Merindukan Kesederhanaan Part 19
Merindukan Kesederhanaan Part 19
Tangis Dalam Diam
Karena lengangnya kondisi lalu lintas, lama perjalanan yang kami tempuh menuju rumah Kiki tidak lebih dari satu jam. Jam sepuluh kurang kami berempat sudah tiba di purworejo, tepatnya di desa kaligesing. Lokasi rumah Kiki ternyata tidak jauh berbeda dengan rumah ku, dari jalan raya harus masuk ke dalam terlebih dahulu sekitar dua kilometer. Panorama alam yang tersaji di sepanjang perjalanan pun hampir sama, yang membedakan hanyalah hamparan sawah di kiri dan kanan jalan. Sawah yang benar-benar sawah, bukan seperti yang di daerah rumah ku yang berupa sawah tadah hujan.
Saat kami tiba, seorang pria berusia seumurun dengan bapak menyambut kami di halaman rumah Kiki. Sekilas rumah Kiki, mirip sekali dengan rumah ku, dan kebanyakan rumah-rumah jawa jaman dulu lainnya, modelnya berupa joglo dengan halaman yang sangat luas dan menyatu dengan kebun. Di sekeliling rumah Kiki tumbuh banyak pepohonan rindang. Halaman depannya pun terlihat sangat bersih dan asri, sehingga menimbulkan kesan adem bagi siapapun yang berada di sana.
“Rumah di jawa enak-enak ya, adem, banyak pohonnya,” komentar Gita begitu kami turun dari mobil.
“Ademan juga AC di kamar kamu Git,” balas Kiki.
“Bedalah Ki, ini ademnya alami, sehat, ga kaya dinginnya AC,” balas Gita lagi seolah tidak mau pernyataannya itu di bantah oleh orang lain. Dasar anak kecil, tidak mau ngalah. Aku mengatakan Gita anak kecil karena selain sifatnya yang kadang manja, umur Gita memang lebih muda satu tahun dari kami bertiga.
“Udah-udah, kita salaman dengan orang tua nya Kiki dulu, baru nanti ngobrol lagi,” ucap ku pada mereka bertiga. Dengan senyum yang mengembang, kami berjalan menghampiri orang tua Kiki. Oiya Gita membawa sekantong kue yang di belinya di jalan tadi sebagai bawaan.
“Piye kabare nduk, sehat?” tanya sang bapak.
“Alhamdulillah pak, bapak nggeh sehat to? Sepurane pak, Kiki nembe saget meriki,” (Alhamdulillah pak, bapak juga sehat kan? Maaf pak, Kiki baru bisa kesini), balas Kiki sungkan. Awalnya Aku sendiri juga bingung kenapa Kiki baru hari ini menyempatkan diri berkunjung ke sini, ke rumahnya, dimana ada orang tuanya, baru pada hari ke tiga? Kenapa tidak dari hari pertama tiba sama seperti ku? Dan Aku baru tahu jawabannya tadi saat aku tanya, dan ternyata jawabannya adalah pas hari pertama kemarin itu ada saudara jauhnya yang sedang hajatan dan orang tua Kiki sedang berada di tempat saudaranya itu.
“Rapopo nduk, seng penteng sehat bagas waras. Ayo mlebu, iki kancane Kiki kabeh to?” (gapapa, yang penting pada sehat, ini teman-teman Kiki semua?” tanya bapak itu seraya mengulurkan tangan pada kami.
“Betul pak, kita semua teman kuliahnya Kiki, saya Doni pak,” ucap Doni membalas ucapan bapaknya Kiki sambil mengulurkan tangannya.
“Waluyo, bapaknya Kiki,” balas bapak itu. Aku dan Gita pun bergantian mengulurkan tangan untuk salaman dengan pak Waluyo.
“Ian pak lek,” ucap ku.
“Gita Om,” ucap Gita.
Saat Gita mengucapkan kata OM tadi, Kiki dan Pak Waluyo langsung saling pandang dan menahan senyum. Seperti ada sesuatu yang lucu namun ditahan. Dan memang lucu. Bagi sebagian orang jawa, apalagi yang sudah seumuran pak Waluyo, tentu akan geli sendiri bila di panggil dengan panggilan Om.
