Nirwana Part 75
Nirwana Part 75
Karma and Redemption
Hanya ada suara ombak yang membelai pantai, juga angin laut yang bertiup sayup-sayup. Api unggun beranjak padam, menyisakan bara api dan gemeretak arang yang menghamburkan hangat ke dalam udara malam.
Sudah satu jam berlalu, namun dua orang itu tak beranjak dari tempat semula. Tangis sudah mengering. Hingga kini yang bersisa tinggal sunyi dan bunyi nafas yang terdengar sesekali.
Ava dan Sheena berbaring di atas pasir, memandangi langit yang membentang dan menampakkan milyaran bntang. Di antara mereka hanya ada kebisuan, karena segalanya terlalu memusingkan untuk diperbincangkan.
Kini sudah jelas bagi Sheena, kenapa dirinya mendadak tak sadarkan diri ketika pertama kali bertemu dengan Ava, dan juga kenapa pemuda itu begitu mirip dengan Awan.
Lukisan pertama Ava. Ksatria tertusuk pedang, Bidadari dengan lengan kiri berdarah, dan Iblis bertopeng adalah pemandangan yang sama yang dilihat oleh Sheena. Pemandangan ketika Awan, orang yang sama-sama mereka kasihi, direnggut begitu saja.
Sebuah luka yang sedalam Neraka: Inferno
Lukisan kedua Ava, lukisan noir yang bisa dibolak-balik, tentang sebuah Kota Tua yang tak behenti dirudung hujan, adalah gambaran alam bawah sadar Ava, di mana Ava dan Awan saling menjadi bayang-bayang bagi satu dan yang lainnya. Di mana masing-masing menjalani dua buah kisah yang saling balik membalik, tapi sebenarnya sebuah kesatuan.
Sebuah realitas buatan yang dibangun di atas penyesalan. Sebuah penebusan dosa: Purgatorio.
Sudah lewat dini hari, dan Bar Bob kian sepi. Hanya ada satu-dua turis yang teler sambil merokok. Bob melongo sambil menggendong gitar bolong. Bibirnya kehilangan kemampuan berkata-kata ketika mendengar twist yang teramat absurd: rol film peninggalan Awan yang selama bertahun-tahun disimpan Sheena, ternyata menjadi sebuah Kotak Pandora bagi ingatan Ava yang dibendung paksa di alam bawah sadar.
Awan memang pernah cerita, kala dia punya teman yang bernama Ibrahim, tapi gue nggak nyangka…. nggak pernah nyangka… kalau orang itu adalah… Bob melirik ke arah Ava yang memandangi segelas besar bir, sebelum menoleh kembali ke arah Sheena yang merokok hampa.
Awan dan Sheena. Selama ini keduanya terlarut dalam penyesalan yang mendalam. Masing-masing mencoba mencari pengampunan, meski dengan cara yang berbeda. Bob tidak tahu yang mana lebih parah, apakah Sheena yang terlarut dalam masa lalu dengan berduka selama bertahun-tahun, ataukah Ava yang menghadapi trauma dengan terlupa bertahun-tahun.
kalian harus bisa memaafkan diri sendiri…. apa yang bakalan dibilang Awan kalau dia melihat kalian seperti ini…., ucap Bob perlahan, dia bakalan sedih, tahu…
Awan memang sedih…. ucapan itu tercetus begitu saja dari bibir Ava, aku lihat dia sedih…
Hening sesaat, Bob dan Sheena saling lirik.
Dia bilang gitu? Sheena merapatkan duduknya ke arah Ava.
Tapi Awan juga bilang sekarang sudah nggak apa-apa… Bukan salah kita… kalau mimpi-mimpi kita nggak terwujud.
Dada Sheena mendadak pedih, ia menghisap rokoknya dalam-dalam, menyandarkan kepala di pundak Ava, hingga ombak dan angin mengambil alih. Silih berganti mengisi keheningan.
Saya mau melukis lukisan ketiga, Ava berucap mantap, saya ingin melukisnya bersama kamu, Hujan. Ini akan jadi lukisan kita berdua… maksudku… bertiga, bersama Awan.
Sheena menunduk. Hening kembali menyergap sampai Ava bertanya sekali lagi, menekankan.
Hujan, kamu mau?
Sheena memandang Ava dan mendapati tatapan yang begitu orisinal. Mata itu bukan mata Awan yang menatap teduh, melainkan tatapan yang membuka luas, lapang, dan seolah menelan dirinya dalam hamparan langit tanpa batas.
Terlihat anggukan kecil dari kepala Shena, disusul gelas bir yang diangkat,buat Awan.
Ava mengangkat gelasnya, Bob mengikuti. Buat Awan.
Mereka bersulang, untuk seorang sahabat yang berangkat terlebih dahulu. Untuk sebuah pertemuan singkat. Sekejap namun indah. Gelas saling berdenting, untuk sekelumit kisah indah tentang Langit, Awan, dan Hujan. Kisah tentang cinta yang tak terucapkan, tentang janji yang tak terselesaikan. Penyesalan. Penebusan dosa.
Bob memetik gitarnya yang dicat warna merah-kuning-hijau, dan memainkan intro sebah lagu. Pria kurus dengan rambut gimbal itu mulai bernyanyi dengan suara seraknya.
Sold i to the merchant ships,
Minutes after the took i
From the bottomless pit.But my hand was made strong,
By the hand of the Almighty.
We forwar inthis generation
Triumphantly.
Wont you help to sing
This song of freedom
cause all i ever have:
Redemption songs;
Redemption songs.
