Merindukan Kesederhanaan Part 43
Merindukan Kesederhanaan Part 43
Aku Akan Selalu Bahagia Untuk Setiap Kebahagiaan Mu
Perlahan mata ku terbuka. Pandangan ku masih kabur karena kesadaran ku belum seratus persen pulih setelah bangun dari tidur ku ini. Aku tidak tau sedang berada dimana aku ini. Tempat ini sangat asing, namun aku seperti pernah mengunjunginya dulu. Tapi dimana? Bagaimana mungkin aku terbangun dari tidur lalu tiba-tiba ada di tempat ini?
Aku mengucek-ucek mata ku pelan. Dengan susah payah akhirnya aku bisa membuka lebar-lebar mata ku meskipun susah. Meskipun masih agak kabur tapi perlahan pandangan ku mulai jelas. Aku seperti berada di sebuah ruangan yang sangat besar. Seperti sebuah ruang keluarga di sebuah rumah yang sangat mewah.
Ku tengok kiri dan kanan. Kepala ku bisa menengok, tapi anehnya badan ku terasa sangat lemas dan aku tidak bisa menggerakkannya. Kenapa ini?
Aku tidak mengerti. Setelah beberapa saat melihat ke sekelilig, pandangan ku terhenti pada sebuah foto keluarga yang terpajang dengan jelas di salah satu dinding ruangan. Sangat jelas foto itu terlihat oleh ku karena ukurannya yang sangat besar.
Tapi yang membuat ku bingung adalah orang yang berada di dalam foto itu. Pak Weily? Kenapa ada foto pak Weily? Apa jangan-jangan ini rumahnya…Gita? Pandangan ku lalu beralih ke bagian lain dari foto yang sangat besar itu. Dan benar. Di dalam foto itu tampak dua orang, ayah dan anak, yang dulu sangat aku kenal. Pak Weily dan sang anak gadis nya, Gita. Gita Ratna Puspita.
Bagaimana mungkin aku bisa ada di sini?
“Halo Ian…Alfian Restu Kusuma? Apa kabar?”
Wanita yang wajahnya baru saja aku lihat di foto itu tiba-tiba muncul dari arah kiri ku.
“Gita?” ucap ku reflek karena kagetnya.
“Kenapa?” tanya nya balik dengan santainya sambil berjalan pelan ke arah ku.
“Kok ka-kamu bisa a-ada di-di-sini?”
“Hahaha…gue? Lu nanya kenapa gue ada di sini?”
“I-iya…”
“Gue yang seharusnya nanya begitu, elu kenapa ada di sini? Di rumah gue.”
“Hah?”
Ini di rumah Gita? Bagaimana aku bisa ada di sini?
“Kenapa? Kok kaget? Kok elu bisa ada di rumah gue sih?” tanya Gita lagi yang sudah berada di depan ku lalu dudu di sofa tepat di depan ku. Tampak sekali senyum sinis terpancar dari wajahnya.
“A-aku…”
Dengan keras aku berfikir bagaimana aku bisa ada di sini. Tapi buntu. Semakin keras aku berfikir semakin sulit aku mendapatkan jawabannya. Layaknya seperti orang yang terbangun dari mimpi dan setengah ingat dengan mimpinya, semakin di ingat malah semakin lupa.
“Kok kaya orang bingung gitu sih? Orang tinggal jawab aja.”
“Aku…aku ga tau kenapa bisa ada di sini…” jawab ku sambil tertunduk lesu.
“Hahaha,” Gita tertawa lepas. “Bagaimana mungkin elu bisa ada di rumah orang lain tapi elu nya lupa bagaiamana lu bisa ada di sana? Kok lu lucu banget sih?” lanjut Gita dengan tatapan paling nyinyir yang pernah aku lihat.
Sial. Kenapa aku harus merasakan lagi perasaan terpojok dan terintimidasi oleh aroganitas dari Gita? Kenapa dia kembali menjadi seperti ini? Kenapa? Dan kenapa aku bisa ada di sini?
“HEEH!! Kalau ditanya itu jawab!! Bukan malah diem kaya orang bego gitu!! Ah iya, gue lupa. Orang kampung macem lo itu emang bego dan ga punya otak.”
“Git?” aku tercekat mendengar ucapannya.
“Apa?”
“Kenapa kamu ngomongnya kaya gitu?”
“Emang kenapa? Mulut-mulut gue. Apa urusannya sama elu?”
“Tapi kan…kamu udah berubah waktu itu…”
“Hahaha, Ian…Ian…semua sudah berlalu. Masih aja begok nya. Dasar, jadi cowok kok baperan. Eh tunggu dulu, kok lu ngebahas sikap gue? Apa urusannya?”
“A-aku…aku…”
“Kenapa?”
“Aku…”
“JAWAAAB!!!”
“Aku…kangen sama kamu Git…”
“Hahaha…kayanya lo bakat deh kalau ngelawak.”
“Git…”
“Ga usah sok memelas gitu deh mukanya. Muka lu itu emang udah melasin. Eh salah, yang bener MA-LE-SIN.”
“Hei!! malah bengong. Gue mau nanya deh, bisa-bisa nya sih lo bilang kalau elo kangen sama gue? Lo ga nyadar apa? Apa dan bagaimana perlakuan lu selama ini tuh udah bikin gue sakit. Hampir empat tahun lamanya elo nge gantungin perasaan gue. Gue udah kasih perhatian dan kasih sayang gue selama itu tapi elu mandang gue aja enggak. Ga ngerasa apa lo itu bukan siapa-siapa. Ganteng enggak. Tajir enggak. Tapi belagunya minta ampun. Dan elu sekarang berani bilang kalau lu kangen sama gue? Hellooo…lo kangen mau nge gantungin perasaan gue lagi gitu ya maksudnya? Kangen gue ngarep-ngarep cinta lo lagi? Ngimpi lo bisa dapetin itu semua lagi.”