“Eh, kenapa? Ada yang lucu ya?” tanya Gita polos.
“Hehehe, enggak kok, hihihi,” balas Kiki yang semakin tertawa geli.
“Iiih, apaan sih?”
“Sudah ayo masuk dulu aja, nanti Aku jelasin,” ajak Kiki pada kami. Sepertinya dia merasa Kita sudah terlalu lama mengobrol di luar rumah dan tentu saja itu tidak sopan menurutnya. Aku ikut tersenyum mendengar obrolan singkat dua wanita cantik ini, begitu juga dengan pak Waluyo.
~¤~¤~¤~
“Nak Ian ini pasti dari jawa juga ya?” tanya pak Waluyo membuka obrolan. Kami berempat duduk bersama di ruang tamu rumah Kiki, yang desain nya sebelas-duabelas dengan rumah ku.
“Keliatan ya pak dari logatnya? hehehe,” tanya ku balik.
“Iya, jelas banget, lha asli mana to?”
“Wonosari pak lek, Gunungkidul,” jawab ku.
“Woalaaah, wong Gunungkidul, podo karo jenenge Kiki berarti,” (Woalaaah, orang Gunungkidul, sama seperti namanya Kiki berarti), canda pak Waluyo.
“Njeh Pak, hehehe sami kaleh Kiki,” jawab ku.
Kami berempat lalu terlibat perbincangan ringan. Eh bukan berempat deng, hanya berdua, aku dan pak Waluyo. Doni meskipun mengerti dikit-dikit, tapi tidak bisa meladeni perbincangan dengan Bahasa jawa. Gita, apalagi, ngerti pun enggak. Lalu tidak lama kemudian Kiki muncul dari dalam dengan sebuah nampan dan lima cangkir teh manis dan kue yang di beli Gita di jalan tadi.
“Pada ngobrolin apaan ya? Seru banget sepertinya,” ucap Kiki.
“Ini lho nduk, nama kamu ini sama seperti slogan daerahnya nak Ian,” ucap Pak Waluyo.
“Dan Gita dari tadi kebingungan dengan obrolan Ian sama Bapak mu, hahaha,” ledek Doni pada Gita.
“Abisnya roaming sih. Lagian emang kamu ngerti Don?” tanya balik Gita.
“Yaaa, ngerti lah, dikit hahaha,”
“Apaan coba?”
“Eh, ehmmm, ya pokoknya gitu dah, hahaha” ditanya balik, Doni malah kebingungan, tapi tetep, selalu berusaha ngeles.
“Wooo, sama aja lo mah,” ejek balik Gita.
“Jadi, ada yang bisa men translate nya pada Gita?” lanjut Gita.
Tidak ada yang menjawab. Pak Waluyo nampak tersenyum. Aku dan Kiki saling melirik. Aku mengangguk pada Kiki dan dia langsung mulai menjelaskan pada Gita.
“Jadi begini lho neng, kamu tau kan Ian berasal dari Gunungkidul?”
“Yap.”
“Nah, Gunungkidul itu punya slogan yaitu Handayani, sama persis seperti nama belakang ku, gituuu,” jelas Kiki.
“Oh gitu, keluarga mu nama keluarganya Handayani ya?” tanya Gita dengan polosnya.
“Hahaha, ya enggak.”
“Lah, terus nama mu kenapa pakai Handayani sebagai nama belakang?”
“Mungkin mereka berdua berjodoh kali, cie-cieee, hahaha,” celetuk Doni meledek aku dan Kiki.
“HAHAHA,” kami semua tertawa dengan candaan Doni, kecuali Kiki yang entah kenapa diam saja.
“Enggak gitu juga Doniii, hiiih. Coba bapak, tolong dijelaskan,” ucap Kiki pada bapaknya dengan wajah cemberut.
