Merindukan Kesederhanaan Part 14
Merindukan Kesederhanaan Part 14
Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi
Aku melihat jam di HP ku, sudah hampir jam tujuh. Setelah beribadah berjamaah dengan hampir seluruh penghuni rumah ini, kecuali Gita tentunya, aku dan Pak Ahmad, penjaga dan yang bertanggung jawab atas rumah ini, ngobrol di teras depan rumah. Obrolan hangat terjalin di antara kami berdua. Ditemani dengan dua gelas teh manis hangat dan beberapa cemilan, rasanya seperti sedang ngobrol dengan Bapak.
Pak Ahmad banyak bercerita tentang masa mudanya yang ternyata dari kecil tinggal bersama dengan Kakek dan Nenek Gita dari Ibu. Bisa dibilang mirip dengan Aku dan Mba Endang. Karena dari penjelasannya, Pak Ahmad ini adalah saudara jauh dari Kakek nya Gita. Beliau sudah dianggap anak sendiri oleh Kakek nya Gita. Dan sekarang, Gita sudah beliau anggap seperti anak kandungnya sendiri. Sampai dengan sekarang, diusia pernikahannya yang hampir duapuluh tahun itu, mereka belum dikaruniai seorang anak.
Gita sendiri sekarang sedang di dalam membantu Bu Rini, menyiapkan makan malam untuk semua. Rasanya tuh seperti, aku dan Gita adalah sepasang suami istri, dia sedang membantu Ibu di dapur sedangkan aku dan Pak Ahmad menunggu di depan. Kalau dibayangin rasanya indah sekali. Hahaha. Ngelantur lagi.
Kembali ke rumah ini, rumah ini adalah warisan dari kakek dan nenek Gita ke Ibu nya Gita. Dan, sekarang menjadi rumah Gita setelah Ibu nya mengamanahkan rumah ini kepadanya. Bisa dibilang, ini adalah kenang-kenangan yang ditinggalkan kakek, nenek, dan ibu nya kepadannya.
Meskipun sederhana, aku bisa merasakan kehangatan di rumah ini. Pantas saja dia tadi bilang rumah ini adalah tempat dimana dia pulang dan berteduh. Tapi, kenapa dia bilang sudah lama tidak merasakan suasana hangat seperti ini? Atau yang dia inginkan itu kehangatan dari keluarga khususnya Papa nya? Tapi kan yang ada di rumah ini sudah seperti keluarga sendiri bagi nya? Aku semakin tidak mengerti dengan anak itu.
“Nak Ian sudah berapa lama kenal dengan Gita?” tanya Pak Ahmad membuyarkan lamunan ku.
“Eh, ehmm…kenalnya sih sudah setengah tahun lebih pak, tapi kenal deket baru sebulanan ini,” balas ku.
“Owh…sedeket apa ya nak kalau bapak boleh tau?” tanya nya lagi. Kaya lagi diinterogasi.
“Ehmm…itu…,” jawab ku terputus karena ragu mau menjawab apa.
“Ga usah bingung, bapak cuma pengen tau aja,” ucapnya lagi sambil menoleh ke arah ku.
“Ya, seperti sahabat aja sih pak, tidak lebih,” jawab ku.
“Bapak boleh minta tolong sesuatu pada naik Ian?”
“Minta tolong? Minta tolong apa ya pak?”
“Dari bayi, bapak sudah ikut kakek nya neng Gita. Bisa dibilang, bapak punya hutang budi seumur hidup dengan keluarga besar neng Gita,” jelasnya sambil memandang kedepan. Membelah lebatnya hujan yang turun bersama dengan kenangan masa lalunya.
“Kalau diminta, apapun akan bapak lakukan demi kebahagiaan neng Gita,” lanjutnya masih dengan menerawang ke depan. Aku hanya diam mendengarkan ceritanya.
“Sudah lama sekali bapak tidak melihat keceriaan neng Gita seperti sore ini, terakhir bapak melihatnya mungkin sekitar tujuh tahunan yang lalu sebelum Almarhum Bu Ratna meninggal,” ucapnya lagi dengan sedih. Aku bisa merasakan betapa dia juga merasakan kehilangan atas mamanya Gita.
“Bapak juga tidak mengerti kenapa neng Gita bisa berubah seperti itu. Bapak ga terlalu tau bagaimana hubungan pribadi keluarga mereka, tapi baik Pak Weily, Bu Ratna, sama-sama baiknya. Sama-sama dermawan dan rendah hati. Sama-sama perhatian dengan kedua anaknya, neng Yohana dan Neng Gita,” jelasnya lagi.
