Merindukan Kesederhanaan Part 48
Merindukan Kesederhanaan Part 48
Mungkin Sudah Basi
Pagi tadi Kiki tiba di rumah kami dengan segala barang bawaannya. Makanan, buah-buahan, semuanya lengkap. Makanan untuk kami santap bersama. Makanan rumahan. Masakannya sendiri. Bukan makanan warung makan yang biasa aku dan Tiara beli. Jadi maksudnya mau menunjukkan kalau dia bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik? Atau menunjukkan kalau aku tidak bisa mengurus Tiara sendiri?
Dan sudah hampir satu jam ini mereka berdua berada di dalam kamar, sedangkan aku sendirian di ruang tengah. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Terkadang aku mendengar suara tawa geli di antara mereka berdua. Lalu kemudian hening. Lalu kemudian tawa Tiara yang terdengar sangat nyaring. Lalu teriakan manja dari Tiara.
Banyaklah. Banyak yang berubah dari sisi Tiara semenjak kembalinya Kiki. Jujur, hingga sekarang aku belum tau chemistry apa yang menghubungkan mereka berdua hingga bisa sedekat itu, padahal perbedaan usia mereka cukup jauh. Bagaimana itu bisa terjadi? Aku tidak tau.
Hubungan ku sendiri dengan Kiki juga sudah kembali seperti dulu. Meskipun aku merasa masih ada sedikit jarak di antara kami, tapi masih mending lah dari pada tidak sama sekali. Sesuatu yang sangat positif untuk sebuah kesalah pahaman yang terjadi hampir selama lima tahun pada sebuah persahabatan.
Persahabatan? Sahabat? Apa Kiki masih menganggap ku sebagai sahabatnya? Atau hanya sebagai teman biasa saja? Entahlah. Aku tidak tau. Aku belum menyinggung obrolan ke arah sana. Kami belum saling bertemu lagi semenjak acara kelulusan Tiara. Hari ini adalah kedua kalinya kami bertemu. Kami hanya sesekali berkomunikasi dengan saling mengirim kan pesan. Tidak lebih. Tapi apapun itu, aku harus segera bisa merealisasikan harapan dan keinginan Tiara. Yang sekali lagi aku belum tau bagaimana isi hati dari Kiki sekarang ini.
Lalu apa aku benar-benar sudah siap? Dulu, saat aku menikahi Ayu, itu sebenarnya karena ada unsur kecelakaan yang membuat ku harus menikahinya, meskipun pada akhirnya aku bisa memberikan hati ku pada nya karena waktu itu aku tidak bisa mendapatkan Diah. Lalu, tiba-tiba Diah muncul kembali saat Ayu harus pergi. Saat itu, meskipun sedikit ragu tapi tidak sulit bagi ku untuk meminang Diah dan menikahi nya. Diah memang cinta pertama ku. Tidak terlalu sulit bagi ku waktu itu untuk memilihnya kembali.
Tapi kalau sekarang, apa aku harus belajar untuk mencintai orang lain lagi? Sama seperti saat aku harus mencintai Ayu? Kalau dulu ada faktor si jabang bayi, sedangkan sekarang ada faktor Tiara. Pertanyaannya, apa aku harus melakukannya lagi? Tiara sudah besar. Apa aku harus menuruti semua kemauannya? Seharusnya tidak. Tapi sekarang dia yatim piatu. Hanya aku yang dia punya. Dan, mba Endang sendiri yang menitipkan anaknya itu kepada ku. Membahagiakannya adalah kewajiban ku.
Tapi sebenarnya masih ada satu hal lagi yang aku takut kan. Sesuatu yang baru aku sadari akhir-akhir ini. Entah perasaan itu datangnya dari mana dan bagaimana aku bisa mengkhawatirkannya, aku juga tidak mengerti. Aku hanya takut apa yang menimpa Ayu dan Diah akan terjadi pada Kiki juga. Ya meskipun semua orang pasti akan mati, tapi mereka berdua berpulang terlalu cepat. Sangat cepat. Menurut ku. Entahlah. Takdir Tuhan. Rahasia Tuhan. Rencana Tuhan.