“Git, bukan gitu. Maksud ku…”
“Udah lah Ian,” potong Gita dengan nada yang lebih pelan. “Ga perlu lagi lo kangenin gue. Semua udah berlalu. Situasi sekarang udah ga kaya dulu lagi. Lo sekarang sudah punya mba Diah, wanita pertama dan yang selalu mengisi hati lu. Jadi sekarang adalah waktu yang tepat bagi gue buat mundur Ian. Sudah cukup. Semua sudah berakhir. Elu sudah bahagia sekarang dengan keluarga kecil elu. Dan lu ga perlu khawatirin gue. Karena gue juga udah bahagia kok. Tapi lo tau ga apa yang udah membuat gue bahagia?” lanjutnya.
Aku hanya bisa menggeleng karena aku bahkan tidak tau apakah dia benar-benar bahagia atau tidak.
“Aku bahagia karena kamu juga udah bahagia, dengan wanita yang memang seharusnya ada di samping kamu, sebagai pendamping hidup mu, bukan wanita seperti aku. Selamat jalan Ian, aku akan selalu bahagia untuk setiap kebahagiaan mu.”
“Gi…”
“Selamat jalan Ian…”
“Gi…”
Sial. Bahkan untuk menggapai badannya, mulut ku saja seperti terkunci untuk menyebut namanya lagi.
“Jaga mba Diah untuk ku ya…”
“Gi…”
“Jaga mereka, bahagiakan mereka, itu yang akan membuat ku bahagia.”
Perlahan tapi pasti tubuh Gita bergerak menjauh. Menjauh dan terus menjauh. Dari dalam tubuhnya memancarkan cahaya. Dan seperti kepingan puzzle yang hancur, tubuh Gita terbang dan memudar lalu lenyap. Terbawa pancaran sinar yang keluar dari dalam tubuhnya. Lalu pandangan ku kembali gelap seiring dengan menghilangnya tubuh Gita.
~•~•~•~
“Mas…”
“Mas Ian…”
Sayup-sayup aku mendengar suara yang aku kenal memanggil nama ku. Aku juga merasakan badan ku seperti bergoyang dan terombang-ambing. Apalagi ini?
“Mas Ian…bangun…”
Diah? Perlahan aku lalu membuka mata ku.
“Eh? Diah?”
“Diah? Ya iya lah, siapa lagi?”
“Eh, enghh…maksud ku, jam berapa sekarang Di?”
Aku merasa sangat kaget ketika aku terbangun mendapati Diah ada di depan ku. Dan wajar jika Diah juga kaget saat aku justru juga kaget ketika aku mengetahui istriku sendiri yang membangun kan ku. Ya, aku ternyata hanya bermimpi bertemu Gita. Astaga.
“Udah jam lima lewat, bangun dulu sholat subuh.”
“Ah, udah pagi ternyata, aku kira masih malem…”
Diah hanya geleng-geleng kepala. Dia lalu keluar kamar dan entah kemana, mungkin ke dapur. Mengerjakan pekerjaan rumah yang selalu dia selesaikan dengan rapi. Aku sendiri lalu mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban lima waktu ku yang…kadang masih bolong-bolong.
~•~•~•~
Tidak seperti biasanya, hari ini Diah lebih banyak diam. Aku tidak tau kenapa karena aku belum menanyakannya. Aku hanya mengajaknya bercanda sesekali atau sekedar mengajaknya ngobrol sesuatu hal yang menurut ku seru, tapi tanggapannya biasa saja. Kadang cuek. Kadang acuh tak acuh.
Kenapa ya? Apa jangan-jangan pas aku mimpi tadi pagi sempat menyebut nama Gita, dan Diah mendengarnya? Aduh. Masuk akal. Kalau beneran gimana ya? Aku harus menanyakannya pikir ku. Biar semuanya jelas.
Sore ini, karena hari sabtu aku libur, kami hanya santai-santai di rumah, kecuali Diah sih yang sibuk terus dengan pekerjaan rumahnya. Semakin hari aku semakin salut dengan dirinya. Seperti tidak ada lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan kadang kalau lagi libur gini harus aku yang menyuruhnya istirahat. Yah paling tidak ikut bermain dengan kami, aku, Kayla, atau Adipati.
Satu hal lagi yang membuat ku semakin sayang kepadanya adalah Diah benar-benar tidak membeda-bedakan mana anak kandungnya, mana anak tirinya. Baik Adipati maupun Kayla sama-sama diperlakukan layaknya anak kandung sendiri.
“Bun…”
“Ya? Kenapa?” balas Diah yang sedang menyuapi Adipati. Sedangkan Kayla sedang menonton televisi.
“Enggak, bunda hari ini lebih banyak diem nya, kenapa? Apa lagi ada masalah? Kalau iya cerita aja siapa tau aku bisa bantu.”
“Diem? Biasa aja kok. Emangnya harus teriak-teriak?”
Jawaban khas seorang wanita bila sedang ada yang dipikirkan. Jawaban penyangkalannya itu justru memperjelas kalau dia memang sedang ada masalah.
“Ya enggak, tapi aku ngerasa bunda beda aja kaya biasanya.”
“Ga ada apa-apa kok, biasa aja, jadi ga ada yang perlu di ceritain.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Bohong…”
“Terserah kamu aja kalau begitu.”
“Aku punya salah?”
Diah tidak langsung menjawab ku, tapi juga berhenti dari menyuapi Adipati. Menatap ku sebentar dan menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau aku bilang ga ada ya ga ada. Masa harus di ada-adain,” balas nya ketus.
“Tapi aku kenal kamu, Diah Nawang Wulan. Kamu tidak akan seperti ini kalau tidak ada masalah.”
“Kalaupun aku ada masalah kayanya kamu ga akan perduli, kan?”
“Astagfirillah, kok ngomongnya begitu?”
“Aku kan nanya, kalau aku ada masalah emang kamu perduli?”
“Ya peduli lah, kamu segalanya buat ku saat ini, selain anak-anak.”
“Bohong.”
“Kan, bener. Pasti ada sesuatu yang lagi kamu pikirin atau ngeganjel di hati kamu.”
“Perasaan kamu aja.”
“Ayolah, cerita ada apa, aku ini suami kamu. Cerita dong kalau ada masalah.”