Tunggu dulu, sama-sama perhatian? Lalu pengakuan Gita tadi sore apa? Kenapa bisa berbeda seperti ini? Aku merasa Gita tadi tidak mengada-ada, tapi aku juga yakin Pak Ahmad tidak berbohong. Semakin pusing aku dengan keluarga ini.
“Kembali ke neng Gita, apapun hubungan nak Ian dengan neng Gita, bapak mohon nak Ian mau tetap bersama dengan neng Gita. Menjaganya, menemaninya, dan membahagiakannya, Bapak percaya neng Gita akan bahagia dengan nak Ian” ucap Pak Ahmad.
“Waduh,” ucap ku spontan.
“Nak Ian tidak bersedia?”
“Bukan tidak bersedia pak, tapi…takut tidak sanggup, dan saya juga tidak yakin apakah Gita benar-benar membutuhkan saya karena kami dekat juga belum lama ini,” jelas ku.
“Tidak masalah, nak Ian cukup jalani saja seperti sekarang, tidak perlu berusaha mendekat, tapi jangan menjauh dari neng Gita,” pintanya lagi.
“Kalau itu, insyaallah saya sanggup,” balas ku. Bertepatan dengan itu datang salah seorang anak, aku lupa namanya, dari dalam rumah membuat obrolan serius kami terhenti.
“Abah, kak Ian, disuruh makan, katanya udahan ngobrolnya,” ucap anak itu dengan polosnya. Aku dan Pak Ahmad sama-sama tersemyum menanggapinya.
“Ayoook, abah juga sudah laper ini, nak Ian, mari makan,” ajak Pak Ahmad.
“Mari Pak,” balas ku sambil tersenyum.
Kami bertiga lalu masuk untuk makan bersama. Rasanya sudah lapar juga perut ini. Namun, pikiran ku kembali bertanya-tanya. Setelah kejutan tentang rumah dan keluarga besar ini, aku semakim dibuat bingung dengan cerita dari Pak Ahmad dan Gita yang saling bertolak belakang. Tapi ya sudah lah. Mungkin dengan berjalannya waktu aku akan mengetahuinya.
***
Seperti dugaan ku sebelumnya, acara makan bersama ini pasti akan berlangsung di ruang tengah karena tidak mungkin kalau di dapur. Tidak akan cukup. Dua buah tikar digelar diruang tengah yang memang cukup luas ini. Satu tempat nasi berukuran besar berada ditengah. Di sampingnya terdapat satu panci berisi sayur yang nampak sangat sedap. Lalu disekelilingnya ada beberapa piring berisi tahu dan tempe goreng dan juga beberapa piring kecil sambel matang. Terakhir sebuah toples besar berisi kerupuk. Ini sih aku banget pikir ku.
“Ayo nak Ian seadanya ya, ga usah sungkan, anggep aja makan di rumah sendiri,” ajak Pak Ahmad yang mulai menyendok nasi.
“Dia mah krupuk, sambel, sama kecap aja juga udah seneng Pak,” ucap Gita menyela. Aku baru mau menjawabnya tapi sudah keduluan Gita.
“Neng, ga boleh gitu sama tamu,” balas Bu Rini.
“Maafin neng Gita ya nak Ian, kadang suka begitu orangnya,” lanjutnya
“Ndak apa-apa bu, saya sudah biasa kok dianiaya sama Gita, jadi udah kebal,” canda ku. Tapi raut wajah Gita nampak langsung berubah. Apa dia merasa tersindir? Aduh, ni anak suka ngeledekin tapi baperan juga.
“Maksut saya dianiayanya yang enak-enak lho bu, hehe, jadi saya sih seneng-seneng aja, hehehe.”
“Eh, apaan tuh aniaya yang enak-enak, boong bu, Ian ngaco tuh,” sanggah gita sambil menjulurkan lidahnya. Dia nampak kesal dengan candaan ku. Tapi terlihat juga kalau dia tau aku hanya bercanda.
Bu Rini hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sedangkan Pak Ahmad masih sibuk dengan piring dan nasinya. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi, apa ya? Ah, iya. Sebagian anak-anak, khususnya yang sudah agak besar, menatap ke arah ku dengan curiga. Aku yang merasa risih lalu melirik ke arah Gita. Tidak lama kemudian Gita sadar tapi juga tidak mengerti kenapa mereka mematap ku. Lalu tiba-tiba seorang anak menyeletuk tanpa dosa di depan kami semua.
“Kak Ian pacaran ya sama Kak Gitaaa?”
“HAH?” aku dan Gita sama-sama terperangah dengan pertanyaan anak itu.