Kiki dan Tiara tiba-tiba keluar dari kamar sambil tertawa dan membuyarkan lamunan ku. Aku menoleh, memberikan senyum dan kembali menatap ke arah televisi. Kiki dan Tiara sekarang bersama ku di ruang keluarga ini.
“Om Ian udah laper belum om?” tanya Tiara. Aku melihat ke arah jam dinding dan ternyata sudah jam sebelas siang. Pantes udah laper.
“Udah sih, hehehe. Kalian?”
“Udah juga, ini aku sama tante mau nyiapin makan siang dulu, bis itu kita makan bereng yah om…” ajak Tiara dengan penuh semangat.
“Oke deeh,” balas ku sambil tersenyum.
Mereka berdua lalu pergi ke dapur. Setahu ku yang dibawa Kiki tadi adalah makanan jadi. Jadi seharusnya tinggal menghangatkan saja. Atau entahlah aku tidak tahu. Aku sih terima jadi saja. Kalau sudah siap makan ya tinggal makan.
Sesekali aku melirik ke arah dapur yang memang terlihat dari sudut pandang ku. Nampak sekali keceriaan diantara mereka berdua. Tawa dan canda mereka terasa hangat. Apakah keceriaan di antara mereka memang seharusnya mengisi hari-hari di rumah ini? Mungkin iya.
Tapi tiba-tiba aku menjadi ragu kembali. Terkadang aku masih teringat dengan Diah. Terkadang aku juga teringat dengan tangisan Tiara beberapa waktu lalu. Aku harus bagaimana ini? Belum lagi pesan-pesan mba Endang.
Kelamaan berfikir membuat ku tidak sadar kalau mereka berdua sudah selesai menyiapkan makan siang. Tiara memanggil ku dan aku sendiri dengan lemasnya menghampiri mereka berdua.
“Kalian berdua ini, kalau disuruh mandi pasti males, giliran makan, cepet,” ledek Kiki tiba-tiba.
“Hehehe, tapi udah gosok gigi kok. Mandinya nanti aja yah abis makan. Ga ada rencana pergi kemana-mana ini,” balas Tiara.
“Iya sayang, tante bercanda kok. Nanti aja mandi nya, sekarang kita makan dulu.”
“Asiiik, ini masakan nya tante sendiri kan yah? Akhirnya bisa nyobain lagi…” tanya Tiara.
“Iya dong. Tiara kapan-kapan belajar masak sama tante yah. Nanti tante ajarin deh pokoknya. Biar pinter masak. Jadi nanti ga kagok kalau udah punya suami, hihihi” balas Kiki sambil memberikan sepiring nasi dan lauk untuk ku. Aku menatapnya dengan penuh heran.
“Buat aku?”
“He’em,” balasnya sambil tersenyum.
“Makasih,” balas ku lagi. Jujur, aku merasa sangat senang dengan perlakuannya ini. Berat. Sepertinya semakin kesini aku semakin berat ke Tiara. Eh Kiki maksudnya.
“Om ini, udah jelas buat om masih aja pakai nanya. Basa basi banget deh. Buat Tiara aja kalau ga mau…” protes Tiara.
“Yeee…enak aja! Buat om tau ini,” balas ku tidak mau mengalah.
“Hihihi. Sudah jangan berebut. Tiara mau tante ambilin juga? Nih tante ambilin,” ucap Kiki sambil menyendok nasi lagi.
“Yeeey…asiiik. Coba kalau tante Kiki bisa tinggal di sini ya om ya? Makan kita pasti bakal terjamin. Hahaha.”
“Sebelumnya memang tidak terjamin ya?” tanya Kiki.
“Terjamin. Terjamin banget. Tapi kan beda tante antara makanan masakan sendiri sama masakan warung.”
“Tapi kasihan tantenya kalau tinggal di sini cuma buat di suruh ngambilin makan, hahaha,” balas ku dengan bercanda. Mereka ikut tertawa.
Aku tersenyum kecut mendengar kejujuran seorang Tiara pada Kiki. Apa yang dia ucapkan memang tidak salah.
“Ya udah, nanti tante bakalan sering-sering ke sini. Minimal seminggu sekali lah,” lanjut Kiki.
“Bener tante?”
