Status Berkelas Part 7
Status Berkelas Part 7
To d’point 2
——-
Tol arah Sidoarjo dan sekitarnya terlihat lengang. Sesekali terlihat truk angkutan berat berjalan merambat tak kuasa untuk laju lebih cepat karena bebannya yang begitu padat. Dibahu jalan setiap sekian menit sekali melintas mobil patroli memantau keadaan keamanan tol.
Cuaca nampaknya kurang begitu bersahabat. Mendung bergelayut siap memuntahkan cairan pembasuh persada, seakan ingin menghapuskan kegersangan maupun debu-debu dosa dengan air langit, mensucikan bumi dari bercak tangan-tangan kotor pelukis hitam dunia.
Brio putih bernopol L 1144 R yang melaju dengan kecepatan 60Km/jam terlihat melintasi jalan tol menjauhi kota Surabaya. Perlahan tetes air hujan mulai membasahi mobil tersebut. Diluar perkiraan, ada satu kendala yang memaksa mobil itu harus menepi. Wiper mobil secara mendadak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
“Aduh.. Onok-onok ae rekkk”, (Aduh.. Ada-ada aja deh) dengan sedikit sebal Khusna menepikan mobilnya menapaki areal rerumputan di sisi luar bahu jalan tol.
“Iki mesti goro-goro uwong sing masang alarm central lock wingi. Koyoke nyenggol kabel utowo sekring e wiper. Wah lek udan ngene, ga wani mlaku mobil e Jar!”, (Ini pasti gara-gara orang yang memasang alarm central lock kemarin. Kayaknya sih nyenggol kabel atau sikringnya wiper. Wah kalau hujan gini, mobilnya tidak berani jalan Jar!) kesebalan Khusna semakin menjadi-jadi saat mengingat pekerjaan orang bengkel modifikasi yang kurang beres.
“Turuo sik Jar karo ngenteni udan. Ketoke suthup ngunu motomu!”, (Tidur aja dulu Jar sambil nunggu hujan reda. kayaknya matamu tinggal 5watt gitu!) Khusna menunjukkan perhatian pada Hajar yang beberapa kali terlihat menguap. Hajar hanya membalas usulan Khusna dengan senyum. Entah apalah artinya senyum itu..
“Ehmm.. Mas. Sepurane yo ngrepoti sampean goro-goro Hajar ga gelem moleh”, (Ehmm.. Mas. Maaf merepotkan kamu gara-gara Hajar ga mau pulang) wajah Hajar tertunduk. Khusna tak menjawabnya. Mereka akhirnya terdiam dalam lamunan masing-masing.
“Mas, ehmm.. Bapak Ibuk e sampean isih lengkap?, sayang ga sampean mbarek wong tuo?”, (Mas, ehmm.. Bapak Ibumu masih lengkap? Sayang gak kamu kepada mereka?) suara Hajar yang bening seperti penyiar radio EBS FM Surabaya memecah lamunan Khusna yang terlihat sedang mencermati tetes air hujan pada kaca depan mobilnya. Khusna terkaget seketika, dahinya berkerut. Diantara kebeningan suara Hajar, terselip getaran halus seperti ia sedang menahan sesuatu yang begitu menekan jiwa.
“Lho.. Kok mak bedunduk mbahas ortu iki opo maksud e?”, (Lho… Kok mendadak bahas orang tua ini apa maksudnya? ) Khusna tak menjawab. Ia malah berinisiatif bertanya balik karena merasa janggal dengan isi pertanyaan Hajar.
“Hikss. Hiks… “, tanpa disangka tiba-tiba Hajar menangis sesenggukan.
“Lho lho.. Kok malah nangis Jar, awakmu iki kenek opo?”, (Lho lho.. Kok jadi nangis Jar, ada apa sih?) Khusna bingung dengan perubahan Hajar yang dengan mendadak menjadi seperti itu.
“Aku iling Bapak mas.. Hikss hiks..”, (Aku inget Bapak mas.. Hikss hiks) Hajar melanjutkan tangisannya.