“Andri apaan sih? Kakak sama kak Ian itu sahabatan, jadi ga mungkin kita pacaran,” elak Gita.
“Betul itu, kakak itu sahabatnya kak Gita ndri, tapi sahabat yang teraniaya, hahaha,” canda ku lagi.
“Tapi kan ada tuh kak lagu yang sahabat menjadi cinta?” balas andri lagi sambil senyum-senyum. Aku dan Gita sama-sama bingung dengan pernyataan anak kecil yang usianya belum genap sepuluh tahun itu.
“Andri, makan dulu ya, ngurusin cinta-cintaannya nanti kalau udah gede, ngerti?” tegur Pak Ahmad tegas namun tetap santai.
“Hehehe, iya bah, tapi, Andri sama temen-temen yang lain punya permintaan buat Ka Ian,” balasnya. Aduh, apa lagi ini pikir ku.
“Andri…,” tegur Pak Ahmad lagi.
“Biarin aja pak gapapa, ehmm…andri dan adik-adik yang lain pengen apa? Kalau kakak bisa pasti kakak kasih deh,” balas ku dengan tersenyum.
Anak-anak itu saling pandang sebentar. Sebagian dari mereka juga saling tersenyum. Senyum polos khas anak-anak.
“Kami,” ucap Andri terhenti.
“Kami semua, mau Kak Ian selalu jagain dan lindungin Kak Gita apapun yang terjadi, jagain Kak Gita untuk kami,” ucap Andri sebagai perwakilan dari mereka semua. Aku mendadak bengong. Lalu melirik ke gita seolah tidak percaya. Gita juga terlihat sedikit menggeleng pertanda tidak tau apa-apa.
“Udah-udah, abah marah nih kalau kalian minta yang aneh-aneh. Belum waktunya. Sekarang waktunya buat kalian makan, belajar, lalu bobok,” tegur Pak Ahmad lagi semakim tegas.
“Tapi bah,” seorang anak yang lain ikut bicara.
“Nissa!!”
Semua terdiam. Semua anak-anak nampak takut dengan Pak Ahmad. Pak Ahmad sebenarnya tidak salah, karena untuk urusan seperti ini belum waktunya bagi mereka. Tapi, mungkin aku harus menengahi.
“Baiklah,” ucap ku dengan riang ke anak-anak itu sambil mengacungkan jempol.
“Kakak janji sama kalian semua. Kakak akan selalu lindungin, jagain, dan selalu ada untuk Kak Gita, semuanya untuk kalian, karena kakak tau kalian sayang sama kak Gita kan?”
“Iya kak, kita semua sayang kak Gita,” jawab mereka dengan riangnya.
“Ya udah, sekarang kita makan ya, kakak udah laper nih, hehehe,” ajak ku. Semoga mereka semua lekas memulai acara makannya.
“Kan Ian mbul, hahaha,” celetuk salah seorang dari mereka. Lah, dibilang mbul.
“HAHAHAHA,” tawa yang lainnya.
“Husss, ga boleh gitu, ga sopan,” tegur Pak Ahmad. Si anak hanya senyum-senyum saja. Aku masih belum hafal yang barusan mengataiku ini namanya siapa.
Setelah Pak Ahmad selesai menyendok nasi dan lauknya, sekarang giliran ku. Aku mengambil nasi secukupnya, sayur juga secukupnya, satu potong tahu dan tempe, sambel, dan terakhir kerupuk. Setelah aku selesai menyendok, baru giliran anak-anak itu yang menyendok. Yang aku salut, tidak ada satupun dari mereka yang berebut. Semuanya tertib menunggu giliran. Setelah anak-anak selesai, baru giliran Gita dan Bu Rini yang terakhir menyendok.
Aku kembali teringat dengan ucapan Gita tempo hari yang mengatakan kalau dia rindu suasana makan yang seperti ini. Kalau dia jujur, lalu yang sekarang ini apa? Tidak mungkin ini adalah yang pertama baginya. Lalu, apa dia berbohong? Untuk apa? Menarik perhatian ku? Menjebak ku?
Atau, yang dia rindu adalah yang dengan keluarganya. Pasti begitu. Tapi kalau memang seperti itu berarti Pak Ahmad yang berbohong dong. Argh…aku semakin bingung dengan keluarga ini. Mending makan aja deh. Biar kenyang terus pulang.
***
“Dadah semuanyaaa…,” teriak Gita ke anak-anak saat mobil yang kami naiki berjalan meninggalkan halaman rumah itu. Setelah selesai makan dan berbincang-bincang sebentar aku dan Gita memutuskan untuk pulang. Sebenarnya masih pengen lama dan bermain-main dengan anak-anak itu. Tapi yang ada mereka malah tidak belajar nanti.