“Percuma. Aku cerita ke kamu pun paling kamu nya ceritanya ke orang lain.”
“Hah? Maksudnya?”
“Pikir aja sendiri!!”
“Ada apa sih sebenarnya?” tanya ku lagi sambil berusaha mengajaknya saling melihat. Namun Diah cepat-cepat menghindar.
“Ga ada apa-apa.”
“Bener?”
“Iya.”
“Ya udah kalau memang ga ada apa-apa. Tapi senyum dong…hehehe,” pancing ku.
“Dasar ga peka!” balas Diah pelan namun aku masih bisa mendengarnya.
“Kok ga peka? Kan aku udah minta kamu cerita Di…”
“Males. Percuma aku curhat ke kamu tapi nya ga pernah curhat balik ke aku.”
“Laaah, kalau ga ada yang perlu aku curhatin ke kamu masa di ada-adain,” balas ku sambil menahan senyum karena tidak sengaja meniru kalimatnya tadi.
“Yaaa…jelas aja ga ada yang perlu di curhatin orang kamunya udah curhat ke orang lain,” balas nya dengan nada menyindir.
“Aduh, aku makin bingung deh. Kita ini lagi ngebahas apa sih?”
“Siapa Farah?”
“Hah?”
“Siapa Farah? Alfiaaan…”
“Farah…temen kantor…”
“Bohong!!”
“Beneran.”
“Bohong!!”
“Kalau ga percaya nanti aku kenalin deh.”
“Iya temen kantor tapi temen curhat juga.”
“Lah emang salah ya?”
“Enggaaaak, ga salaaah!!” balas Diah ketus.
“Trus masalahnya?”
“Masalahnya kamu sudah punya istri.”
“Berarti kalau aku udah punya istri, ga boleh curhat sama wanita lain ya?” tanya ku dengan polisnya.
“Pikir aja sendiri!!”
“Iya-iya aku ngaku salah. Ga akan lagi-lagi deh,” balas ku menyesal.
“Percuma. Yang udah terjadi kan ga bisa dibalikin.”
“Trus aku harus gimana?”
“Ga gimana-gimana. Mungkin aku nya aja yang terlalu sensitif.”
“Enggak. Pasti ada yang masih mengganjal. Kamu bilang, dan aku akan menuruti semua mau kamu.”
“Ga mau kalau terpaksa.”
“Aku ga pernah merasa terpaksa kalau itu kemauan kamu Diah…”
“Aku mau kamu inisiatif sendiri terhadap apa yang seharusnya kamu lakukan. Aku mau kamu paham posisi kamu sekarang. Apa yang boleh atau tidak boleh kamu lakukan. Apa yang harus kamu jaga. Perasaan orang-orang disekitar mu, terutama keluarga kamu sendiri.”
“Menjaga jarak dengan teman wanita maksud kamu?”
“Anggep aja begitu.”
“Baiklah kalau itu mau kamu Di, aku akan melakukannya,” balas ku dengan tersenyum.
“Itu bukan kemauan ku, tapi sesuatu yang memang seharusnya kamu lakukan. Dengan atau tanpa larangan dari ku. Kamu ga mau kejadian seperti dengan Gita atau Kiki terulang lagi dengan Farah kan?”
“Iya, aku ngerti. Maaf…”
“Aku pasti selalu maafin kamu, apapun kesalahan mu, tapi satu yang aku mau, kamu juga mau mengerti perasaan ku.”
“Iya aku paham, maaf aku ngaku salah.”
“Yang penting kamu udah ngerti yang aku rasain.”
“Iya.”
“Makasih…”
“Eh ngomong-ngomong, kamu tau darimana soal Farah?” tanya ku sambil berfikir.
“Bagaimana aku ga tau kalau kamu ga pernah hapus histori chat kamu di wasap.”
“Eh, iya ya. Hahaha aku lupa. Kapan kamu bacanya?”
“Ga perlu tau kalau yang itu. Wanita akan selalu punya waktu untuk mencari tau hal-hal yang mungkin menurut kaum lelaki sepele seperti itu.”
“Gitu ya?” kali ini aku benar-benar merasa sangat bego. Mungkin benar-benar bego. Atau memang benar-benar bego.
Sudah lah. Tidak penting lagi sebenarnya. Yang penting adalah diam nya Diah tidak berlarut-larut. Dan aku sangat lega ternyata Diah diam hanya karena Farah, bukan karena tau kalau aku semalam memimpikan Gita.
Gita? Sial. Bisa-bisanya aku mimpiin dia. Apa kabar tu anak? Keadaannya bagaimana ya? Eh, kenapa aku penasaran ya sama dia ya? Gawat. Ga boleh. Mungkin ini hanya karena terbawa perasaan setelah mimpiin dia aja. Iya. Aku tidak boleh memikirkannya. Aku sudah punya Diah. Dan Diah tidak suka bila ada wanita lain selain dia. Dan aku harus menghargainya. Ya. Aku harus menjaga perasaan Diah.
~*~*~*~
Empat tahun kemudian
“Padahal aku pengen banget dateng ke nikahannya Binar, ah sayangnya ga memungkinkan,” keluh Farah dari tempat duduknya yang berada di depan kanan ku. Duduknya sedikit nyerong ke arah ku dengan ke dua tangan membelai perutnya yang membucit. Ya, Farah sedang hamil enam bulan. Dan itu Kehamilan anak ke dua nya. Yang dikeluhkannya barusan adalah karena dia tidak bisa menghadiri pernikahan Binar. Lebih tepatnya tidak mendapatkan ijin. Dari dua orang sekaligus. Dokter dan suaminya. Wajar sih. Dan aku memakluminya.
Ya, Binar, adik ku satu-satunya itu memang akan segera menikah. Tepatnya minggu depan. Umurnya sekarang sudah menginjak dua puluh lima tahun. Usia yang lebih dari cukup bagi seorang wanita untuk menikah. Dan calonnya tentu saja adalah Endra. Kawan lama ku semasa SMA. Aku sangat bahagia hubungan mereka masih terus berlanjut hingga sekarang dan akan segera menapak ke jenjang yang lebih serius.