“Hehehe, begini nak Gita, biar ndak bingung ya, kalau orang tua jaman dulu, terutama kami yang hanya masyarakat kecil ini, wong cilik, jarang yang menggunakan nama keluarga untuk anaknya, kami memberikan nama yang penting nama itu memiliki maksud dan arti yang baik bagi si jabang bayi,” jelas pak Waluyo. Aku mengamini pernyataan bapak nya Kiki, meskipun orang tua ku dari jaman dahulu juga, dan kami juga cuma orang kecil, tapi entah kenapa bapak memberi kan ku nama belakang menggunakan namanya, begitu juga dengan mas Yoga. Dan memberikan nama Ibuk sebagai nama belakang Mba Endang dan De Binar. Kesimpulan yang dapat aku ambil adalah, orang tua ku cukup kekininan, hehehe.
“Owh begitu, yaaa ngerti-ngerti,” balas dari Gita.
“Lo kok jadi penasaran gitu sih Git? kaya nama belakang lo ada nama bokap lo aja,” protes dari Doni.
“Sebenarnya ada Don, tapi bukan nama yang tercantum di KTP ku, hehehe,” jelas Gita yang membuat kami semua terkejut. Serius, sebelum detik ini, kami bertiga tidak ada yang tau kalau Gita punya nama lain.
“Maksudnya? Tolong diperjelas deh, gagal paham nih,” tanya Doni lagi. Tidak hanya Doni, aku dan Kiki pun nampak tidak percaya dengan pengakuan dari Gita.
“Aduh, jadi membuka cerita lama deh, hehehe. Tapi gapapa deh, kalau sama kalian mah aku terbuka aja. Jadi gini, kalian tentu tau kan peristiwa Sembilan delapan?” tanya Gita sebelum memulai ceritanya. Kami semua menggangguk tanda mengerti.
“Nama lahir ku sebenernya bukan Gita Ratna Puspita, melainkan namaaa,” ucap Gita berhenti sambil membuat gestur dengan menarik sisi luar matanya kearah luar menggunakan ke dua tangannya. Owh, aku mengerti, karena itu ternyata.
“Kalian semua tau kan peristiwa sembilan delapan itu sangat kacau sekali, dan itu dampaknya traumatik banget bagi orang-orang kayak Gita, jadi karena itulah Papa merubah nama Gita, gitu,” lanjut Gita.
“Eh, oooh gitu, aduh sory lho Git, gue ga bermaksud, beneran deh,” balas Doni merasa tidak enak karena telah menanyakan sesuatu yang ternyata berhubungan dengan asal-usul dari Gita dan keluarganya.
“Gapapa Don, santai aja, lo kan ga tau,” balas Gita.
“Hehehe, lo emang baik banget Git,” ucap Doni lagi sambil cengengesan.
“Jelas duooong,” balas Gita dengan gaya centil.
Karena saking asiknya mengobrol, kami sampai tidak sadar kalau waktu sudah siang. Sudah jam sebelas lewat. Hampir setengah dua belas.
“Nduk, kancane diajak maem kono, mbak mu mau wes masak kayane, cobo endangono nang ndapur,” (Nduk, temannya diajak makan sana, mbak mu tadi sudah masak sepertinya, coba di cek ke dapur), perintah pak Waluyo. Oiya, tentang saudara kandung Kiki, dia sebenarnya tiga bersaudara dan dia anak bungsu. Cukup unik memang kalau menurut ku, anak se dewasa dan se sabar dia ternyata anak bungsu. Karena setahu ku sih biasanya anak bungsu itu selalu manja dan kekanak-kanakan, sama persis seperti Binar dan Gita. Tapi mungkin Kiki adalah sebagian pengecualian dari yang biasanya itu.
Kakak pertama Kiki merantau di Jakarta juga, eh bukan Jakarta juga sih, tepatnya di daerah Cikarang. Tapi Cikarang kan masih masuk kota Bekasi, dan Bekasi masih sebelahan dengan Jakarta, jadi anggep saja kakak pertama Kiki merantau di Jakarta juga. Hahaha. Maksa. Kakak pertama nya ini cowok, dan sudah menikah dan di cikarang ini tinggal bersama istri dan anaknya. Sedangkan kaka ke dua Kiki, cewek, yang dimaksud pak Waluyo barusan. Sudah menikah juga. Hanya saja dari kedatangan kami barusan, aku tidak melihat keberadaannya, begitu juga dengan suaminya.