“Lha mau tak sarano moleh ga gelem. Papa mama mu lek nggoleki yo’opo!?”, (Lha tadi aku saranin pulang ga mau, kalau Papa mamamu nyariin gimana!?) Khusna merasa serba salah.
“Lho guduk Papa, tapi bapak.. Mas!”, (Lho bukan Papa, tapi bapak.. Mas!) ucapan Hajar semakin membuat Khusna bingung.
“Maksudnya?”, tanya Khusna dengan dipenuhi kebingungan.
“Begini lho mas.. Bapak dan Ibuku sudah cerai sejak aku SMA. Waktu itu mbak Najar masih awal kuliah. Ibu merasa cemburu sosial karena Bapak lebih perhatian ke nenek dan saudara-saudara bapak. Ibu merasa dicuekin oleh bapak. Tak disangka, permasalahan kecil tersebut mampu menghantar Ibu untuk mengajukan tuntutan cerai dengan tuduhan ditelantarkan. Padahal kenyataannya tidak seburuk itu. Saat dipersidangan, tanpa panjang lebar tuntutan langsung diterima bapak tanpa pembelaan apapun. Hanya satu kalimat yang bapak ucapkan kepada Ibu sebelum pergi, ‘Kau belum pernah merasakan saat nanti tua tanpa perhatian dari anak-anakmu, dan kau belum pernah merasakan saat kesusahan tanpa uluran tangan dari siapapun’. Bapak pergi meninggalkan persidangan dengan sebuah senyuman”, Hajar menceritakan detail masalah yang ia hadapi.
“Bapak pergi dengan meninggalkan perusahaan yang sebelumnya dikelola berdua dengan Ibu. Bapak memilih untuk tidak membawa harta saat palu perceraian telah diketok. Setelah itu, bapak melanjutkan hidup dengan tinggal di rumah nenek sambil berjualan bakso di depan rumah”, Hajar melanjutkan ceritanya dengan sesenggukan.
“Tak lama kemudian Ibu berkenalan dengan Papa yang sekarang. Papa menyarankan agar aku dan mbak Najar merubah panggilan menjadi Papa Mama dengan alasan untuk membuka lembaran baru. Orangnya baik kepada kami dan tak pernah kasar. Perusahaan yang dijalankan Ibu juga dibantu oleh Papa hingga sekarang. Namun yang berubah adalah Ibu, beliau lebih perhatian kepada anak bawaannya Papa. Namanya Andre, sekarang SMA kelas 3. Bahkan bisa dibilang sejak saat itu aku dan mbak Najar hidup sendiri di rumah kami. Ibu atau tepatnya sekarang disebut Mama, hanya sibuk mengurus perusahaan; Papa; dan dik Andre. Hari-hari kami berdua terasa sepi tanpa ada lagi belaian sayang Ibu. Hingga untuk urusan nikahnya mbak Najarpun hanya kami rembuk berdua dan sendiri tanpa ada kepedulian Ibu. Hanya bapak yang selalu mensupport dan mendampingi kami meski tak tinggal serumah lagi”, Hajar menutup ceritanya dengan derai airmata. Isak tangis nan pilu begitu menyayat hati Khusna.
“Sabar ya Hajar.. Jalan tak selamanya mulus. Jalan bergelombang, terjal, berliku, dan berlobang akan selalu kita temui dimanapun. Tapi kita tak bisa mundur. Bagaimanapun kondisi jalan yang ada, kita tetap harus melaluinya. Karena didepan sana ada harapan dan cita-cita menanti!”, Khusna mencoba menghibur Hajar sembari memeluk Hajar demi memberi ketenangan dan rasa nyaman.
“Molai mbak Najar nikah, aku ngeroso dewean mas. Biasane saling menguatkan. Sak iki, aku mok klutak-klutik nang omah dewe ga duwe konco. Mbak Najar duwe tugas enyar sebagai istri..”, (Sejak mbak Najar nikah, aku merasa sendirian mas. Biasanya kami saling menguatkan. Sekarang, aku ngapa-ngapain dirumah tanpa teman. Mbak Najar punya kewajiban baru sebagai istri..) tangis Hajar kian pecah dalam pelukan erat Khusna beriring gemuruh hujan diluar sana.