“Iyaah…sekalian kamu belajar masak yah. Biar bisa masakin om nya…”
“Oke deh tan…siiip…” balas Tiara lagi dengan girang.
“Terima kasih, Ki,” ucap ku pelan.
“Hehehe, sama-sama Ian, anggep saja ini sebagai permintaan maaf ku karena dulu udah ngilang gitu aja, hahaha.”
“Kita pasti maafin kok tante, hehehe. Iya kan om?”
“Eh, iya. Pastinya, hehehe,” jawab ku.
“Alhamdulillah kalau begitu. Tante dulu sempet khawatir kamu ga mau bales pesen tante, atau bahkan ga mau kenal sama tante lagi, hehehe. Eh ternyata apa yang tante takutin ga terjadi.”
“Tante tenang aja. Aku sama om Ian ga pernah marah kok sama tante. Kalaupun dulu tante itu pergi atau ngilang atau apalah, aku yakin itu pasti ada alasannya. Ya kan om?”
“Eh, iya. Tiara bener Ki. Yang penting kamu sudah kembali itu udah bikin aku sama Tiara seneng.”
“Kalian memang baik. Aku bener-bener minta maaf.”
“Iya tanteee…ya udah yuk ah makan. Tiara udah laper nih…”
Kami bertiga pun akhirnya makan. Tiara nampak semakin antusias. Tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan dari yang aku rasakan sekarang. Tiara dan Kiki. Mungkin kehidupan ku akan kembali lengkap seperti dulu lagi dengan ada nya mereka berdua. Mungkin.
“Tiara nanti bis makan langsung mandi ya,” perintah ku saat kami sudah mulai makan. Mendadak aku jadi ingin berbicara empat mata dengan Kiki.
“Kenapa? Emang kita mau pergi?”
“Pergi ga pergi kan juga harus mandi…”
“Kalau ga kemana-mana mah males. Ntar-ntaran aja ah mandinya,” tolak Tiara dengan manja.
“Ya udah, nanti kita jalan yuk, sama tante aja kalau om Ian nya ga bisa,” balas Kiki sambil memberi isyarat kepada ku. Oke, seperti nya dia juga mau berbicara berdua dengan ku.
“Beneran? Kemana?”
“Kemana aja Tiara mau. Mumpung libur.”
“Asiiik, jalan-jalan. Yeeey. Ya udah nanti bis makan Tiara langsung mandi deh.”
“Nah gitu dong…hihihi…” ucap Kiki sambil tersenyum geli melihat bagaimana manja nya anak yang satu ini. Tapi anehnya dia nyaman-nyaman saja dengan tingkah dan kelakuan Tiara. Mungkin ini yang membuat Tiara betah dan nyaman dengan Kiki. Mungkin.
~•~•~•~
Setelah selesai makan Tiara benar-benar menepati janjinya. Dia langsung mandi. Tinggal aku berdua dengan Kiki. Kiki lalu beranjak hendak membereskan bekas makan kami. Aku yang tidak sedang melakukan apa-apa lalu berniat untuk membantunya.
“Udah taruh aja, biarin aku aja,” larangnya.
“Enak aja. Mana sopan ngebiarin tamu ngeberesin sisa makanan sendirian? Terus tuan rumahnya ga ngapa-ngapain?”
“Hihihi, bisa aja deh kamu. Ya udah kamu bantu bawain piringnya aja ke dapur, sisa makanannya buang ke tempat sampah, abis itu biarin aku aja yang nyuci, bagaimana?” tawarnya.
“Ehmm…cukup adil. Baiklah.”
Dengan berlagak seperti atlet binaragawan, aku membawa piring dan gelas bekas kami ini ke dapur. Lagak nya seperti mengangkat beban puluhan kilo, padahal hanya piring tiga biji, mangkuk dam gelas saja. Sontak tingkah laku ku ini membuat Kiki semakin kegelian menahan senyum.
Tiba di dapur aku langsung melakukan perintah Kiki. Dan setelah menaruh piring kotor di tempat cucian piring, aku langsung mempersilahkan dia mengerjakan bagiannya. Setelah sebelumnya aku mencuci tangan ku terlebih dahulu.