Farah kenal dengan Binar? Ya, mereka saling mengenal. Tidak terlalu dekat sih, tapi beberapa kali pernah saling bertemu. Bersama dengan ku tentunya. Dulu, pernah kami jalan-jalan bersama ke jogja. Tepatnya sesaat setelah pernikahannya Farah. Ceritanya bulan madu dan aku kebetulan ada urusan di kampung. Dan begitulah. Mereka bertemu. Kenal. Dan terkadang seorang perempuan tidak memerlukan alasan spesifik untuk saling mengakrabkan diri.
Aku masih sama seperti yang dulu. Istri ku masih Diah Nawang Wulan. Tidak terasa pernikahan kami sudah berjalan empat tahun. Anak ku juga masih dua, Adipati dan Kayla, belum bertambah. Aku tidak tau apakah memang aku ditakdirkan untuk tidak akan memiliki anak dari rahim Diah, atau memang belum saatnya. Entahlah.
Satu hal yang sudah berubah di kehidupan ku mungkin adalah jabatan ku di tempat kerja. Aku masih bekerja di tempat yang sama. Tapi alhamdulillah sudah naik tingkat menjadi Supervisor. Tepatnya aku mendapatkan jabatan baru itu dua tahun yang lalu, atau tiga tahun setelah berkutat di level Staff. Satu hal yang baru lagi adalah ada nya Farah yang masuk ke dalam team ku.
Jadi ceritanya Farah ini dulu saat masih menjadi customer services, selama dua tahun berturut-turut hanya menjadi pegawai kontrak. Berbeda dengan ku yang setelah satu tahun langsung diangkat menjadi pegawai tetap. Aku tidak mengerti kenapa, karena aku bukan manager nya waktu itu. Padahal aku melihat anak ini sebenarnya kinerjanya bagus. Tidak jenius tapi paling tidak memiliki komitmen untuk memberikan yang terbaik. Aku tau itu setelah dia masuk ke dalam team ku.
Nah, kembali ke bagaimana dia bisa menjadi anggota team ku. Tidak lama setelah aku di angkat menjadi supervisor, kalau tidak salah sekitar dua bulan, adalah habisnya kontrak tahun ke dua Farah. Sesuai dengan kibijakan perusahaan bahwa tidak ada kontrak untuk tahun ke tiga, maka Farah harus putus kontrak dan sign lagi bila masih akan dipertahankan. Saat itulah aku kepikiran untuk mengambilnya karena aku butuh Staff baru.
Sekarang lupakan Farah. Kembali ke keluarga besar ku. Salah satu yang sangat menarik untuk diceritakan adalah Tiara. Tentu saja. Umurnya sekarang sudah empat belas tahun. Baru saja naik ke kelas tiga SMP. Anaknya…cantik. Persis seperi ibu nya. Tapi resenya belum berubah, terutama terhadap ku. Cuma bedanya sekarang agak lebih jaim saja. Wajar. Anak perempuan.
Mba Endang dan mas Rizal? Mereka tidak perlu di ceritakan. Mereka punya cerita sendiri. Masih sama-sama keras. Hal-hal sepele kadang bisa jadi perdebatan diantara mereka. Tapi lucunya tidak lama kemudian biasanya akan akut kembali.
Mas Yoga dan mba Laras? Hidup bahagia di kampung. Tinggal bareng bapak sama ibuk sekarang. Dan mungkin akan seterusnya. Mereka berdua yang akan menjaga bapak dan ibuk hingga akhir hayat nanti. Itu karena Binar sekarang tidak tinggal di rumah lagi alias nge kos setelah bekerja. Hanya tiap akhir pekan dia pulang ke rumah. Dan setelah menikah pun sudah hampir pasti akan ikut dengan Endra.
Gita, Kiki dan Doni? Anggap saja mereka tidak pernah ada di dalam kehidupan ku. Tidak ada yang perlu di ceritakan karena aku sendiri bahkan sudah lupa dengan kenangan terakhir apa yang pernah kami ciptakan dulu.
“Heiii, ada yang ngajak ngomong juga, malah dicuekin, huuuh…” omel Farah membuyarkan lamunan ku.
“Eh? Hehehe, maaf-maaf. Apaan?” tanya ku.
“Hiiih. Itu nikahannya Binar. Aku pengen banget dateng sebenernya…”
“Oh itu. Ya gimana? Dokter kan ga ngijinin kamu buat perjalanan jauh. Dan suami mu juga ga ngijinin. Lagian ga harus dateng kok.”
“Iya ga harus dateng. Tapi aku pengen dateng. Itu suatu hal yang berbeda,” keluhnya lagi.
“Seandainya punya pintu kemana aja nya Doraemon ya?” khayal ku tiba-tiba.
“Angan-angan yang tidak realistis.”
“Hahaha. Mending kamu siap-siap pulang aja deh, dari pada bawel terus kaya gini. Aku pusing. Hahaha,” balas ku dengan maksud bercanda.
Farah manyun mendengarkan candaan ku padanya. Duduknya kembali lurus ke depan. Artinya dari sudut pandang ku arahnya sembilang puluh derajat ke arah kiri.
“Males pulang. Ga ada siapa-siapa di rumah.”
“Eh serius? Kamu lagi hamil gitu ga ada yang nemenin?”
“Ada bibi…sama Anggi juga. Maksud ku mas Ajie lagi dines. Mertua ku juga dua-dua nya lagi ke tempat sodara. Jadi malam ini cuma bertigaan aja.”
“Owh kirain. Si Ajie kapan berangkat?”
“Tadi pagi subuh-subuh dah jalan.”
“Berapa lama?”
“Tiga hari.”
“Hmm…pantes…” balas ku sambil berlagak seperti sedang menganalisa sesuatu.
“Apanya yang pantes?”
“Pantes kamu seharian ini bawel terus, hahaha. Lagi ditinggal kang mas Ajie rupanya.”