“Lho kan onok dik andre nang omah kan!??”, (Lho kan ada dik andre dirumah kan!??) Tangan Khusna mengelus lembut lengan atas Hajar seperti seorang bapak yang sedang meredam tangis anaknya.
“Papa wes tuku omah maneh nang daerah galaxy, dik andre yo nang kono. Cuman kadang-kadang mereka tidur omah dharmahusada, iku ae juarang kokk!”, (Papa sudah beli rumah lagi di daerah galaxy, dik andre ya ikut disana. Hanya kadang mereka tidur rumah dharmahusada, itupun sangat jarang!) Hajar menimpali ucapan Khusna dengan nada tidak suka atas perlakuan yang ia terima dari keluarganya.
“Mas…”, lanjut Hajar.
“Apa..?”, Khusna menoleh teduh menatap wajah cantik yang ada dipelukannya.
“Ehmm.. Ini mungkin terlalu cepat. Tapi aku tak kuasa menahannya lagi… Sejak aku melihatmu di panggung saat itu, tidak tahu kenapa kok sepertinya aku menemukan orang yang selama ini kuimpikan. Sosok yang begitu sabar dan teduh seperti bapakku. Terlebih saat melihatmu kemarin di rumah yang mampu memberikan humor-humor segar pada sahabat-sahabatmu.. Mungkin ini sangat memalukan mas. Tapi aku tak mau sendiri lagi dalam kesepian yang panjang. Sungguh akan riang hari-hariku bersamamu. Mas… Ehmm maaf… Ijinkan aku mencintaimu..”, Duerr. Petir yang seharusnya menggelegar bersama hujan di luar sana, saat ini seperti telah menyambar tirai kelambu hati Khusna.
“Jar.. Akuu.. Aku.. Aduh bingung ngomong opo. Aku ga nyongko ae isok koyok ngene. Kudune aku sing ngomong disikan. Yo cepat atau lambat iku relatif Jar. Mungkin awake dewe ancen ditakdirno isok cepet. Aduh pating pecotot ngomongku. Halah weslah.. Pokoke jelas aku yo seneng mbarek awakmu”, (Jar.. Akuu.. Aku.. Aduh bingung mo bilang apa. Aku bener-bener ga menyangka bisa mengalami seperti ini. Harusnya aku yang nembak duluan. Ya cepat atau lambat itu relatif Jar. Mungkin kita ditakdirkan cepat. Aduh belibet gini sih kalimatku. Haistt ya sudahlah.. Intinya jelas bahwa aku juga sayang kamu) Khusna gelagapan menjawab. Hatinya sungguh berbunga-bunga hingga kalimat yang terucap menjadi tak terkontrol dengan baik.
“Suwun mas.. Pliss ojo tinggalno aku sing dewean iki..hikss!”, (Terimakasih mas.. Tolong jangan tinggalkan aku yang sudah sendiri ini..hikss!) kembali suara tangis Hajar menyeruak menyambut uluran kasih Khusna kepadanya. Bukan tangis sedih seperti sebelumnya. Sebuah tangis kebahagiaan dari dara cantik yang merana.
Terlihat jam digital pada GPS mobil menunjukkan angka 00.05 dini hari. Hujan mulai berubah manjadi gerimis. Begitu juga suasana duka di dalam sel kelambu hati Hajar yang sebelumnya deras, telah berubah menjadi rintik-rintik syahdu di pelataran jiwa.
“Uwiss Hajarr.. Cup cup ojok nangis maneh. Ketok elek iku lho wajahmu. Coba ngoco kono nang spion lak ketok nggilani.. Hehe”, (Udah Hajarr.. Cup cup jangan nangis lagi. Keliatan jadi jelek tuh wajahnya. Coba bercermin di spion mobil biar kelihatan jeleknya.. Hehe) Khusna kembali menunduk menenangkan hati Hajar sembari memandang wajah Hajar yang masih saja ada dalam pelukannya.