“Di Mesir enak ya?” tanya ku membuka obrolan. Kiki sudah mulai menyabuni dan menggosok piring-piring itu.
“Enak ga enak, sama saja seperti di Indonesia.”
“Owh gitu. Berarti beneran setelah ini bakalan netep di Indonesia lagi?”
“Pastilah. Ga mungkin juga kan selama nya di negara orang? Keluarga ku di sini. Kenapa Ian?”
“Ga kenapa-kenapa kok. Tapi kayanya bakalan ada yang seneng banget tuh.”
“Tiara?” tanya nya singkat.
“Iya,” balas ku singkat juga.
“Iya tuh. Aku juga bingung kenapa dia bisa segitu terobsesinya sama aku. Bukan aku bermaksud sombong ya, tapi dia sering banget bilang kalau nanti gede nya pengen kaya aku. Padahal aku sendiri ngerasa jadi pribadi yang biasa aja.”
“Entahlah. Aku juga ga ngerti. Kalau ditanya jawabannya cuma satu, kamu orangnya baik.”
“Kamu juga baik Ian.”
“Ya, mudah-mudahan kita selalu menjadi orang yang baik.”
“Aamiin. Kalau kamu sendiri gimana? Seneng juga ga kalau aku balik ke indonesia?”
“Aku? Ya pasti seneng lah.”
“Senengnya kenapa?” tanya Kiki sambil mengelap tangannya setelah baru saja menyelesaikan cucian piringnya.
“Ke depan aja yuk ngobrolnya, biar enak,” ajak ku. Kiki lantas mengiyakan.
“Jadi, apa yang membuat mu senang aku kembali?”
“Karena…salah satu orang yang paling berharga di kehidupan ku balik lagi.”
“Berharga kok dulu ga di cariin? Hehehe,” sindirnya. Entah pertanyaan serius atau bercanda. Tapi cukup membuat ku hampir kehabisan kata untuk membalas nya.
“Karena…maaf Ki, karena aku tau apa yang kamu rasakan, dan posisi ku waktu itu tidak memungkinkan. Aku merasa tidak layak untuk mengejar mu.”
“Tau? Tentang apa? Dari mana?”
“Ya semuanya. Tentang kamu. Aku tau dari almarhum Ayu. Dia bercerita semuanya dulu.”
“Aaah, mba Ayu menceritakannya? Hahaha. Semuanya?”
“Ya. Semuanya. Sekarang aku mau mengucapkan terima kasih untuk semua yang sudah pernah kamu berikan untuk ku. Aku belum bisa membalas nya hingga saat ini.”
Mendadak wajah Kiki memerah. Tapi dia sedikit tersenyum meskipun kemudian menutup wajahnya. Raut muka nya persis seperti saat seseorang baru saja ketahuan melakukan hal sepele namun konyol. Dan dia sangat malu.
“Hahaha. Masa lalu itu. Jangan dibahas lagi yah. Beneran deh aku malu kalau kaya gini ceritanya. Hehehe.”
“Justru aku ingin membahasnya sekarang.”
“Buat apa? Aku tau kok apa yang aku rasakan dulu itu hanya sepihak. Tidak apa Ian. Aku juga sudah berusaha membuangnya jauh-jauh. Dan sekarang, aku benar-benar ingin kembali hanya untuk menjalin kembali persahabatan kita yang sempat terputus dulu.”
“Begitu kah?” tanya ku dengan polosnya.
“Iyah, tentu saja. Itu yang kamu mau kan?” balasnya sambil tersenyum.
“Maaf Ki, mungkin sekarang ini waktu nya memang kurang tepat. Tapi aku, jujur, aku…”
“Kenapa?” tanya Kiki dengan penasaran.
“Duh…setelah ini kalau kamu mau mentertawakan ku boleh aja. Tapi aku harus mengatakan ini meskipun momen nya ga tepat. Aku…sekarang…menginginkan kesempatan ke dua dari mu…”
“Hah? Kesempatan ke dua? Emang kamu salah apa?”
“Salah ku? Tidak pernah peka kepada mu.”