Aroma kanabis yang terbakar menguar memenuhi udara malam. Lagu mengalun sayup, mengiringi manusia-manusia yang tersesat di hamparan lautan kehidupan, di bentangan takdir langit yang bersaling-silang, di antara kumparan Roda Karma yang saling membelit.
Sementara itu, Ubud…
Karma pasti datang, cepat atau lambat. Mau tidak mau, suka tidak suka. Berkali-kali hal itu mengemuka ke dalam benak Pak De, dan berkali-kali pula coba disangkalnya. Lucille yang duduk di sebelahnya menatap prihatin ke arah Sang Maestro sambil sesekali melirik Kadek yang mondar-mandir tidak jelas di sepanjang lorong villa.
Apa mereka kira ini sinetron?! Kadek menggeleng gusar sambl mengacak-acak rambutnya, Jik, pokoknya saya nggak bisa terima kalau Ava sampai melarikan Indira.
Belum tentu, Dek… Pak De berucap pelan. Nada suaranya bergetar, namun sengaja ditegar-tegarrkan.
Tapi sudah jam segini, Indira belum pulang. Ava dan Sheena juga menghilang nggak jelas.
Dek, coba kamu telepon sekali lagi. Lucille mengambil alih pembicaraan, mengusap tangan Pak De.
Kadek kembali melangkah mondar-mandir, menekan-nekan tombol ponselnya, sebelum kembali mengumpat. Ava, Sheena, Indira, semuanya tidak bisa dihubungi. Apa perlu kita lapor polisi?
Pa De dan Lucille saling berpandangan saat Kadek kembali berorasi dengan berapi-api.
Ava. Anak itu memang tidak tahu balas budi. Ava itu nggak percaya Hukum Karma seperti kita. Ava nggak tahu, kalau sekarang dia melarikan anak orang, suatu saat anaknya juga akan dilarikan orang lain!
Kadek! Lucille memotong cepat, mendelik ke arah Kadek.
Kadek menelan ludah, menyadari perubahan raut Pak De yang mendadak murung. Sang Maestro tiba-tiba saja menunduk, nafasnya perlahan memberat sambil disertai batuk yang tercetus keras.
Kak… Kadek nggak bermaksud bicara seperti itu. Lucille mengusap punggung tangan Pak De.
Nggak apa, Gek… uhuk… uhuk… Pak De menarik nafasnya yang perlahan tersenggal. Kadek memang benar, buat orang yang melarikan anak gadis orang, harus siap suatu saat anak gadisnya dilarikan, ucapnya disertai senyum getir yang tidak bisa disembunyikan.
Kak, sudah nggak usah dibicarakan. Kadek cuma asal bicara. Lucille kembali mendelik sebal ke arah Kadek. Kamu itu memang nggak tahu apa-apa!
M-maaf… m-maksud saya… Kadek menunduk takut-takut, buru-buru pemuda itu mengambil langkah seribu ke arah dapur, tanpa berani membantah lebih jauh lagi.
Jangkerik berderik resah, angin malam menggeliat gelisah mengayunkan hiasan bambu, hingga menimbukan suara seperti gamelan yang mengalun di udara dingin, meniup awan mendung yang menaungi wajah Lucille dan Pak De.
Karmapala, ya…, ucap Pak De, lirih, setengah berbsik
Lucille menggenggam tangan Pak De yang bergetar hebat, merenungi rasa bersalahnya yang mendalam, mencari pengampunan. Tercetus batuk keruh beberapa kali saat lelaki tua itu memejam, mengingat Benih Karma yang telah ia tanam…
Semenjak muda, jiwa seni dan pemberontaknya memang paling berbeda daripada keluarganya yang lain: eksentrik, liar, penuh petualangan dan penjelajahan. Namun tak ada yang pernah menyangka, ketika Sang Pelukis Muda nekat membawa kabur Julia ibunda Indira- ke Bali, hanya karena hubungan keduanya tidak disetujui oleh orang tua Julia dan Lucille, keluarga Kristiani taat.
Waktu itu, 30 tahun yang lalu. Gede Subrata yang muda dan angkuh, masih bisa terbahak keras, seolah menantang Para Dewata. Saya nggak masalah kalau anak perempuan saya yang dilarikan. Asalkan jangan anak laki-laki saya saja yang dibawa kabur, hahahaha…
Waktu itu langit bergemuruh, seolah ikut mengamini. Dewa-Dewa memang tak langsung berbicara, hanya mencatat ucapan serapah Pak De.
Benih itu kini menjelma pohon yang buahnya harus dipetik.
Manis ataupun pahit, mau tidak mau, suka tidak suka.
Takdir-takdir para manusia kini saling membelit. Karma dan Samsara saling bersaling silang. Mengiringi seorang gadis cantik yang melangkah di atas pasir. Kaki-kaki mungil itu terlihat limbung, seperti mencari penguatan dalam setiap langkahnya. Sepasang matanya kini sembab, lelah menangisi garis takdir yang seolah tak berujung pangkal.
Perlahan ia memasuki bar di pinggiran pantai yang sudah beranjak tutup. Ruangan telah gelap, lampu sudah memadam, dan kursi-kursi sudah dibalik, namun matanya bisa menangkap sepasang bayangan yang melekat seolah tidak bisa dipisahkan.
Melihat itu, seketika mulutnya mengangga, dan matanya berkaca-kaca.
Hanya ada siluet di antara keremangan, namun dengan jelas dirinya bisa melihat siapa yang menyandarkan kepala di pundak Ava.
Demi Dewa!