“Lha Mba Ningsih tindak pundi Pak?” (lha mba Ningsih nya pergi kemana pak?), tanya ku basa basi. Ningsih adalah nama kakak ke dua Kiki, Nur Rahayu Purwaningsih. Aku tau karena Kiki pernah bercerita pada ku.
“Lagek dolan nanggone mertuane, karo bojone, jatahe nek setu utowo minggu ngene ki dolan mrono, dino-dino biasa kan nang kene,” (lagi main ke tempat mertuanya, sama suaminya, jatahnya kalau sabtu atau minggu gini main kesana, hari-hari biasa kan tinggalnya di sini), jelas pak Waluyo.
“Owh, ngoten to pak,” (owh, begitu toh pak), balas ku.
“Iyooo.”
Setelah itu Kiki lalu beranjak ke dapur, sesuai dengan perintah bapaknya tadi, memeriksa apakah benar makan sianganya sudah tersaji. Eh tunggu dulu, seperti ada yang kurang. Ibu nya Kiki. Aku baru sadar kalau sampai dengan detik ini kami tidak melihatnya juga. Dan, mungkin Gita dan Doni juga belum sadar. Atau sudah sadar tapi sungkan untuk menanyakannya? Entahlah.
Tidak lama berselang Kiki balik lagi dan memberitahu kalau makanan memang sudah siap. Sepertinya mba Ningsih Sudah menyiapkan semuanya dengan memasak makan siang bagi kami. Yang disayangkan adalah dia tidak di rumah. Sebagai seorang istri yang baik, tentunya dia akan selalu mengikuti atau menuruti kemanapun atau apapun perintah sang suami.
Dan sekarang, waktu nya bagi kami untuk makan siang. Kami makan siang berlima, dengan pak Waluyo juga tentunya. Suasana yang terjalin sangat hangat, dan juga ceria. Paling ceria tentu saja Gita, dia pasti sangat menikmati suasana seperti ini. Kiki, juga nampak bahagia. Paling bahagia karena setelah beberapa bulan, bisa bertemu dengan bapak nya lagi. Doni, pun juga begitu, sangat menikmati suasana yang ada. Aku, yang penting mereka bisa bahagia dan tertawa, maka aku juga akan bahagia.
~ ¤~¤~¤~
Setelah selesai makan, para wanita membereskan bekas piring kotor kami. Sedangkan Aku, pak Waluyo dan Doni duduk di teras depan untuk sekedar mencari angin. Pak Waluyo terlihat seperti mencari sesuatu di atas kusen pintu depan rumahnya, di sela-sela ventilasi.
“Madosi nopo to pak?” (nyariin apa to pak), tanya ku.
“Iki lho, lintingan, bar madang ra penak nek ora udud, kene udud bareng, angine semilir,” (ini lho, lintingan, abis makan ga enak kalau ga ngrokok, sini ngrokok bareng, angine semilir), balasnya sambil menunjukkan sebuah bungkusan plastik yang di dalam nya berisi tembakau kering yang yang sudah di rajang, cengkeh, dan juga kertas segaret. Ternyata bapaknya Kiki seorang perokok, dan rokoknya rokok linting. Hahaha.
“Dia mah payah pa’e, ora udud orangnya,” timpal Doni dengan bahasa yang campur aduk. Sialan pikir ku. Aku hanya tersenyum kecut.
“Dari pada kamu, ora urus Don, hahaha,” balas ku.
“Sialan lu,” balas Doni.
“Lha kamu udud ora?” tanya pak Waluyo.
“Jelas udud to pak, ayo tak temenin, hehehe,” balas dari Doni lagi.
“Yo wes ayo, nyobo iki gelem?” (ya sudah ayo, nyobain ini mau?), ajak pak Waluyo sambil menunjukkan lintingan yang baru saja selesai di raciknya. Kemudian menyodorkan nya ke Doni.
“Wah boleh tuh, hehehe,” jawab Doni sambil menerima sebatang rokok lintingan tersebut. Ah ternyata mereka berdua sama koplaknya pikir ku.