“Seru ya tadi, kamu kenapa baru kasih tau sekarang kalau punya anak sebanyak itu? Bapaknya siapa aja?,” tanya ku bercanda pada gita.
“Enak aja bapaknya siapa, kamu pikir aku sapi ternak punya anak sebanyak itu, huh!” omelnya kesal.
“Hahaha,” aku hanya tertawa mendengar kekesalannya.
“~hahaha~,” dia menirukan tawa ku dengan dibuat-buat.
Kemudian hening. Mobil sudah keluar dari gang dan masuk ke jalan raya. Gita nampak fokus dengan kemudinya. Mungkin karena jalanan yang cukup ramai. Benar kali ya aku harus belajar nyetir mobil. Biar kalau sewaktu-waktu jalan ama Gita atau teman yang lain bisa gantiin bawa mobilnya. Pasti Gita capek. Aku jadi ga enak sebenarnya.
“Setelah ini kita pulang kan?” tanya ku memecah keheningan.
“Pulang?” tanya nya balik.
Iya pulang, batin ku. Sudah hampir jam delapan malam, aku tidak salah dong kalau berfikir setelah keluar dari rumah itu kita berdua akan langsung pulang. Kalau tidak pulang kemana lagi?
“Iya pulang, emang mau kemana lagi? Nanti Pak Weily nyariin lho,” ucap ku.
“Hahaha, Ian-ian, mana pernah Papa nyariin Aku,” balasnya.
“Hah? Ndak pernah?” tanya ku lagi.
“Dia kan punya dua orang kepo yang selalu ngikutin Aku, ga nyariin pun Papa tau kok aku dimana, gitchu Ian sayaaang, iihhh emesss deeeh…jadi pengen nyubit, hihihi,” ucapnya sambil mencubit pipi kanan ku leras banget.
“Aduuuhh…aduuhh…aduuuhhh…sakiiit!”
“Hahaha, abis gemes, kamu nya polos banget,” ucapnya lagi geli. Aku pasang muka jutek.
“Iya-iya, aku emang masih imut-imut, makanya gemesin. Trus kita kemana non? Pak Weily tau dong kita jalan?”
“Maybe. Ehmm…kalau kamu pulang malem dicariin ga?”
“Tergantung.”
“Dengan?”
“Kalau ngabari dulu harusnya enggak lah ya.”
“Ya udah kabarin dulu gih ke Mba Endang, kamu lagi kencan ama Aku, hihihi” perintahnya sambil tersenyum lucu.
“Yakin bilang gitu? Eh, tapi aku lagi ga punya pulsa, heheee,” balas ku sambil tersenyum garing.
“Hahaha, ya jangan bilang gitu juga dodol. Hiiih. Nih, katanya pebisnis masa pulsa aja ga punya!” ejeknya sambil menyodorkan smartphone canggihnya kepada ku.
“Bilang, lagi ngerjain tugas atau apa kek gitu sama Aku, pasti Mba Endang ngijinin,” lanjutnya.
“Pede!!” ejek ku.
“Coba aja dulu, baru komentar!” balasnya.
“Baiklah.”
Aku lalu menghubungi Mba Endang. Dan seperti yang Gita katakan, Mba Endang mengijinkannya. Eh tapi, kenapa aku menuruti perintahnya ya? Aku kan awalnya emang pengen pulang. Haduh. Udah terlanjur diijinin lagi. Mending ga dapet ijin tadi, jadinya bisa langsung pulang. Tapi, ya sudah lah. Sekali-kali.
“Tul kan, apa kata ku, Mba Endang pasti kasih ijin,” ucapnya menyombong.
“Tau deh yang sekarang akrab!” balas ku.
Gita nampak senyum-senyum dan kemudian menyalakan radio di mobilnya. Lalu terdengar lantunan lagu-lagu pop masa kini yang menjadi kegemaran anak muda.
“Ian!”
“Hmm…?”
“Yang tadi anak-anak minta, itu ga usah di anggep serius ya, namanya juga bocah, hehehe,” ucapnya tiba-tiba.
“Lah, emangnya kenapa?”
“Ya ga apa-apa sih, cuma ga enak aja, itu kan bukan kewajiban kamu, aku kan bukan siapa-siapa kamu.”
“Kamu sahabat ku. Sahabat harus saling melindungi.”
“Tapi kan ga bisa untuk selamanya. Suatu saat nanti pas kamu akan ketemu tambatan hati lagi, atau siapa tau bisa balik sama Diah, aaminn, tidak mungkin kamu bisa terus ada untuk ku,” jawabnya. Entah aku salah atau tidak, tapi aku melihat ada sebersit kesedihan dari raut mukanya.