“Itu bukan kesalahan, sudah lah, aku sudah berusaha menghapus perasaan itu sejak lama. Aku tidak mau kalau kamu sekarang ini justru…”
“Aku serius. Memang benar kalau kemauan ku sekarang ini itu ada faktor Tiara nya. Aku tidak akan menyangkal. Tapi aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak akan menjadikan Tiara sebagai satu-satu nya alasan diri ku ingin agar aku, kamu, dan Tiara menjadi satu keluarga.”
Kiki nampak terkejut dengan keseriusan ku. Pandangannya mendadak lemah. Aku tidak tau apa yang dia rasakan, tapi aku merasa seperti ada penyesalan. Atau kesedihan. Ada apa?
Kiki menggeleng pelan. Matanya sedikit memerah. Tetes air mata hampir saja jatuh dari mata indahnya, namun urung terjadi karena dia buru-buru mengusapnya.
“Menjadi satu keluarga tidak harus ke arah sana kan? Sekarang pun aku sudah menganggap kalian sebagai keluarga ku sendiri,” ucap Kiki pelan.
“Hahaha, aku mengerti Ki, aku mengerti. Tolol ya aku. Aku bahkan tidak menanyai mu terlebih dahulu tentang kehidupan pribadi mu sendiri sekarang, dan dengan percaya diri nya aku menawarkan sesuatu yang aku yakin pasti sudah basi dari kapan tau. Aku mengerti. Ga apa-apa kok. Paling cuma bingung aja nanti gimana bilang ke Tiara nya. Hehehe. Tapi tidak masalah sih. Seharusnya dia bisa mengerti lah kalau kamu sudah…”
Kiki masih saja menggelengkan kepalanya menandakan apa yang aku ucapkan tadi semuanya salah. Lalu kenapa? Kenapa dia tidak bisa?
“Atau, karena kamu takut akan mengalami nasib yang sama seperti Ayu dan Diah ya? Hahaha.” tanya ku lagi dengan polosnya. Pertanyaan bodoh.
“Bukan karena itu Ian…hiks…bukan…”
“Lalu kenapa? Kalau kamu memang tidak bisa ya ga apa-apa aku ga akan memaksa.”
“Hiks…hiks…” Kiki masih belum menjawab. Hanya tangisan pelan yang terdengar dari bibir nya.
“Eh, kenapa ini? Kok tante nangis? Om? Tante nya di apain kok sampai nangis?” tanya Tiara yang tiba-tiba muncul dari kamarnya lalu duduk tepat di samping Kiki. Sepertinya dia baru saja selesai mandi.
“Ndak ada apa-apa kok Tiara, tante ga kenapa-kenapa sayang…” balas Kiki pelan sambil mengusap air mata nya sendiri.
Kalau sudah begini, tidak akan mungkin untuk tidak bercerita kepada Tiara. Sudah terlanjur. Cepat atau lambat dia harus tahu juga.
“Jadi begini, Tiara…” ucap ku namun dipotong oleh Kiki.
“Ian…”
“Ndak apa, cepat atau lambat Tiara harus tau juga.”
“Ini kenapa sih?” Tiara ikut bersuara. Wajah nya penuh dengan tanda tanya.
“Tiara, jadi begini, ehm…baru saja om berterus terang kepada tante tentang niatan kita supaya bagaimana cara nya tante Kiki bisa menjadi bagian dari keluarga kita, kamu ngerti kan?”
“Ahaaa, ngerti-ngerti. Pasti tante menangis karena terharu yah?” balas Tiara dengan yakin. Salah. Kamu salah nak, aku membatin. Kiki langsung menggelengkan kepalanya. Tiara yang merasa tebakannya salah raut muka nya mendadak berubah dengan drastis.
“Kenapa? Tiara salah ya?”
“Maaf Tiara, tapi tante…” balas Kiki namun terhenti.
“Kenapa Tan? Kenapa?” tanya Tiara dengan tatapan penuh ketidak percayaan.
“Tante…tante ga bisa. Maaf…”
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin BanyakCerita99
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Pembaca setia BanyakCerita99, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)BTW yang mau Mensupport Admin BanyakCerita dengan Menklik Gambar Diatas dan admin akan semakin semangat dapat mengupdate cerita full langsung sampai Tamat.
Terima Kasih 🙂