“Alon-alon sek le nyedot, rodo nyegrak nang gulu nek urong biasa,” (pelan-pelan dulu ngisep nya, agak nyegrak di leher kalau belum terbiasa), pesan pak Waluyo. Doni nampak bingung dengan maksud dari pak Waluyo apalagi ada istilah yang pasti baru dia dengar, nyegrak. Dia pun lalu menoleh kepada ku dan bertanya dengan isyarat di matanya.
“Pelan-pelan dulu ngisep nya, itu tembakau nya beda, rasanya agak berat di tenggorokan mu nanti,” ucap ku.
“Owh, santai Ian, tembakau apapun gue bisa masuk kok,” balasnya meremehkan. Belu tau dia. Aku sebenarnya juga belum pernah merasakannya, hanya tau dari omongan orang saja.
Dengan pede nya, Doni langsung menghisap kuat-kuat rokok yang diberikan pak Waluyo tadi, dan apa yang di kuatirkan pun terjadi.
“UHUUK, UHUUUK, UHUUUK,” suara dari Doni terbatuk-batuk. Bertepatan dengan itu Gita dan Kiki keluar dari dalam rumah.
“Eh, kenapa kamu Don?” tanya Kiki kuatir sambil berjalan mendekat ke arah kami bertiga.
“Keselek rokoknya bapak mu Ki, hahaha, padahal sudah dibilangin tadi,” jawab ku sambil tertawa puas.
“Bapak ki pripun to, wong mboten biasa kok di sukani lintingan?” (bapak tuh gimana sih? Orang ga biasa kok di kasih rokok lintingan), omel Kiki. Waduh, bapaknya sendiri di omelin.
“Lha mau tak tawani doyan kok, moso ra di wenehi,” (lha tadi aku tawarin mau kok, masa ga di kasih), balas pak Waluyo membela diri. Polos bener ini bapak-bapak pikir ku. Hahaha.
“Bapak juga sama saja, udah di bilangin jangan ngrokok lagi, masih aja bandel,” omel Kiki lagi. Doni dan Pak Waluyo nampak tidak berkutik dengan omelan Kiki. Mereka berdua hanya cengan cengir namun tidak berhenti dari aktifitas merokoknya. Kiki diem-diem galak juga nih pikir ku. Hahaha.
“Gak ikut-ikutan yaaa,” ucapk ku sambil mengangkat tangan dan tersenyum geli melihat perdebatan antara bapak dan anak itu, plus Doni.
~¤~¤~¤~
Setelah selesai dengan acara ngrokok bareng antara Doni dan Pak Waluyo itu, kami kembali ngobrol santai berempat di rumah Kiki. Hanya berempat karena pak Waluyo harus pergi mencari pakan untuk ternak piaraannya. Bapak nya Kiki itu tadi berpesan kalau dia tidak lama, tidak sampai dua jam. Jadi kita-kita kalau mau balik ke jogja disuruh menunggu dia dulu. Tentu saja kami akan menunggu, karena tidak sopan pastinya jika kami balik tanpa berpamitan dengan beliau.
“Ngapain lagi nih ya enaknya? Makan sudah, ngrokok sudah, indahnya dunia ini,” ucap Doni sambil tidur-tiduran di kursi panjang ruang tamu.
“Ada mangga tuh Don, tapi masih di pohon, petik aja kalau mau, kita bikin rujak, enak nih pasti siang-siang gini,” balas Kiki.
“Eh, beneran ada?”
“Serius, tuh di samping rumah pohonnya. Tapi kamu bisa manjatnya nggak?”
“Ah, cincai itu mah, serahkan saja semuanya pada Ardoni Sebastian, kalian para wanita siapin aja sambelnya, hahaha.”
“Alah, gaya lu Don,” ejek Gita.
“Hahaha.” tawa mereka bertiga yang nampak kompak sekali ingin membuat sebuah rujak.
“Eh, eh, terus aku ngapain dong?” tanya ku dengan polosnya.
“Mandiin sapi aja sono, hahaha” balas Doni.
“Hahaha.” tawa Gita dan Kiki.
“Boleh tuh Ian, sapi ku udah lama belum di mandiin, hihihi,” tambah Kiki.