“Ngilani nggilanii! Enak ae!”, (Jelek jelek! Enak aja kalau ngomong!) Hajar merajuk manja. Beberapa detik kemudian suara menjadi senyap. Hanya terdengar tarikan nafas dari dua sejoli yang masih berpandangan dengan posisi Hajar masih dalam pelukan kekasih barunya.
Perlahan tapi pasti wajah mereka saling mendekat. Satu sama lain mengikuti kata hati yang menuntun menuju kemesraan yang lebih dalam. Bibir mereka bertemu, saling mengecup lembut meresapi gelombang cinta yang mengalun begitu indah dan tenang. Kian lama, kecupan lembut itu meningkat menjadi cumbuan bibir yang penuh gejolak. Lidah mereka saling mengejar. Sedotan dan kuluman silih berganti mereka lakukan. Kecipak bunyi perciuman bibir yang basah memenuhi ruang mobil. Mereka bahkan tak menyadari bahwa hujan telah reda.
“Miliki aku mas.. Aku milikmu”, suara Hajar terdengar di sela perciuman yang kian lama kian panas. Tangan kanan Khusna tahu-tahu sudah singgah diatas bukit dada Hajar yang masih tertutup cardigan. Namun tangan Khusna hanya bertumpu disana dan belum bergerak untuk meremas. Mata Khusna yang memandang lekat seperti meminta persetujuan Hajar untuk bolehnya tangan Khusna bergerak lebih banyak.
Hajar mengangguk tipis seperti tahu bahwa Khusna sedang menunggu persetujuan. Tangan Khusna segera beraksi dengan meremas pelan buah sekal Hajar. Dan…
Kringg…kringgg..
Handphone Khusna tiba-tiba berbunyi nyaring mengagetkan mereka berdua.
“Jamputtt. Sopo sehhh..!”, (Kurang ajar. Siapa sihhh..!) Khusna mengumpat kesal dan kemudian dengan dongkol ia angkat telepon yang masuk.
“Halooo Jooo, nang ndi koen??. Aku wes ngakik ngenteni nang kene sampek lumuten cukkk!”, (Halooo Jooo, kamu dimana??. Aku udah bete nungguin dari tadiii!) seseorang di seberang telepon langsung mendamprat Khusna habis-habisan.
“Koen iki nggae Hp e sopo kok nomer ga dikenal??. Iyo sik enteni, iku mau udan ndeng!”, (Kamu pakai hp siapa kok nomer tidak dikenal??. Iya bentaran, ini tadi hujan!) jawab Khusna kepada lawan bicaranya ditelepon.
“Nggone konco latihan. Pulsaku entek. Yo wes ndang budal!”, (punya teman latihan, pulsaku habis. Ya udah buruan!) telepon sudah ditutup oleh orang tersebut sebelum Khusna menjawab.
“Mwuahh. Sori yo sayang. Iki lho Indro njaluk tulung njemput.. Aku lali lek wes janjian hehe..”, (Mwuahh. Maaf ya sayang. Ini si Indro minta tolong jemput.. Aku lupa kalau sudah janjian hehe..) Khusna mengecup mesra pipi Hajar dan kemudian segera mengambil lap kanebo untuk membersihkan kaca depan mobilnya.
“Mas.. Ga usah ke tretes ya.. Perasaanku kok ga enak ! “, Hajar berucap pada Khusna yang saat itu sudah menyalakan mesin dan siap meluncur.
“Lho.. Sopo sing kate nang tretes nduk!?. Digorohi gelem ae. Emang lek mlebu tol jurusan malang trus mesti dianggep kate nang pandaan ngunu ta??. Aku iki kate nang darjo njemput Indro. Areke mari lembur latihan gae persiapan turnamen karate minggu ngarep!” (Lho.. Siapa yang mo ke tretes neng!??. Dibo’ongin mau aja. Emang kalau masuk tol jurusan malang trus otomatis dianggap mo ke pandaan gitu ya?. Aku ini mau ke Sidoarjo jemput Indro. Dia lagi lembur latihan keras buat persiapan turnamen karate minggu depan!) Khusna menahan senyumnya memperhatikan Hajar.
“Owhh kirain…”, Hajar tersenyum malu-malu.
