Nirwana Part 3
Nirwana Part 3
The Lost Angel
Ufuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.
Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.
Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.
Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.
Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” promosi Kadek saat mengomentari lukisan yang dipajang di ruang tengah kemarin siang.
Kadek benar, batin Ava. Gadis itu jauh lebih cantik daripada yang di lukisan. Siapapun bisa tahu dengan sekali lihat bahwa Indira berdarah campuran. Rambutnya yang ikal panjang berwarna hitam kecoklatan digelung anggun ke belakang hingga menampakkan leher jenjang dan berwarna putih khas ras kauskasia.
Badannya ranum yang baru tumbuh itu terbungkus kaus putih, namun kain batik dan selendang yang melingkar dari pinggul ke bawah menampakkan kecantikan yang demikian eksotis, sangat kontras dengan wajahnya yang kebarat-baratan.
Ava hendak menyapa, namun Indira keburu berlalu, masuk ke dalam studio lukis ayahnya.
= = = = = = = = = = = =
Sang Maestro ada di situ, duduk tafakur menghadapi sebidang kavas semenjak subuh tadi. Indira menghaturkan sesaji dan dupa pada altar kecil di sudut studio, membuat aroma harum seketika menghambur memenuhi ruangan.
“Jik…” Antara ragu dan segan, Indira mendekati ayahnya.
“Hmm…” Sang Maestro tak menoleh, sibuk memberikan sentuhan akhir; beberapa garis dan gradasi pada lukisan yang hampir selesai.
“Sudah ketemu sama muridnya Ajik yang baru?” Pak De bertanya pada putrinya tanpa mengalihkan pandangan dari kanvas.
“Sudah.”
“Terus?”
“Indira nanti malam mau keluar.”
Pak De menghela nafas, terdiam sebentar. “Sama siapa?”
“Dewa.”
“Oh,” ayahnya menjawab singkat, masih tanpa menoleh. “Jangan pulang malam-malam.”
Kemudian hening, lama dan menjengahkan.
Indira melihat punggung ayahnya yang tak juga berbalik. Gadis itu memejamkan mata, ada sedikit rasa pilu di sana: merasakan pria tua yang dulu selalu memeluknya, mengajarnya melukis, semakin hari terasa semakin jauh dan menjelma menjadi wajah-wajah baru yang saling terasing satu sama lain.
“Indira pergi dulu,” pamit Indira, nyaris tak bersuara.
Ayahnya mengangguk, tanpa menoleh.
I miss you, Dad, bisik Indira dalam hati, sebelum menutup pintu kayu di belakangnya.
= = = = = = = = = = = =
Ada sebuah gerbang batu di halaman belakang. Misterius dan ditutupi tanaman keladi yang rimbun. Indira melangkahkan kakinya ke situ, menuruni tangga batu di sepanjang tebing yang dirimbuni lumut dan paku-pakuan.
Semakin ke bawah, gadis itu semakin menangkap suara air yang kian menggemuruh…
Tangga batu itu berujung pada sebuah sungai di belakang Villa dengan air terjun kecil yang menimbulkan suara gemuruh. Air yang tercurah membentuk cekungan serupa kolam di bawahnya. Sementara tebing curam di sekitarnya ditumbuhi paku-pakuan dan keladi yang merambat menghijau, membuat tempat itu seperti ada di Indraloka.
Indira selalu betah berlama-lama di tempat itu. Dirinya tidak bisa menjelaskan betapa batinnya dibuat damai hanya dengan memandangi air jernih yang mengalir di antara batu. Betapa kekosongan hatinya bisa terisi hanya dengan mendengarkan cicit burung dan gemeresek daun yang saling bersahutan dengan desir air.
Damai.
= = = = = = = = = = = =
Namun pagi ini ada yang berbeda, karena di tempat itu sudah ada seseorang yang berendam seenak udel sambil cengar-cengir tidak jelas: Ava.
Bibir imut Indira sontak memberengut. Sanctuary-nya telah diambil alih!
“Ini kan tempat mandiku!” bentak Indira sambil berkacak pinggang.
“Ye, nggak ada tulisannya, kok!” belot si pemuda brewok.
“Hush… hush… pergi sana, aku lagi pengen sendiriiii!”
“Weee.. aku baru nyebur juga! Kalo mau, tungguin ampe aku selesai!”
“Nggak mau! Wek!” bidadari imut itu menjulurkan lidah, namun Ava seperti tidak ambil pusing malah menggaruk-garuk rambut, sehingga membuat Indira semakin termanyun-manyun.
Gadis itu berjalan mondar-mandir sambil sedikit-sedikit melongok ke dalam air. Idiiiih telanjaaaaang, batin Indira sambil bergidik, sedikit ngeri melihat kemaluan Ava yang membayang di bawah permukaan air.