“Serius nih, masa kalian sibuk semua, trus aku tinggal makan aja, kan jadi enak, eh maksudnya jadi nda enak, hehehe,” balas ku.
“Doni perlu bantuan ga? Ian bantuin Doni aja,” tanya Gita.
“Enggak Gita sayang, Mas bisa sendiri kok, Ian suruh ngulek cabe aja, hahaha,” balas Doni.
“Yang yang pala lu peyang. Ya udah, terserah Ian deh mau ngapain, yuk Ki kita bikin sambelnya. Bahannya ada kan?” ajak Gita ke Kiki. Doni tertawa mendengar balasan dari Gita.
“Ada dong,” balas Kiki. Mereka berdua lalu beranjak ke dapur. Tinggal berdua aku dan Doni. Doni pun kemudian juga beranjak dari duduknya.
“Don, aku bantuin ya,” ucap ku sambil berdiri juga.
“Ga usah, santai saja, lo temenin aja tuh gadis-gadis, hehehe,” ucap Doni sambil berlalu.
“Ya sudah, selamat berjuang yeee,” canda ku.
“Sialan lo,” balasanya. Dia lalu pergi meninggalkan ku. Aku hanya tertawa mendengar reaksi nya. Dari pada bengong sendirian mending aku ikut Gita dan Kiki saja ke dapur.
~¤~¤~¤~
Saat aku masuk ke dalam dapur rumah Kiki, sekali lagi aku merasa seperti masuk ke rumah ku sendiri. Bukan karena bentuk dapurnya. Tapi seperti ada sesuatu yang lain yang membuat ku merasa seperti di rumah sendiri. Tapi entah lah, aku tidak mau memusingkannya. Mungkin hanya perasaan ku saja. Dan sekarang Aku melihat Kiki dan Gita sedang meracik bahan sambel untuk rujaknya. Mereka berdua sesekali juga bercanda sambil bercengkerama. Senang sekali melihatnya.
“Seru bener kayaknya,” aku membuka obrolan pada mereka.
“Kenapa, mau ikutan nge gossip?” balas dari Gita.
“Ya elah, Nggosip toh, ndak jadi deh, males aku,” balas ku sewot.
“Hahaha, Gita bercanda Ian,” ucap Kiki.
“Tuh, jadi cewek tuh kaya Kiki, manis, lembut, dan ndak suka ngegosip,” ejek ku pada Gita sambil membanggakan Kiki. Gita nampak kesal dengan ucapan ku.
“Apa kamu bilang? Tuh mulut belum pernah di ulek ya?” tanya Gita sambil mengarahkan kepala ulekan ke arah muka ku, sambil membuat gerakan mengulek. Hahaha.
“Hahaha, udah dong becandanya, nanti keburu Doni selesai metik mangganya.”
“Iya Kikiii,” balas kami berdua serentak.
“Hihihi,” Kiki tersenyum geli. Manis, dan cantik. Iya cantik banget. Eh, apa yang aku pikirkan? Tidak, aku tidak boleh memikirkan itu. Kiki itu teman ku, dan sahabat ku. Lalu? Memang dia beneran cantik kok. Iya, Kiki memang cantik. Jadi tidak ada masalah kan kalau aku mengaguminya? Kagum? Aku kagum pada Kiki?
“Woy, bengong aja,” panggil Gita mengagetkan ku. “Kesambet ntar,” lanjutnya.
“Eh, endak kok ndak, aku lagi mikir aja, kamu nyadar ga sih Git, kalau kita dari tadi belum melihat ibu nya Kiki?” tanya ku pada Gita mengalihkan pembicaraan. Tapi memang betul kami dari tadi tidak melihat sang ibu.
“Eh iya ya, Ki, ibu kamu kemana?” tanya Gita melanjutkan.
Kiki tidak langsung menjawab, justru malah seperti kebingungan dan ragu harus menjawab apa. Loh, kenapa ya?
“Kiki kenapa?” tanya Gita pada Kiki yang menunduk lemas. Gita akhirnya menghentikan aktifitasnya dan mendekat ke arah Kiki. Pasti akan jadi momen yang sentimental lagi pikir ku. Kiki, sebenarnya apa yang tidak kami tau tentang orang tua mu? Aku membatin.