“Durung wayahe nduk. Simpen sing rapet gae malam pertama kita hihi”, (belum saatnya neng. Simpan rapat-rapat untuk malam pertama kita hihi) Khusna mencium hangat kening Hajar dan kemudian men starter mobilnya.
——-
“Sori cak suwe nyusule. Eh iyo, lungguho mburi yo.. “, (Maaf lama jemputnya. Eh iya, duduk belakang ya bro..) Khusna membuka kaca jendela sopir dimana Indro berdiri mematung di sebelahnya.
“Lho.. Mbak.. Mmm.. Mbak Hajar ta iku?. Sempel Joo koen iki. Kok iso mbak Hajar melok? Kapan akrabnya? Bengi-bengi ngene anake uwong koen culik!”, (Lho.. Mbak.. Mmm.. Mbak Hajar kah itu?. Gila kamu Joo. Kok bisa-bisanya mbak Hajar ikut? Kapan akrabnya? Malam larut begini kamu culik anak orang!) Indra melotot kaget saat melongok ke arah mobil dan melihat penumpang yang ada di samping Khusna. Dengan ramah Hajar menyapa Indra yang masih terbengong-bengong tak percaya.
“Wess ndang mlebuo koen ndeng. Kakehan takon koen iki!”, (Sudahh buruan masuk. Kepo banget sih!) Indro tersentak kaget dan segera masuk ke kursi penumpang. Di dalam mobil, Hajar mengajak bersalaman Indra.
“Sampean gaa popo kan mbak?, ga lagi diombeni uyuh macan ato lagi di dukuno Paijo?”, (Kamu baik-baik saja kan mbak?, ga lagi diminumi alkohol ato didukunkan sama Paijo ini?) pertanyaan Indra bukannya mendapat respon dari Hajar, sebaliknya jitakan keras Khusna mendarat telak di ubun-ubun Indro.
——-
Brio putih Khusna baru saja melewati loket tol Sidoarjo mengarah kembali ke Surabaya. Malam semakin larut. Jam sudah mendekati pukul 1 dini hari. Hujan telah reda seiring dengan redanya tangisan Hajar. Selama perjalanan mereke bertiga bersenda gurau riang demi mengusir kantuk yang mulai menyerang.
“Mbak, sampean ojok katek percoyo karo tumo sithuk iki!, gelem-gelem e sampean dijak kluyuran bengi-bengi ngene! “, (Mbak, kamu jangan percaya sama kutu satu ini, kok mau-maunya kamu diajak kluyuran malam-malam gini sih mbak!) Indro mulai memancing di air keruh. Tak ada niatan apapun, hanya sekedar bahan candaan.
“Halah mas, ga katek mbak barang talah. Celuk Hajar ngunu ae. Yaa.. Yopo yo mas.. Aku sakjane yo emoh mas.. Dipekso trus diseret-seret e iku mau!”, (Halah mas, ga usah panggil mbak segala lah. Cukup Hajar saja. Yaa.. Gimana ya mas.. Aku sebenarnya sih ga mau ikut mas.. Tapi dipaksa bahkan diseret itu tadi!) Hajar melirik jahil ke arah Khusna kemudian beralih melirik Indro saling memberi kode dengan kedipan mata.
“J*nc*k raimu dhes! Provokator koen!… Iki pisan lapo kok nggae-nggae crito lek aku mekso-mekso..hadohh!”, (Dasar kau! Tukang provokator!.. Nih cewek juga ngapain bikin cerita kalau aku maksain..Aduhh) Indra dan Hajar kompak terpingkal-pingkal melihat solah polah Khusna yang seperti sedang kebakaran jenggot.
Tuing tuing.. Tuing tuing..
Tiba-tiba handphone Hajar berbunyi. Muncul nama ‘Mbakku’ pada layar.
“Haloo.. Ndut, koen nang ndi? Langsung meluncur nang omah bapak yo. Iki bapak lorone kumat!”, (Haloo.. Ndut, kamu dimana? Langsung ke rumah bapak ya. Penyakit bapak kambuh!) Najar menghubungi adiknya untuk mengabarkan bahwa bapak mereka sedang kambuh sakitnya.