“Jangan mulai deh. Lagi galak nih…”
“Hehehe. Ampuuun…”
Farah melotot ke arah ku. Dia berusaha galak tapi tetap tidak akan bisa menakuti ku. Yang ada malah membuat ku semakin ingin membercandainya.
“Jalan aja yuk mas…”
“Hah?”
“Hah heh hah heh!”
“Kamu bilang apa barusan?”
“Ayuk jalan…”
“Kenapa tiba-tiba gitu?”
“Ya dari pada suntuk…mending jalan.”
“Jalan ya? Kamu sama aku? Malam-malam begini? Dengan kondisi kamu lagi hamil? Enggak! No!”
“Bosen niiih…”
“Masih banyak kerjaan aku!”
“Alaaah bohong. Orang lagi sepi juga. Lagi ga banyak permintaan dari user.”
“Tetep aja ga mau. Ntar kalau ada apa-apa aku yang kena. Oh tidak.”
“Makan malam aja. Atau ngopi-ngopi di bawah.”
Yang di maksud ngopi di bawah oleh Farah ini adalah ngopi di kafe kopi yang berada di lobi gedung perkantoran ini.
“Hmm…” aku mencoba berfikir. Tidak ada salah menerima ajakannya. Tapi tetap saja dia nya akan pulang malam juga. Jujur aku takut akan berpengaruh ke fisiknya, baik fisiknya sendiri maupun janin yang di kandungnya. Bukan istri ku, main ajak jalan malam, kalau ada apa-apa aku nya yang tanggung jawab. Kalau istri ku sekalian ga apa-apa. Bingung.
“Ah pasti mas mau makan di rumah ya? Udah dimasakin mba Diah ya?” tanya nya lagi.
“Ehmm…iya sih. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Apa dong?”
“Aku cuma ga mau jalan malam-malam sama ibu-ibu hamil.”
“Kalau sama perawan? Ya udaaah. Ga mau juga ga apa-apa. Nasib jadi ibu-ibu hamil.”
“Astagfirulloh…kok ngomongnya gitu?” tanya ku heran. “Emang mau ngapain sih jalan?” tanya ku lagi.
“Udah lupain aja mas, aku mau pulang aja!” jawabnya ketus.
“Hei aku nanya!”
Bukannya menjawab pertayaan ku, Farah malah nyelonong pergi begitu saja setelah membereskan mejanya. Jangan kan berpamitan, Farah meninggalkan ku dengan muka juteknya. Hadeh. Wanita kalau mood hatinya sudah ga enak semuanya pasti kena. Bahkan atasannya sendiri.
Aku berinisiatif mengejarnya. Segera saja aku mematikan pc ku. Dengan cepat aku berlari keluar ruangan dan berjalan menuju lift untuk turun. Sampai di bawah aku tidak mendapati Farah ada di lobi. Ah ketinggalan pikir ku. Cepet juga ya. Dengan agak panik aku segera menghubunginya. Aku takut dia nekat melakukan hal-hal konyol karena aku tidak menerima ajakan jalannya. Oke ini agak lebay. Tapi aku benar-benar khawatir dan akan tetap menghubunginya. Paling tidak aku tau bahwa dirinya baik-baik saja.
“Halo, Far? Kamu dimana?” tanya ku begitu panggilan ku tersambung.
“Masih di lobi, kenapa?” jawabnya santai. Aku lalu memutar tubuh ku kebelakang dan benar saja mendapatinya baru keluar dari lift. Syukurlah. Langsung ku matikan telepon ku. Farah yang melihat ku langsung berjalan mendekat ke arah ku meskipun tanpa ekspresi. Datar saja.
“Kirain udah duluan,” ucap ku padanya.
“Ke toilet dulu tadi. Lagi pula aku masih nunggu taksi online kok. Kenapah?” tanya nya acuh.
“Enggak, takutnya kamu kenapa-kenapa.”
“Halaaah. Sok perhatian! Pulang sono! Udah ditunggin mba Diah tuh!”
“Hmm. Ya udah yuk jalan. Mau makan dimana kita?” aku menawarinya. Dan sekarang gantian aku yang meminta padanya. Wanita dengan drama nya memang selalu bisa memutarbalikan situasi dan kondisi.
“Udah ga selera. Udah ah, aku mau pulang aja. Salam buat mba Diah.”
Bertepatan dengan ucapannya itu datang sebuah mobil pribadi, yang ternyata adalah taksi online pesanan Farah. Farah lalu berjalan menuju mobil itu dan masuk ke dalam nya. Aku yang merasa masih ada ganjalan terhadap nya ikut masuk me dalam mobil itu begitu saja. Tanpa seijinnya.
Saat aku sudah ada di dalam mobil, dan duduk di sampingnya, Farah memberikan tatapan yang sangat aneh. Seperti bertanya “Ngapain lu ikut masuk?” Atau semacam nya.
“Cuma memastikan kamu sampai rumah dengan selamat,” ucap ku spontan seperti mengerti apa maksud dari raut wajah nya.
~•~•~•~
Entah kenapa begitu mobil ini tiba di rumah Farah, aku malah ikut turun dari mobil. Padahal kalau hanya untuk memastikan Farah baik-baik saja sampai rumah, aku bisa saja mengorder ulang taksi online ini dan langsung pulang. Bahkan ketika Farah masuk ke halaman rumahnya yang besar itu, aku malah ikut masuk di dalam nya.
“Loh kok ikut masuk? Pulang sana!” usirnya.
Agak kasar sih, tapi aku yakin itu karena suasana hatinya yang lagi ga bagus, dan aku yakin suasana hatinya akan semakin ga enak kalau aku meninggalkannya. Feeling ku sih di Farah ini lagi kesepian. Makanya dia tadi maksa aku nemenin dia makan malam atau ngopi-ngopi di kafe. Di rumahnya sekarang hanya ada pembantu dan anaknya. Suaminya lagi keluar kota. Mertua nya juga. Dan aku menolak maksud tersiratnya. Dan biasanya kalau sudah begitu wanita akan menyalahkan kaum pria karena mereka merasa kita ini tidak peka dengan maksud mereka.
“Mau minta kopi, hehehe.”