“Ndak apa-apa kok Git,” balas Kiki pelan.
“Enggak, pasti ada sesuatu,” paksa Gita.
“Ki?” panggil ku.
“Cerita atau kita ga saling kenal!” ancam ku dengan akting bercanda sambil membuang muka. Seharusnya Kiki tidak akan menanggapinya serius karena itu adalah kalimat sakti yang sering diucapkannya kepada ku.
“Iiih, kok gitu sih Iaaan?”
“Gita juga! Kalau Kiki ga cerita maka Gita ga kenal Kiki,” potong Gita.
“Gitaaa, kenapa sekarang belain Ian?”
“Bodo!!” balas Gita sambil membuang muka.
“Huuufft, kalian mah sukanya maksa.”
“Kan kamu yang ngajarin, hihihi,” balas Gita.
“Lagian kan kamu sendiri yang bilang kalau kita harus saling berbagi,” lanjut ku.
“Iya-iya, aku cerita,” balas Kiki masih dengan ekspresi lesu nya. Aku dan Gita lalu menatap serius ke arah Kiki.
“Sebelumnya aku minta maaf karena baru sekarang membagi cerita ini ke kalian. Itu karena menurut ku apa yang akan aku ceritakan ini tidak ada untungnya untuk di ceritakan. Tapi karena ini dengan kalian, baiklah aku akan cerita. Jadi, sebenarnya kedua orang tua ku itu sudah berpisah lama. Dari aku kecil dulu. Bukan berpisah lebih tepatnya, tapi ibu ku, meninggalkan bapak. Hiks…,” jelas Kiki. Ternyata begitu ceritanya. Dan menetes lah air mata Kiki. Gita langsung memeluknya. Dan mengusap punggung Kiki.
“Sudah, sudah, ga usah dilanjut, intinya kami tau kok, sekarang kamu tenang ya. Ada kita-kita kok di samping kamu, ya kan Ian?” ucap Gita pada Kiki dan aku.
“Tentu saja,” jawab ku. Kiki masih menangis, meskipun tanpa suara.
“Ibu meninggalkan kami disaat kondisi kami sedang terpuruk. Bapak kena serangan jantung karena habis kena tipu ditambah dengan hutang yang diakibatkan karena itu. Mas Riki kecelakaan hingga koma. Jika kalian merasakannya, di posisi ku dan Mba Ningsing waktu itu, saat kalian butuh dukungan dan orang yang kalian harapkan justru malah meninggalkan kalian, kalian akan tau bagaimana rasannya,” lanjut Kiki. Semakin membanjir lah air mata Kiki. Sungguh aku tidak menyangka ternyata Kiki punya beban masa lalu yang seberat ini.
“Kiki, sudah sayaaang, sudah, ga usah dilanjut,” ucap Gita sambil semakin mempererat pelukannya pada Kiki.
“Namanya, Siti Nurhayati,” ucap Kiki lagi lalu meringsut ke dalam pelukan Gita.
Nurhayati? Nur? Pantes, ternyata itu alasan Kiki tidak pernah mau di panggil Nur. Itu nama ibu nya. Yang aku yakin sangat dibencinya sekarang.
Ya Tuhan, kenapa engkau berikan cobaan yang berat pada teman-teman hamba? Gita, Kiki, sama-sama kehilangan Ibu mereka, meskipun lain cerita. Ternyata aku masih jauh lebih beruntung dari mereka berdua. Ya, aku jauh lebih beruntung karena aku berada di keluarga yang utuh. Semoga. Hingga akhir hayat mereka masih terus bersama. Bapak dan ibuk ku.
Tidak lama berselang Doni datang membawa beberapa buah mangga. Dia nampak bingung dengan kondisi Kiki yang menangis. Namun aku bilang kalau jangan diganggu dulu, nanti aku yang jelasin. Dan, akhirnya acara siang ini kembali mengharu biru. Sama seperti tadi pagi. Ya Tuhan, hamba mohon kuatkan lah mereka. Aamiin.
[Bersambung]