“Kenapa tidak? Apa kita harus [acaran dulu supaya bisa menuhi janji ku ke anak-anak tadi? hahaha” balas ku sedikit ngasal.
“Hahaha, semua cowok sama aja, nalurinya nggombalin cewek. Aku serius, pokoknya kalau nanti kamu sudah dapet pengganti Diah, tapi aku sih pengennya ada keajaiban yang menyatukan kalian lagi, sampai saat itu tiba aku mau tetap dekat dengan mu, setelah itu aku akan menjaga jarak kok sama kamu,” ucapnya sambil tersenyum.
“Ga perlu sampai segitunya, sahabat mah sahabat aja,” balas ku.
“Kamu akan ngerti kalau kamu jadi cewek,” balasnya datar.
“Untungnya aku bukan cewek, ribet,” balas ku ngasal lagi.
PLAK!!
“Apa kamu bilang?” tanya nya setelah sebuah tamparan pelan mendarat di pipi kanan ku. Aduh, telapak tangan itu lagi. Kok makin lembut aja ya? Aduh jadi pengen ditampar lagi. Haha. Gagal fokus lagi.
“Endaaak.”
“Hihihi, gimana rasanya aku tampar lagi?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Pedes!” jawab ku berbohong sambil mengelus pipi ku sendiri pura-pura kesakitan.
“Halah, pelan gitu aja kesakitan. Payah!” ejeknya.
“Sakit tau, sini gantian!” ucap ku pura-pura marah.
“Nih, berani?” tantangnya balik sambil mendekatkan pipinya. Lalu entah keberanian dari mana aku mencium pipi nya.
CUUP!!
“Iihhh…!! Iaaan…!! genit bamget siiih!!” teriaknya memprotes kelakuan ku.
“Hahaha,” aku malah tertawa melihat tingkahnya yang cemberut namun sesaat kemudian tersenyum.
Kami akhirnya tertawa bersama. Mobil masih terus bergerak menyusuri jalanan kota jakarta yang masih ramai ini. Lalu lalang orang masih terlihat di waktu yang sudah cukup malam ini. Dengan urusan mereka masing-masing. Entah apa itu.
“Kita mau kemana Git?” tanya ku.
“Ada deh, pokoknya temani aku ya malam ini,” jawabnya sambil tersenyum geli.
Eh, temenin apa nih? Apa jangan-jangan?
“Jangan macem-macem ah Git, pulang aja yuk,” ajak ku. Bukan apa-apa. Aku masih memandang Pak Weily. Repot kalau Gita minta macem-macem. Ntar aku jadi enak. Haha. Pede banget.
“Hahaha, udah mikir jorok pasti.”
“Lah, terus temani apa?”
“Ya temenin aja, jalan-jalan aja, sebelum aku berangkat besok.”
“Berangkat kemana?” tanya ku penasaran.
“Ausy.”
“Hah? Ngapain?”
“Kak Yo minggu depan lahiran, dia minta ditemenin.”
“Owh,” balas ku singkat. Entah kenapa aku merasa sedih. Seperti ada rasa kehilangan. Tapi aku tidak tau kenapa. Tapi kan dia cuma temen. Tapi tapi tapi…
“Sedih ya? Hihihi, ga lama kok, paling dua minggu aja.”
“Enggak sih, biasa aja.”
“Boong!!”
“Terserah.”
“Hahaha.”
Mobil masih terus berjalan. Aku masih belum tau akan pergi kemana. Aku juga masih belum mengerti dengan perasaan ini. Apa benar aku sedih dengan kepergian Gita. Kita kan cuma teman. Lagipula cuma dua minggu. Dan, apa benar aku masih mengharapkan keajaiban terhadap Diah? Atau aku sudah merelakannya? Entahlah.
Mobil masih terus berjalan. Menyusuri jalanan jakarta. Kami sama-sama diam. Menikmati kebersamaan. Hanya suara musik dari radio yang memecah keheningan.
***
Badan ku rasanya sudah sangat letih. Heran aku dengan Gita yang masih napak enerjik. Padahal dia berjalan kesana kemari menggunakan sepatu hak tingginya. Serius, kaki ku pegel banget sekarang. Ternyata benar kata orang-orang. Wanita akan menjadi sangat kuat ketika sedang berbelanja. Aku saja sebagai cowok udah capek duluan. Ga kuat. Atau akunya yang memang payah? Haha. Mungkin.
