, beneran gila ya. Senyum-senyum mulu,” ejeknya.
“Biarin!”
“Kamu jangan seneng dulu soal yang tadi. Aku belum selesai bicara.”
“Loh? Maksudnya?”
“Sebelumnya aku mau nanya dulu ke kamu. Kamu jawab jujur dari lubuk hati kamu yang paling dalam ya,” pintanya sambil merubah posisi duduknya menjadi semakin mengarah pada ku.
“Iya.”
“Kalau…seandainya nih ya, kalau misal sekarang, malam ini, detik ini, tiba-tiba diah muncul dan mengatakan kalau dia tidak jadi di jodohkan, kamu tetap pilih Aku atau, Diah?”
DEGG!!
Jujur aku kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba itu. Aku benar-benar tidak menduga dia akan menanyakan seperti itu. Apalagi ini ada hubungannya dengan Diah. Apa maksudnya?
“Ehm…aku…” jawab ku ragu. Otak ku membuat perintah untuk menjawab “Kamu” tapi entah kenapa mulut ini seperti terkunci. Bimbang. Iya. Aku bimbang. Logic ku mengatakan Gita tapi…
“Tapi fakta nya ndak seperti itu…”
“Kan aku tadi bilang misalnya, seandainya. jawab aja jujur dari dalam hati mu, itu akan lebih baik,” pinta Gita.
Sial. Baru kali ini aku merasakan kebimbangan yang sebesar ini. Gita Diah Gita Diah, Gita. Tapi…
“Kalau kamu diam, anggep saja aku sudah tau jawabannya.”
“Aku tidak tau Git, kalian berdua sama-sama berartinya buat aku,” potong ku. Kalimat itu terucap dengan sendirinya. Aku memang mulai menyukai mu Git. Tapi Dia juga sangat berarti. Muka ku mendadak pucat. Aku menjadi seperti sorang pecundang yang ketahuan tidak bisa menjaga hati nya.
“Hahaha, mana bisa pilih dua kaya gitu…” ucapnya sambil tertawa dengan dipaksakan.
“Maaf, tapi kalian berdua memang sangat berarti bagi ku. Diah memang cinta pertama ku, namun kamu wanita yang bisa membuat hidup ku lebih berwaran,” ucap ku pelan. Menyesali kata-kata ku yang terucap barusan. Berterus terang bahwa mencintai dua orang wanita sekaligus terhadap seorang wanita menurut ku sangat tidak kesatria, tapi aku mengalaminya.
“Ga perlu minta maaf. Aku percaya kok dengan perasaan mu pada ku, dan perasaan ku pada mu juga ga bohong, ini serius. Jujur aku juga nyaman sama kamu. Nyaman banget malah. Masalahnya adalah, aku masih lebih nyaman lagi kalau kamu bisa bersama Diah,” ucapnya dengan sebuah senyuman manis di bibirnya.
“Tapi kan, sekarang…?”
“Diah dijodohin? Apa kamu udah usaha buat…”
“Udah kok, tapi…”
“Usaha apa? Minta tolong ade kamu Binar buat ngomong ke Diah? Usaha apaan itu? Apa kamu udah datengin langsung keluarga Diah buat mencegah perjodohan itu? Belum kan. Usaha kamu itu nol besar Ian. Tempatkan diri mu kalau berada di posisi Diah. Kamu dijodohin dan orang yang paling kamu harepin tidak melakukan apapun untuk memperjuangkan hubungan ķalian. Sakit ga sih? Setidaknya usaha dulu lah,” ucap Gita agak meninggi.
“Kok kamu tau?”
“Karena Aku mencari tau, ga kaya Kamu yang cuma diam saja.”
Rasanya bagai ditampar mendengar ucapan Gita tadi. Milyaran kali lebih sakit dari pada tamparannya waktu itu. Meskipun aku akui usaha ku memang nol besar. Aku terlalu banyak galau. Tanpa usaha. Aku hanya pasrah. Aku, pecundang.
“Maaf.”
“Maaf ke Diah, bukan Aku.”
“Iya.”
“Kamu punya waktu hingga lebaran tahun ini. Jangan bertanya maksudnya apa. Kamu cari tau sendiri. Itu artinya, sekitar empat bulan. Manfaatkan sebaik-baiknya. Lakukan apa yang harus kamu lakukan. Raih mimpi mu. Gapai cita-cita mu. Mimpi kalian. Cita-cita kalian. Untuk hidup bersama, bukan?”
“Kamu tau itu juga?” tanya ku keheranan. Kok dia serba tau? Apa jangan-jangan?
“Gita itu serba tau, termasuk isi hati kamu Aku juga tau, hihihi. Dah ah yuk makan dulu, Gita laper nih, Ian sayaaang…” ucapnya sambil beranjak ke arah ku lalu menundukkan badannya dan…
CUP!
Gita menciun ku. Iya. Mencium ku di pipi ku hampir mengenai bibir ku. Nyaris. Mungkin satu mili lagi sudah mengenai bibir ku. Dan sukses membuat ku melongo. Dan dengan tanpa rasa berdosa langsung meninggalkan ku.
Anak itu. Benar-benar amazing. Dari mana dia tau semua? Alfian. Kamu benar-benar payah. Pecundang. Kalah sebelum berperang. Parahnya lagi, mengharapkan mahkota lain disaat mahkota yang mengharapkan mu diambil orang. Tanpa ada usah untuk meraih mahkota itu lagi.
Gita, terima kasih. Aku akan berusaha. Demi Diah. Demi kamu juga. Aku akan kembali.
[Bersambung]