“Gulanya abis tapi. Pait mau?” balasnya masih dengan jutek.
“Ga apa-apa, ntar kalau minumnya sambil liat kamu juga jadi manis,” canda ku. Garing.
“Gombal!” komentar Farah pelan. Dia lalu berjalan ke arah pintu depan rumahnya yang mungkin ada kali lima kali besarnya dari rumah ku. Dan tingkat dua. Rumah Farah ini, atau lebih tepatnya rumah suaminya, berada di salah satu perumahan elit di daerah Cinere.
Begitu Farah membuka pintu, dia langsung disambut oleh sang asisten rumah tangga, yang nampaknya kaget melihat keberadaan ku. Seorang lelaki yang mengantar pulang istri dari majikannya.
“Ini bos aku bi, tadi aku agak ga enak badan pas mau pulang, makanya beliau ini berinisiatif nganter aku pulang. Rumahnya searah ternyata, jadinya sekalian bareng,” ucap Farah menjelaskan. Seperti memberikan pembelaan terhadap keberadaan ku. Si bibi pun hanya mengiyakan perkataan Farah.
“Ayo silahkan masuk pak,” tawar Farah terhadap ku. Pak? Terasa sangat aneh tapi lucu. Hahaha.
“Silahkan duduk. Anggap saja seperti rumah sendiri. Saya mau ganti baju dulu. Bi, tolong buatin kopi ya buat pak Ian,” pinta Farah pada pembantunya itu sambil memberikan isyarat pada ku agar mengikuti sandiwaranya.
“Anggi sudah bobo ya bi?” tanya Farah pelan pada pembantunya saat meninggalkan ku sendirian di ruang tamu. Anggi sendiri adalah putri pertama Farah yang sekarang sudah berusia dua tahun lebih.
“Sudah non, tapi belum lama sih,” balas si bibi.
“Oh ya udah ga apa-apa,” ucap Farah lagi.
Si bibi pun langsung pergi ke dapur. Sedangkan Farah masuk ke kamarnya.
Tidak lama kemudian mereka berdua kembali dengan waktu yang hampir bersamaan. Farah lebih dulu kemudian baru si bibi.
“Silahkan di minum pak,” tawar Farah pada ku. Hampir saja aku tertawa mendengar kalimat-kalimat formal yang dia ucapkan. Berbeda banget dengan biasanya yang bila berbicara dengan ku seperti berbicara dengan teman sendiri, bahkan bila di kantor sekalipun.
“Bibi kalau mau ke kamar duluan ga apa-apa, ga usah nungguin, nanti biar aku aja yang ngunci gerbangnya. Pak Ian paling juga ga lama, udah di tunggu istrinya juga pasti, hehehe. Iya kan pak?” tanya Farah seolah mengusir ku dengan halus.
“Eh, i-iya ga lama, hehehe, abis kopinya langsung pulang.”
“Baik non, saya tinggal kalau begitu. Kalau perlu apa-apa panggil saya aja ya,” pamit si bibi.
“Iya bi, makasih yaah,” balas Farah sambil tersenyum. Si bibi pun beranjak pergi dan meninggalkan kami berdua.
“Aku tadi ngomong formal cuma biar si bibi ga curiga aja. Dia kan baru, belum kenal kamu. Takutnya dia cerita ke mertua ku yang enggak-enggak. Nanti aku juga bakal cerita ke mas Ajie kalau kamu nganterin aku. Jadi kalau nanti mas Ajie ngehubungin mas Ian trus bilang makasih mas ga usah ngelak,” ucap Farah dengan suara yang lebih lunak dari sebelumnya.
“Iya, paham kok. Aku kan team leader yang ga di anggap,” balas ku seolah menyindirnya dengan fakta bahwa Farah tidak pernah formal bila berbicara pada ku, meskipun di kantor.
“Salah sendiri hire anak buah yang seumuran,” balas nya.
“Hahaha, abis cuma sama kamu aku merasa cocok, hehehe.”
“Cuma sama aku yang cocok atau adanya cuma aku?”
“Ehm…mungkin lebih tepatnya yang ke dua.”
“Tuh kan…nyebelin ahh!!!” balasnya dengan ketus.
“Hehehe, bercanda Farah…”
“Bodooo…”
“Hehehe.”
Aku lalu menyeruput kopi yang dibuatkan si bibi tadi, yang aku belum tau namanya. Mantab juga nih pikir ku.
“Bibi nya tadi siapa namanya?”
“Kenapa? Naksir? Inget…udah punya mba Diah…”
“Hahaha, ya kali. Enggak, kopi nya manteb banget. Pas.”
“Oh ya? ya udah aku minta buatin lagi yah mas, satu galon tapi. Dan kudu habis!”
“Hahaha, kembung yang ada itu mah. Jadi nama nya siapa?”
“Sebut saja namanya mawar.”
“Serius aku.”
“Aku juga serius mas Ian. Namanya bi mawar. Nama lengkapnya tanya aja sendiri.”
“Ooo, namanya mawar. Yayaya, nama yang indah.”
“Jadi bela-belain mampir ke sini cuma mau bahas nama seorang asisten rumah tangga ya?”
“Paling tidak kan jadi ada topik yang dibahas, dari pada cuma diam?”
“Tapi lebih pas lagi kalau mas nya nanya kabar Anggi, atau kandungan ku, atau mas Ajie, atau cerita tentang Kayla dan Adipati mungkin.”
“Hehehe, jadi ceritanya kamu pengen ditanyain kabarnya?”
“Mas Ian pulang aja deh kalau ngobrolnya ga jelas kaya gini.”
“Hahaha, maaf-maaf.”
“Tau orang lagi suntuk, malah gaje aja dari tadi.”
“Iya maaf Farah cayaaang…” goda ku.
“Cayang-cayang…weeek…”
“Oiya kapan itu Adipati nanyain Anggi lho, sepertinya mereka cocok. Mungkin mereka berjodoh.”
“Terlalu jauh mikirnya.”
“Ya siapa tau…namanya juga jodoh ya kan?”