Rasa capek ku diperparah dengan belanjaan seabrek yang aku tenteng di tangan kiri dan kanan ku. Judulnya malam ini aku diminta menemani. Menemani apaan kalau kaya gini. Jadi porter ini mah. Lagi-lagi aku dikerjain Gita.
“Gitaaa, udahan dong, capek nih,” keluh ku namun masih terus mengekornya dari belakang. Dia sih enak cuma nenteng tas jinjing kecil nya. Aku? Tiga paper bag di kiri, dan tiga paper bag di kanan. Semuanya berisi baju-baju tebal persiapan untuk di Ausy.
“Hihihi, kasian banget deh kamu,” ucapnya tanpa rasa berdosa. Kalau bukan cewek mungkin udah aku sliding dia dari belakang. Sesaat kemudian dia menoleh ke arah ku. Pandangan kami saling beradu. Langsung ku pasang muka memelas. Berhasil. Nampaknya dia tergugah hatinya untuk menghentikan acara shopingnya.
Tidak lama kemudian kami keluar dari pusat perbelanjaan itu. Tujuannya adalah sebuah cafe yang sangat terkenal dengan kopi nya. Katanya sih enak. Tapi aku belum pernah merasakannya. Jadi penasaran. Aku pun langsung menuju meja kosong di pojokan. Yang pesan tentu saja Gita. Tadi sih aku sudah memilih kopi yang aku mau. Sebenarnya sih asal pilih karena aku ga tau mana yang enak. Hehe. Ya mudah-mudahan ga sakit perut.
Sekitar lima menit kemudian Gita datang dengan anggunnya membawa dua gelas kopi pesanan kami. Yang aku lihat saat ini adalah, bayangan seorang istri masa depan yang membawakan aku segelas kopi hangat untuk ku. Betapa indahnya momen seperti itu. Hahaha. Gagal fokus lagi. Tapi wajar sih, aku rasa ga akan ada cowok yang bisa fokus kalau ngelihat betapa anggunnya Gita saat berjalan.
“Ian,” panggil Gita saat setelah dia menaruh kopi di meja beserta cemilan yang dibelinya juga.
“Hhmmm…” balas ku sambil melihat ke layar HP jadul ku.
“Iihhh, liat sini!” perintahnya manja.
“Apaan sih?” tanya ku. Aku lantas menatap ke wajahnya. Lagi-lagi dia pasang ekspresi manjanya. Serius, gemesin banget.
“Nanti kan di dalem ga boleh bawa barang- barang sebanyak ini,” ucapnya. Aku mencium gelagat ga enak.
“Trus?” tanya ku berlagak ga ngerti.
“Eh, itu diminum dulu kopinya, mas, hihihi” candanya dengan gaya centilnya. Meskipun aku tau dia hanya bercanda, tapi rasanya seneng banget. Jangan GR Ian, batin ku.
“Itu kenapa barangnya? Mau dibuang aja?” tanya ku sekenanya mengalihkan perhatian agar aku tidak terlihat gugup. Aku gugup? Iya, gugup. Cuma karena dia memanggil ku mas. Dia memang lebih muda setahun dari ku. Jadi wajar dong. Jadi jangan GR.
“Enak aja, mahal itu,” protesnya sambil pasang muka manyun. Belanjaannya ini memang cukup banyak. Mungkin setengah harga motor bebek baru. Anak orang kaya. Kalau aku, bisa punya uang sebanyak itu mungkin harus bikin ratusan hardcase dulu.
“Trus gimana?” tanya ku lagi.
“Ehmm…kamu ga mau kan cewek cantik kaya aku ini kecapekan cuma buat naruh belanjaan ke mobil,” ucapnya manja dan bertele-tele. Tuh kan bener. Aku capek Git, keluh ku. Tapi cuma dalem hati. Mulut ku tak mampu untuk berontak.
“Hhmmm…sini-sini! Aku aja yang taruh,” pinta ku dengan agak kesal. Dengan agak malas aku berdiri. Gita nampak tersenyum jahil.
“Nih kuncinya, bisa kan bukanya? hihihi” tanya nya.
“Bisaaa,” balas ku. Kalau hanya membuka kunci mobil sih aku bisa.
“Senyum dong…hehehe,” rayunya.
“Heee,” senyun terpaksa ku.
“Jangan kaget ya kalau mobil mu aku acak-acak,” canda ku. Tapi tetap dengan muka jutek.
“Jangan kan mobil, hati pun aku rela kalau kamu yang mengacak-acak, hihihi,” gombalnya. Sialan, malah aku yang di gombalin. Mau ga mau aku jadi tersenyum geli.