“Mau sampai kapan nunggu di situ?” Ava mulai risih dengan kehadiran Indira yang berkeliaran di dekatnya.
“Ampe kamu selesai!” kata Indira sambil menjulurkan lidah.
“Balik aja dulu, ntar kalau udah beres kupanggil.”
“Biar!”
“Hush! Hush!”
Giliran Ava mengusir Indira dengan menyiramkan air. Akibatnya sebuah batu melayang ke arah pemuda itu sebagai balasan.
“Jangan diliatin, napa? Aku nggak pakai apa-apa, nih!” kesabaran Ava nampaknya mulai menipis.
“Nggak usah ge-er, deh! Udah biasa kali aku liat cowo bugil!”
“Astaga!”
“Iiiih! Jangan mikir yang aneh-aneh! Aku tuh lahir dan besar di desa ini tauk!” Indira merepet seperti senapan mesin MG-42.
“Oh,” dan hanya dijawab Ava pendek, membuat Indira semakin kesal.
“Udah biasa kali, aku mandi rame-rame!”
“Oh, yaudah bagus kalau begitu. Sini, ikutan mandi! Kita belajar berbagi!” Ava malah memasang senyum mesum sambil cengegesan tak jelas.
Menghadapi pemuda tengik yang mulutnya kurang ditatar itu, mau tak mau membuat Indira naik darah.
“Tuh kan! biasa deh orang baru, nggak bisa lihat cewek cantik! dasar mesum!” wajahnya cemberut, membuat si bidadari mungil semakin imut.
“Ye, emang situ merasa cantik?” ledek Ava.
Jawaban Ava bagaikan bensin yang disiram ke atas kompor. Indira mendelik dengan wajah merah padam.
Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin! nyebeliiiiiiin!
Indira tak habis pikir, kenapa dirinya bisa semangkel itu terhadap orang yang baru dikenalnya, terlebih lagi Indira tak mengerti bisa-bisanya ia merasa begitu marah, tapi juga… Huh! apaaan siiiiih! Indira mendengus kesal, Kenapa sih aku ?! batinnya membelot keki, sebelum cepat-cepat beranjak menapaki tangga batu.
= = = = = = = = = = = =
Kehadiran Ava di rumahnya, sedikit banyak membuat kehidupan Indira yang tadinya monokrom menjadi lebih berwarna. Indira tak pernah mengerti, bagaimana bisa cowok gondrong brewokan yang tidak ada ganteng-gantengnya itu bisa selalu membuatnya mendongkol. Dirinya jadi sering uring-uringan, bahkan terkadang perang mulut dengan pemuda yang menurutnya tidak tahu sopan santun itu.
Namun terkadang, mau tak mau Indira dibuat tertawa juga oleh lelucon Ava, -yang meskipun menurutnya norak- tapi entah kenapa selalu bisa membuat perutnya sakit menahan tawa.
“Naik, naik apa yang dikejar telur?” kata Ava pada suatu hari pada Kadek dan Indira. “Naik becak, kan dikejar telur abang becaknya.”
Kadek tertawa berguling-guling. Hanya Indira yang terpaksa pura-pura cemberut demi menjaga gengsinya.
“Jayus, ah!” ucap Indira sambil menggembungkan pipi, namun ekspresi seperti inilah yang membuat wajah Indira menjadi semakin imut, sehingga Ava rasanya ingin terus menggoda anak itu.
Indira yang kekanakan dan sok judes. Ava yang rusuh dan slenge’an seolah menjadi babak baru bagi opera sabun di keluarga itu.
Keduanya mungkin belum menyadari, namun Pak De, Kadek, maupun orang-orang di rumah itu tahu pasti: kehadiran Ava membuat Indira yang tadinya murung sepeninggal kakak dan ibunya, kini menjadi lebih ekspresif.
“Kenapa, Gek? [SUP](1)[/SUP] ” tegur Kadek ketika mendapati Indira sedang tersenyum-senyum sendiri.
(1) Panggilan untuk perempuan yang lebih muda
“E-nggak! Nggak ada apa-apa!” tukas Indira cepat, sambil mengeloyor pergi.
Mendadak wajah Indira terasa panas. Untuk apa dia tersenyum? Sungguh, bahkan dirinya sendiripun tak tahu!
Ava adalah atraktor asing yang merusak kesetimbangan hidupnya yang serba teratur dan monoton menjadi sebuah sistem yang serba chaos… namun juga… huft! (Indira menggembungkan pipi, mati-matian memungkirinya…) menakjubkan!
Bersambung