Memang setahun ini kondisi kesehatan bapak Hajar yang bernama lengkap Ali Syahdan sedang menurun drastis. Kalau sudah kambuh, Pak Ali hanya bisa terbaring lemas tanpa daya. Dadanya sebelah kiri begitu sakit saat sedang kambuh. Menurut dokter, Pak Ali mengalami penurunan kinerja jantung. Hal itu terjadi karena beban pikiran Pak Ali terlalu berat. Semua bermula sejak perceraian kala itu.
“Ehmm iyo iki lagi metu onok perlu.. Ok ok aku langsung rono!”, (Ehmm iya ini lagi ada perlu diluar.. Ok ok aku langsung meluncur!) Terlukis jelas sekali kerisauan di wajah Hajar.
“Ati-ati ndut, ojok gedandapan.. Bahaya gawe koen malah!”, (Hati-hati ndut, jangan panik.. Bahaya buat kamu!) Najar terbiasa memanggil adiknya dengan panggilan ‘Ndut’. Bukan tanpa alasan, dulu Hajar saat masih TK adalah seorang gadis kecil yg gendut dan lucu.
“Mas, minta tolong antar aku ke daerah Manukan, kerumah bapak. Nanti kupandu arahnya saat sudah masuk daerah sana. Pliss ya, bapakku sakit keras”, wajah Hajar menghiba. Kesedihan yang beberapa jam sebelumnya telah sirna, kini hadir kembali laksana mendung gelap yang siap memuntahkan airnya.
Demi melihat kondisi Hajar yang cukup panik, Khusna dan Indra hanya mampu menghela nafas. Khusna dengan khikmat dan tanpa banyak tanya langsung mengarahkan mobilnya untuk turun di pintu tol tandes.
“Rumah yang ada gerobak baksonya, sebelah gang itu berhenti mas!”, Hajar memberi isyarat agar Khusna merapatkan mobilnya di sebelah kiri jalan.
Mereka bertiga turun dari mobil dan disambut mbak Najar di depan teras. Terotomatis pikiran Khusna dan Indra langsung terkoneksi dengan wanita cantik yang mereka intip di rumah Hajar. Sesaat mereka terlihat kikuk dan salah tingkah khawatir kalau Hajar telah menceritakan aksi nakal mereka. Namun kekhawatiran mereka tak terbukti. Mbak Najar biasa saja tanpa menunjukkan sikap marah ataupun tatapan benci.
Hajar memperkenalkan Khusna dan Indra pada kakaknya. Saat menyalami Khusna terlihat sang kakak tersenyum jahil sembari melirik ke arah adiknya. Hajar yang tahu sedang ‘dicurigai’ oleh kakaknya hanya mampu memasang wajah malu-malu kucing. Beralih kemudian mbak Najar bersalaman dengan Indra. Ada yang sedikit aneh saat mereka bersalaman. Seperti ada tatapan yang tak sepantasnya terjadi. Tatapan aneh seorang wanita yang telah bersuami terhadap pria lain. Ehm.. Semoga saja mereka tak melakukan tindakan buruk yang melanggar norma-norma yang ada.
Beriring mereka memasuki rumah dimana bapak dari Hajar tinggal. Rumah itu tidak terlalu besar. Bahkan bisa dibilang kecil. Sebuah ruang tamu ukuran 2×3 meter, disambung ruang tengah yang langsung menghubungkan dengan dua pintu kamar tidur yang saling berdampingan. Di ruangan paling belakang ada kamar mandi dan dapur. Overall mirip tipe 36 perumahan namun dengan kondisi yang mulai lapuk dan kusam.
Bapak Hajar hidup sendiri dirumah tersebut. Nenek yang dulunya sempat dirawat Bapak Hajar telah meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu di usianya yang menginjak 75tahun. Satu-satunya saudara Pak Ali adalah kakak laki-laki yang tinggal bersama istrinya di Jakarta dan bekerja sebagai kepala sekuriti di salah satu perusahaan terkenal di ibukota bernama PT. 3MP milik tiga konglomerat muda Mr. Al, Mr. L, serta Mr. Nos.
