Nirwana Part 66
Nirwana Part 66
Resonance, Reminisce
Malam semakin kelam, dan dua orang itu hanya saling mendiamkan tanpa berbicara. Sheena mematikan rokoknya yang tinggal puntung dengan diinjak. Sebatang rokok terakhir menyusul terselip di bibir, diikuti percik api geretan yang menyala redup..
“Jangan kebanyakan merokok, nanti sakit kayak Ajik. Beliau sakit lagi, kamu sudah tahu?”
“I-iya.” Sheena cepat-cepat mematikan rokoknya, tak menyangka Ava menyapanya lebih dulu.
“Serius, barusan sekali aku antar Ajik ke dokter, sekalian cek LAB.”
Sheena tersenyum garing. “Nah, itu baru calon menantu yang baik hehehe..” Shit, aku ngomong apa? Tolol.
Ava menghela nafas, melirik wajah Sheena. “Ajik juga tadi bilang, beliau mau buka galeri di Jogja…”
Mendadak hening.
“….aku yang disuruh ngurus, sekalian nemenin Indira.”
Hening lagi. Lebih lama dari sebelumnya.
“Oh, wah… selamaaat…”
Ava tersenyum pahit, “Makasih…”
“Semangat!” Sheena mengacungkan genggaman tangannya.
Ava mengepalkan tangan, –sebuah brofist. Tersenyum pahit, tanpa bersuara.
Resonance, Reminisce
Telepon tua itu berkali-kali berdering. Hingga membuat Pak De yang sedang asyik menyendiri berjalan tergopoh menghampiri. Langkah-langkah lebar terdengar berderak di lantai kayu, menyusuri koridor villa yang penuh dengan lukisan dan ukiran.
“Uhuk… halo.. uhuk…”
“Kak?”
Suara di seberang sana membuat raut wajah Pak De mendadak cerah. “Gek? Lucille?”
Lucille menukas ketus, “Indira ada?”
Pak De menghela nafas lemas. “Indira… sedang keluar… jalan-jalan sama Ava….”
Hening.
“Kak Gede sudah ke dokter?”
Senyum kecil kembali terbit di sudut bibir Pak De. “Sudah. Kemarin diantar Ava.”
“Apa kata dokter?”
Pak De terdiam agak lama, “M-masih menunggu hasil lab…. B-besok… baru jadi.”
“Awas, jangan ngerokok lagi.”
“… makasih, Gek.”
“J-jangan s-salah sangka. Saya bukannya peduli sama Kak Gede! Saya cuma kasihan sama Indira kalau misalkan Kak Gede….” Ada jeda panjang dan kalimat yang tak selesai di seberang sana. “Take care.” Telepon ditutup.
Piringan hitam berputar mendayu, dan tidak ada yang tahu kenapa senyum di bibir Pak De melebar, dan semakin melebar.
Kadek, Sheena, dan Luh Sari yang sibuk bermain catur di malam itu heran karena melihat Sang Maestro melangkah mantap ke arah studio.
Sebuah lukisan mungkin bisa menghilangkan galau, batin Pak De ketika melangkah ke dalam studio lukis. Cahaaya terang menerobos dari daun pintu disusul lampu sorot halogen yang memendarkan cahaya ke seantero ruangan. Langkah Pak De seketika terhenti. Sepasang matanya membelalak ngeri melihat pemandangan di hadapannya.
“KADEK! SHEENA! KE SINI KALIAN!”
Papan catur buru-buru dilipat. Dua orang yang disebut namanya segera berlari tergopoh ke asal suara, disusul Luh Sari yang melangkah takut-takut.
Sang Maestro menunjuk-nunjuk lukisan milik Sheena, menggeleng-geleng gusar.
“Kamu dan Ava itu orang-orang yang nggak bersyukur! Suka menyia-nyiakan bakat!”
“M-maaf… um.. m-maksud A-ajik…?” Sheena menelan ludah, wajahnya menekuk ke bawah seperti ketika berhadapan dengan guru matematika-nya dulu.
“Kamu dulu kuliah di IKJ, kan? Kenapa nggak kamu tekuni? Nggak kamu selesaikan? Saya punya banyak teman yang jadi dosen di sana, kamu pasti jadi seniman yang hebat! Paling nggak jadi ilustrator kaliber internasional.” Pak De tersenyum lebar, menepuk-nepuk pundak Sheena.
Sheena tercengir kecut, entah takut ataukah bangga.
Pak De mengekeh sambil menunjuk lukisan Ava. “Yang ini pasti Ava yang buat. Duh Dewa Ratu, akhirnya saya bisa pensiun dengan tenang.”
Kadek nampak tidak terima, “T-tapi Ava curang, Jik. D-dia sengaja mengurangi detail, karena orangnya nggak rapi. Lagian, kenapa Ava melukis bayang-bayang?”
Kadek menunjuk lukisan Ava, di mana seorang pemuda berdiri di sebuah kota tua, di bawahnya jalan yang digenangi air memantulkan bayangannya.
“Ini Recto dan Verso!” Pak De terbahak, hingga perutnya yang buncit bergetar-getar. “Brilian!”
Kadek dan Sheena saling berpandangan. Luh Sari mendengar dari luar, teringat bahwa itu adalah judul buku yang dihadiahkan Kadek untuknya.
Muncul tawa berderai dari bibir Pak De, “Yang kalian lihat itu cuma satu sisi.”
Penuh semangat, Pak De membalik lukisan Ava, hingga atas jadi bawah, dan bawah jadi atas, hingga sekarang Sheena dan Kadek yang terlongo-longo karena sekarang si bayangan yang menjadi objek nyata.
“Jadi lukisannya bisa dilihat dari dua arah?” Kadek terlonjak, membelalak tak percaya. Gawat, lama-lama aku bisa turun jabatan…
Senyum Pak De melebar. “Untuk memahami kebenaran yang sejati, kalian harus melihat dari kedua sisi, nggak cuma sebelah!” Lagi, Pak De mengekeh sambil terbatuk-batuk, “karena sesungguhnya, …uhuk-uhuk… keduanya terletak pada dua sisi koin yang sama.”
Sheena mendadak tercekat mendengar kalimat Pak De, bersamaan dengan perasaan ganjil yang perlahan merambati.
Bersambung