Suradi Adventure Part 10
Suradi Adventure Part 10
HATI SEORANG BIDUAN 3
Puspa mengenakan jaket dan celana jeans ketat ketika menunggu Suradi di tangga depan lobby. Dia merasa aneh melihat colt bak terbuka itu masih sama dengan ingatannya 10 tahun yang lalu. Perasaanya juga mungkin masih sama.
“Silakan.” Kata Suradi, membukakan pintu dari dalam. Puspa masuk dan duduk sambil memeluk tas tangannya. “Masih di Tubagus Ismail?”
“Sudah pindah ke Antapani.” Katanya.
“Oke. Berangkat…” Kata Suradi. “Dari jalan Purwakarta terus ke mana?”
“Dari situ, setelah lewat pom bensin langsung belok kiri, rumah Puspa ada di ujung.”
Mobil melaju pelahan.
“Anaknya berapa, Kang?”
“Satu. Masih SMA.”
“Puspa?”
“Saya? Belum.”
“Jangan manggung mulu, kasihan suami.” Kata Suradi. “Cari waktu yang tepat.”
Puspa menarik nafas berat.
“Itu mungkin salah satu kesalahan saya.” Katanya. Suradi sejenak menoleh ke arah biduan itu dan secepatnya kembali fokus ke jalanan. Malam terasa lengang oleh lampu-lampu yang menyala kedinginan.
“Bisa diperbaiki. Tak ada yang sempurna.”
“Ya, mudah-mudahan. Ke depan saya akan menemukan orang yang tepat.” Suara Puspa terdengar serak.
“Mudah-mudahan. Semoga.” Jawab Suradi, suaranya tenang. Dia menoleh sekali lagi. “Selalu ada awal yang baik untuk memulai sesuatu.”
“Ya, selalu ada awal.” Kata Puspa. “Biarkan yang kemarin berlalu. Lupakan, maafkan. Hidup terus berlanjut.”
“Kegagalan seringkali membuat diri kita menjadi aneh.” Kata Suradi. “Jangan patah semangat.”
“Tidak. Hanya saja… kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya jadi seorang biduan. Jadi penyanyi.”
“Tidak, tentu saja. Tidak akan pernah. Saya cuma tukang bangunan, orang kasar. Hidup saya bergelut dengan material, besi, semen, para kuli… saya tidak akan sanggup memahami kelembutan perasaan seorang seniman.” Kata Suradi.
Puspa menoleh ke arah lelaki itu. Menatapnya, lama sekali. Seperti sepuluh tahun yang lalu, lelaki itu fokus ke jalan dan tampak tidak acuh. Tiba-tiba Puspa menyorongkan mulutnya dan mencium pipi Suradi.
Dada Suradi berdesir. Ciuman yang penuh perasaan, pikirnya.
“Itu, apa maksudnya? Aku sudah beristri dan punya anak.” Kata Suradi.
“Seandainya sepuluh tahun yang lalu aku punya keberanian, aku sudah melakukannya saat itu.”
“Saya tidak tersanjung.” Kata Suradi. Datar.
Puspa tertawa.
“Kamu anggap itu sanjungan?”
“Ya.”
“Dari sini lurus… nanti belok setelah Pom Bensin.” Kata Puspa mengalihkan pembicaraan. Sulit sekali dia menakar perasaan lelaki itu. Sejak awal matanya menangkap garis-garis tubuh lelaki itu, ketika di panggung, dia tahu dia menyukai Suradi. Lelaki itu jauh lebih matang dan lebih menarik dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu.
Mereka tiba di sebuah rumah mungil yang apik. Seorang perempuan tua membukakan pintu gerbang. Di mobil, tangan Puspa yang lembut, memegang lengan Suradi.
“Kamu harus mampir sebentar, untuk secangkir kopi dan cerita lama yang belum tuntas.”
“Ini… ini sudah hampir jam 10. Sudah malam.”
“Bagiku ini masih pagi. Kang, turun ya?”
Suradi diam sejenak.
“Oke, baiklah. Saya tidak akan rugi apa pun.”
“Ya. Tidak akan rugi. Malah untung dapat teman baru.” Kata Puspa sambil tersenyum.
Bersambung