“Bapak, pripun keadaane?” (bapak, gimana keadaannya?) Hajar mencium tangan ayah tercintanya.
“Dodoku sesek nduk. Rasane cekot-cekot tembus geger. Alhamdulillah kok pas mbakmu nginep kene.. Uhukk uhuk”, (Dadaku sesak nduk. Rasanya senut-senut sakit tembus ke punggung. Alhamdulillah kebetulan kakakmu menginap disini.. Uhukk uhuk) dengan terbatuk-batuk Pak Ali mencoba berbicara dengan anak bungsunya yang baru datang.
“Iyo ndut, mas Dion onok tugas luarkota seminggu. Yo akhire aku nginep kene.. “, (Iya ndut, mas Dion ada tugas luarkota satu minggu. Ya akhirnya aku menginap disini aja..) imbuh Najar melengkapi penjelasan Pak Ali.
“Bapak sampun ngunjuk obat?, kulo beto teng griyosakit nggih!?”, (Bapak sudah minum obat?, dibawa ke rumahsakit ya pak!?) lanjut Hajar merasa prihatin terhadap kondisi Bapaknya.
“Ga usah nduk. Iku mau wes ngombe obat. Mengko lak waras. Yoo.. Jenenge wong tuwek yo ngene ki nduk, loro-loroen..”, (Tak perlu nduk, Itu tadi sudah minum obat. Nanti juga sembuh. Yaa.. Namanya orang tua renta ya begini ini, sakit-sakitan..) dengan kesusahan Pak Ali tetap berusaha berbicara.
“Lho.. wong parah ngeten kok mboten purun diobataken to?, Nggih sampun pak, istirahat mawon. Tenaganipun di hemat, mboten usah ngendikan kathah-kathah”, (Lho.. Parah begini kok tidak mau diajak berobat?, ya sudah pak, istirahat saja dulu. Tenaganya dihemat, jangan banyak berbicara dulu) Najar menimpali ucapan Bapaknya yang sungguh terlihat sangat lemah.
“Nduk.. Iku sopo?, pacarmu ta?”, (Nduk.. Itu siapa?, pacarmu ya?) Pak Ali menunjuk ke arah Khusna yang berdiri di samping ranjang.
“Oh.. Saya Khusna Pak, dan ini teman saya, Indra”, sapa Khusna pada Pak Ali yang masih saja memperhatikan dengan seksama ke arahnya.
“Cobo rene nyedek kene.. Khus.. koen iku arek apik. Aku kroso iku.. Aku njaluk tulung, jagakno Hajar gae aku. Trus koen Ndra, sakjane aku tertarik karo koen. Koen alus areke. Tapi ga mungkin tak olehno Najar, wong Najar wes duwe bojo. Umpomo aku duwe anak wedok siji maneh, bakal tak olehno koen hehe.. Uhukkk uhuk uhukk”, (Coba mendekat sini.. Khus..kamu anak baik. Aku bisa merasakan itu.. Aku minta tolong, jagakan Hajar untukku. Trus kamu Ndra, sebenarnya aku tertarik dengan sifatmu. Kamu anak yang halus dan tenang. Tapi tak mungkin jika kujodohkan dengan Najar, kan dia sudah bersuami. Andai saja aku punya anak perempuan satu lagi, pasti akan kujodohkan denganmu hehe.. Uhukkk uhuk uhukk) Pak Ali masih terlihat sangat lemah, tapi beliau memaksakan diri untuk bisa berbicara dengan teman-teman anaknya. Khusna maupun Indra hanya mampu manggut-manggut mengiyakan perkataan orang tua Hajar yang memuji mereka.
Dengan bantuan obat yang ada, akhirnya Pak Ali bisa terlelap tidur. Begitu juga rasa kantuk yang menggelayut di kelopak mata Najar, dll semakin tak terbendung..
Bersambung
Pembaca setia BanyakCerita99, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)BTW yang mau Mensupport Admin BanyakCerita dengan Menklik Gambar Diatas dan admin akan semakin semangat dapat mengupdate cerita full langsung sampai Tamat.
Terima Kasih 🙂