“Dasar jelek,” omel ku sambil berlalu meninggalkannya. Dia masih tertawa dengan penuh kemenangan.
Tidak ada hal istimewa yang terjadi saat aku menaruh belanjaan Gita ke mobilnya, kecuali aku yang hampir kesasar waktu balik dari parkiran. Untung ketemu, setelah bertanya-tanya dulu sebelumnya. Pas aku balik, Gita nampak sedang ngobrol di telepon. Tapi dia langsung mematikan teleponnya begitu menyadari aku balik. Siapa ya? Mencurigakan. Eh tapi, apa urusanya dengan ku? Kok aku penasaran ya?
“Lama amat?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Kalimat yang seharusnya kamu ucapkan pada orang yang baru saja membantu mu itu seharusnya Ya ampun, makasih ya udah bantuin aku atau apa gitu,” balas ku dengan nada lebay. Dia lalu tersenyum.
“Hahaha, lucu banget sih kamu, ya udah yuk masuk, dah di buka tuh pintunya,” ajak Gita menunjukkan kalau pintu theater sudah dibuka. Untungnya belum lama. Mudah-mudahan ga telat pikir ku.
“Tapi kopi ku?” tanya ku yang belum sempat mencicipi kopi pesanan kami tadi. Gagal deh ngrasain kopi mahal.
“Ga boleh bawa makanan masuk, ntar di dalem beli minum lagi aja.”
“Tapi Git, itu mubadzir namanya,” protes ku. Bukan apa-apa, tapi sayang aja tu kopi kalau ga diminum. Tau gitu ga usah beli tadi.
“Ya abis mau gimana? Kalau ngabisin minum kamu dulu dan kita ketinggalan filmnya, mubadzir juga kan?” balasnya. Bukan Gita namanya kalau ga punya alasan.
Akhirnya aku mengikutinya. Lebih tepatnya mengikuti tarikan tangannya karena dia sedikit menyeret lengan ku. Dengan wajah agak kesal tentunya. Aku paling tidak suka dengan makanan yang disia-siakan. Karena masih banyak orang di luar sana yang masih kekurangan makanan. Jiwa idealis ku berontak.
Setelah menyerahkan dua lembar tiket, dan mbak penjaga menyobek tiket tsrsebut, aku dan Gita langsung masuk ke ruang theater. Owh, jadi seperti ini toh dalemnya. Jujur, seumur-umur aku baru sekali ini nonton di bioskop. Tapi aku diem-diem aja di depan Gita. Aku kenapa ya? Seperti menjaga image gitu lah. Bukan aku banget.
Posisi duduk yang di pilih Gita ternyata bagian belakang. Tiga baris terakhir di bagian tengah. Deket anak tangga yang menjadi akses. Gita masuk duluan lalu aku mengikutinya. Gita langsung menghempaskan pantat seksinya di tempat duduk yang empuk ini. Nyaman sekali rasanya. Hehe. Norak banget ya aku. Tapi aku masih tetap diam. Santai. Stay cool. Kulkas? Haha.
“Kamu jadi pesan minum lagi ga, tuh mumpung ada yang nawarin minum,” tawarnya.
“Enggak, makasih,” balas ku singkat. Masih dengam gaya kalem ku.
“Cieee, ngambek ya? hihihi,”
“Enggak, udah jangan berisik, tuh dah mulai film nya,” balas ku kesal.
“Hehe, iya-iya.”
Tak lama kemudian film pun di mulai. Sekarang hening. Tidak ada yang berbicara kecuali dengan berbisik. Aku pun begitu. Lama-kelamaan mulai hanyut dalam alur dan plot yang di rangkai dalam sebuah scene oleh sang sutradara. Gita juga nampak sangat menikmati filmnya. Tidak ada obrolan lagi di antara kami. Tapi sesekali aku curi-curi pandang ke arahnya. Posisi duduknya agak merapat dan miring ke arah ku. Kakinya menyilang dengan anggun. Lengan kirinya menempel ke lengan kanan ku. Halus. Sangat halus. Dan lembut. Ingin sekali rasanya aku menggenggam telapak tangannya. Tapi, keberanian ku tidak setinggi keiinginan ku.
Lama kami masih terdiam. Sama-sama menikmati sajian film yang ditembakkan ke layar besar itu. Kalau di kampung, yang kaya gini namanya sorot. Biasanya layarnya dari kain yang di pajang dengan dua tiang bambu. Dan biasanya ada juga hanya pada saat ada warga yang menyelenggarakan hajatan. Dan yang pasti, tontonan gratis. Gita semakin merapatkan duduknya. Aduh, apa ini kode? Ga mungkin. Aku masih mendiamkannya. Nyali ku masih terlalu kecil untuk meresponnya. Tapi kok, kaya ada yang ngusel-usel di lengan atas ku ya?