“Iya sih. Adipati empat tagun, Anggi dua, beda dua tahun. Pas banget tuh. Ah tapi males deng.”
“Kenapa?”
“Besanan sama mas Ian. Kaya ga ada besan yang lain aja. Hahaha.”
“Hahaha. Sialan. Belum tau nanti Anggi bakalan klepek-klepek sama pesonanya Adipati yang nurun dari bapaknya, hahaha.”
“Idiiih, najis. Hahaha.”
“Hahaha. Eh, kamu kalau keluar dingin ga?”
“Maksudnya?”
“Kalau ngobrolnya di luar dingin aja dingin ga? Pengen ngobrol di gazebo aku. Kayanya enak. Suasananya kaya di kampung. Hehehe.”
“Oh, ehmm…enggak sih. Tapi aku ambil jaket aja dulu kali aja dingin.”
“Oke. Baiknya sih kamu pake jaket.”
Farah mengangguk kemudian masuk lagi ke dalam kamarnya. Sedangkan aku berinisiatif keluar duluan dengan membawa kopi ku tentunya. Aku baru ingat kalau di halaman rumah besar ini memang ada gazebo nya. Ga tau kenapa tiba-tiba pengen duduk-duduk di gazebo itu. Sambil liatin langit malam dan bintang-bintang pasti bakalan bikin hati tenang. Sesuatu yang sering aku lakukan dulu waktu masih di kampung. Di atas bale tentunya, karena di kampung tidak ada gazebo.
Tidak lama kemudian Farah muncul lagi. Setelah turun dari teras, dia berjalan dengan sangat hati-hati. Wajar karena halaman ini tidak terlalu terang pencahayaanya. Hanya ada beberapa lampu taman, itupun yang model berwarna orange, bukan putih. Aku bergegas menghampirinya dan mengulurkan tangan ku untuk membantunya berjalan dengan menuntunnya. Dia tersenyum dan mengamit lengan ku lalu kami berjalan beriringan.
“Kalau aku tadi ga pura-pura ngambek mungkin mas Ian ga akan ada di sini ya?” ucapnya tiba-tiba.
“Jadi tadi cuma pura-pura?”
“Lebay banget kalau cuma ga mau nemenin jalan trus di ambeg in…”
Setelah berjalan dengan sangat hati-hati, kami berdua sampai juga di gazebo. Gazebo ini berbentu persegi dengan dudukan berupa beton berbentuk huruf U di kelilingnya dan atap berbentuk joglo. Di sebelah gazebo ada sebuah kolam ikan kecil dengan air mancur yang kecil. Suara gemericik air menciptakan suasana yang sangat nyaman.
“Kamu sebenernya kalaupun ga kerja, suami mu kayanya udah lebih dari mampu untuk kasih kamu uang belanja deh,” komentar ku menanggapi kemapanan suaminya yang selain sudah mapan juga berasal dari keluarga yang cukup kaya. Dan Farah sendiri setau ku juga berasal dari kalangan yang berada.
“Di rumah doang? Ga ngapa-ngapain? Mana betah aku.”
“Ya ngurus anak lah. Emang suami mu ga komplain ya?”
“Dia mah bebasin aku mau ngapain aja. Yang penting aku seneng katanya. Hehehe,” balasnya.
Farah mengambil duduk dekat dengan tiang gazebo dan menyandarkan lengannya ke tiang itu. Sedangkan aku, berdiri ke arah kolam.
“Kalau mas Ian, tipe suami yang kaya gimana?”
“Aku? Apanya dulu nih?”
“Ya itu, istri boleh kerja apa enggak? Atau apapun terhadap istri.”
“Aku sih pada prinsipnya sama, yang penting seneng juga. Tapi kalau bisa sih di rumah aja.”
“Berarti kita ga cocok dong ya? Hehehe.”
“Kita?”
“Iya, aku sama mas Ian, misalnya.”
“Mungkin. Tapi ga tau juga, kan belum di coba,” balas ku sambil berbalik dan duduk menghadap ke arahnya.
“Hihihi,” tawanya tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Ngebayangin mas Ian yang jadi suami aku. Tahan berapa lama ya? Hahaha.”
“Mungkin tiga hari, setelah itu basi.”
“Makanan kali basi.”
“Hahaha. Jangan dibayangin ah, ga akan mungkin kejadian juga.”
“Loh, tadi katanya jodoh ga ada yang tau. Ga konsisten nih.”
“Kita kan udah ketemu jodoh masing-masing.”
“Tetep saja tidak ada yang tau ke depannya mas. Hidup, mati, jodoh, rezeki, semua rahasia ilahi.”
“Ga salah. Tapi kalau menurut mu, mukjizat, keajaiban, atau sejenis nya itu mungkin terjadi ga sih?”
“Selama itu bukan hal yang mustahil, pasti ada kemungkinannya.”
“Contoh hal yang mustahil itu seperti apa?”
“Menelan kepala sendiri mungkin. Atau melarang dua wanita yang sedang berkumpul agar tidak saling bergosip.”
“Hahaha. Jadi menurut mu melarang wanita bergosip itu sama mustahilnya dengan menelan kepala sendiri?”
“Dari pengalaman sih iya,” jawabnya santai.
“Hahaha,” aku tertawa.
“Faktanya sih begitu,” lanjutnya.
“Kalau menurut mu, Gita, Kiki, sama Doni bakalan balik ga?”
“Aku tidak tau, tapi itu bukan bagian dari sesuatu hal yang mustahil kalau Tuhan menghendaki. Bukannya itu yang sering mas Ian ucapkan? Tentang kehendak Tuhan. Tentang rencana Tuhan?”
“Kalau dihitung-hitung…sudah lima tahun mereka pergi. Sayangnya rencana Tuhan belum mengarahkan mereka buat balik lagi.”
“Cie cieee…”
“Apaan cie cie?”
“Masih ngarepin kedatangan dua bidadari yang udah lama menghilang yaaa…hihihi.”
Aku menggidikkan bahu ku menanggapi ledekannya. Bisa dibilang aku memang masih mengharapkan kehadiran mereka bertiga. Meskipun menurut ku butuh sebuah keajaiban untuk mewujudkannya.
“Samperin sih mas! Gajinya yang sekarang pasti juga udah cukup lah kalau cuma buat beli tiket pesawat mah.”
“Iya cukup, abis itu leher ku di gorok sama Diah.”
“Hahaha, iya ya. Mba Diah kan posesif. Jadi inget dulu yang dia cemburu sama aku.”
“Ya kan?”
“Ehm…ga perlu jujur mungkin bisa kali, bilang aja dines dari kantor.”
“Baru kali ini aku dapet saran dari seorang cewek yang sudah berstatus istri untuk ngebohong sama cewek lainnya yang juga berstatus istri.”
“Hahaha, ga selebay itu kali. Ga jujur bukan berarti bohong. Kan dalam misi kebaikan bersama.”
“Itu pembenaran yang terlalu di benar-benar kan. Aku memang masih ngarepin mereka balik. Tapi kalau harus nyusulin satu-satu, enggak deh.”
“Dih, angkuh banget.”
“Bukan angkuh, tapi nyari bonusan aja. Aku anggep mereka bertiga sebagai bonus aja. Karena yang paling utama tentu saja keluarga ku.”
“Aku ga termasuk?”
“Oiya…Farah mbem yang paling unyu-unyu juga termasuk dong…” seloroh ku sambil menghampirinya dan memeluknya dari samping. Sebuah pelukan hangat dari ku untuk nya.
“Hahaha. Segede gini masih unyu-unyu juga. Mas ini bisa saja,” balas Farah sambil mendaratkan kepalanya di bahu ku.
“Kan yang gede itunya, muka mah masih tetep unyu-unyu,” canda ku.
“Apanya yang gede? Genit ah,” protesnya sambil mencubit ku.
“Aaaw…aaaw…hahaha. Maksud ku jempolnya Far yang gede, dan itu nya juga sih.”
“Apanya siiih?”
“Kelingkingnya, telunjuknya,” aku lalu meraih jemarinya. “Wooow, ternyata emang gede semua, hahaha,” lanjut ku membercandainya.
“Iiih. Nyebelin. Ini karena lagi hamil aja. Ntr juga nyusut kalau udah ngelahirin,” protes Farah lalu melepaskan pelukan ku yang tanpa ku sadari sudah cukup lama dan cukup erat pada nya.
“Mitos!!” sela ku dengan nada tidak percaya.
“Fakta. Liat aja nanti.”
“Ditunggu. Sampai selangsing Diah ya…” tantang ku.
“Yah…kalau sama mba Diah mah susah lah mas…” balasnya sambil memelas karena mungkin dia sadar dari postur tubuh mereka berdua bertolak belakang. Diah lebih kurus dan langsing, sedangkan Farah perawakannya bongsor meski tidak bisa di bilang gemuk.
“Ga ada yang ga mungkin kalau bukan hal yang mustahil kan kata kamu tadi?”
“Hahaha, tapi kalau soal berat badan itu hampir mendekati mustahil.”
“Hahaha. Dasar.”
Aku lalu naik ke pinggiran gazebo dan duduk bersila menghadapnya.
“Kok liatinnya gitu?” tanya nya.
“Enggaaak,” jawab ku singkat.
“Iiih, dasar aneh. Eh iya tadi sama mba Diah pamitnya kemana? Ke sini kan?”
“Yaaa…enggak lah. Hahaha. Mana mungkin dia ngijinin aku main ke rumah seorang wanita sendirian?”
“Laaah jadi bohong sama mba Diah dong?”
“Bukan bohong, cuma ga jujur aja kok, hahaha”
“Hahaha. Pinter. Emang mba Diah se posesif itu ya?”
Aku menggidikkan bahu dan mengangkat alis ku menanggapi pertanyaannya. Sesuatu hal yang memang tidak bisa di pungkiri.
“Mas tahan?”
“Kalau udah cinta mah harus tahan lah. Terima apapun sifat dan kekurangan dari pasangan.”
“Tapi nyaman ga?”
“Insyaallah.”
“Kalau ga nyaman mending bilang aja. Bukan maksud untuk berontak, tapi sekedar ngeluarin unek-unek. Kan ga harus selalu mas Ian yang mengerti mba Diah, sebaliknya juga harus. Jadinya seimbang.”
“Iya nanti aku akan bilang. Eh, kayanya aku pulang sekarang ya. Ga enak juga kalau main nya kemaleman apalagi kamu kan lagi ditinggal suami.”
“Hehehe, iya juga sih. Ya udah hati-hati ya mas. Naik apa nanti?”
“Ojek online paling.”
“Ya udah. Salam buat semuanya yah. Sering-sering ajak main ke sini dong biar rame. Biar Adipati makin deket sama Anggi, hihihi. Siapa tau bisa jadi sahabat,” ucapnya.
“Dan siapa tau juga kita bisa besanan nanti, hahaha,” aku melanjutkan.
“Hahaha, iya.”
“Siap. Nanti aku ajak keluarga ku main ke sini.”
Setelah berpamitan, akupun pulang meninggalkan rumah besar Farah. Entah kenapa aku tadi malah membahas soal Gita dan yang lainnya. Seseorang yang sebenarnya aku tidak ingin mengingatnya lagi.
Dan satu hal lagi yang membuat ku menjadi kepikiran adalah, benar apa yang di tanyakan oleh Farah, apakah sebenarnya aku bahagia dengan Diah dengan sifat posesif nya itu? Apakah aku harus selalu yang mengerti dia? Tidak sebaliknya juga. Tapi entahlah. Pikiran ku sekarang hanya fokus pada persiapan untuk pulang kampung minggu depan untuk menghadiri pernikahan adik semata wayang ku. Binar Ayuningtyas. Semoga semuanya lancar.
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin BanyakCerita99
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Pembaca setia BanyakCerita99, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)BTW yang mau Mensupport Admin BanyakCerita dengan Menklik Gambar Diatas dan admin akan semakin semangat dapat mengupdate cerita full langsung sampai Tamat.
Terima Kasih 🙂