“Ian,” bisiknya.
“Eh, iya Git, ke-kenapa?” balas ku gugup karena merasakan dengusan nafasnya di dekat leher ku. Kepala kami hanya berjarak beberapa senti. Kalau aku semakin menoleh kan kepala ku, mungkin bibir kami akan saling beradu.
“Aku pinjem bahu kamu ya,” pintanya pelan, dan lembut.
“Eh, ehmm i-iya Git, boleh,” jawab ku pasrah. Pasrah? Kesannya aku dimanfaatin gitu ya. Haha.
Dia nampak senang dan tersenyum manis. Ternyata, selain menyenderkan kepalanya di bahu kanan ku, Gita juga meraih lengan kanan ku dan di peluknya.
GLEG
Sesuatu yang kenyal menempel erat di lengan ku. Seketika itu juga lengan ku menjadi kaku. Seperti mati rasa. Aku takut kalau sampai ada pergerakan sedikit saja dikiranya aku ambil kesempatan. Duh gusti, berat sekali cobaan Mu malam ini.
Gita masih memeluk lengan ku. Tangan kanannya memegang lengan atas ku. Sedangkan jari jemari tangan kirinya menghiasi sela jari tangan kanan ku. Telapak tangan kami saling meremas. Rasa hangat yang diberikannya kian merasuk ke dalam sukma. Kehangatan yang belum lama hilang itu kini telah kembali. Tapi, kehangatan ini besok akan pergi. Hanya dua minggu, tapi entah kenapa aku merasa kehilangan. Apakah kehadiran Gita yang tiba-tiba ini adalah takdir yang digariskan Tuhan? Sebagai pengganti Diah? Aku tidak tau.
Perasaan ini? Sangat nyaman. Separuh hati ku yang menghilang seolah kembali lagi. Maaf kan aku Di. Sungguh aku tidak menginginkan semua ini, tapi perasaan ini, aku tidak bisa memungkirinya. Aku sekarang merasa sangat nyaman. Senyaman aku dengan mu Di. Haruskah aku menyangkalnya? Atau mengikutinya?
Ketika ku mendengar bahwa
kini kau tak lagi dengannya
Dalam benakku timbul tanya
Masihkah ada dia, di hatimu bertahta?
Atau ini saat bagiku untuk singgah di hatimu
Namun siapkah kau ‘tuk jatuh cinta lagi?
Meski bibir ini tak berkata
bukan berarti ku tak merasa
ada yang berbeda di antara kita
Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya kar’na
diriku tak mampu untuk bicara
bahwa aku inginkan kau ada di hidupku…
Kini ku tak lagi dengannya,
sudah tak ada lagi rasa antara aku dengan dia
Siapkah kau bertahta, di hatiku adinda
Karna ini saat yang tepat untuk singgah dihatiku
Namun siapkah kau ‘tuk jatuh cinta lagi?
Meski bibir ini tak berkata
bukan berarti ku tak merasa
ada yang berbeda di antara kita
Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya kar’na
diriku tak mampu untuk bicara
bahwa aku inginkan kau ada di hidupku…
***
“Seru ya film nya?” tanya nya saat kami berjalan keluar dari theater.
“I-iya,” jawab ku masih dengan gugup.
Entah apa yang dipikirkannya, tapi dia senyum-senyum sendiri. Seperti tidak ada sesuatu yang terjadi sebelumnya di dalam sana. Mungkin aku saja yang terlalu kepedean mendapatkan dekapan dadanya. Mungkin.Suasana mall sudah sangat sepi. Pantes, sudah jam dua belas lewat. Ini pertama kalinya aku main sampai selarut ini di jakarta. Setelah terlebih dahulu ke toilet, kami berdua langsung berjalan menuju parkiran. Suasana di parkiran lebih sepi lagi. Hanya ada beberapa mobil yang masih terparkir. Sangat sunyi. Suara langkah kaki Gita terdengar sangat jelas.
“Ian, kamu anterin aku pulang dulu ya,” pinta nya. Kita berdua sudah tiba di mobilnya.
“Nganterin?” tanya ku bingung.
“Maksutnya kamu ikut aku sampe depan komplek rumah ku, nanti kamu naik taxi aja dari sana,” jelasnya.
“Eh, ehmm…,” balas ku bingung.
“Atau, kamu yang aku anter pulang dulu, hehe,” tawarnya memotong ucapan ku.
“Haha, yang bener aja, masa cewek nganterin cowok?” tanya ku balik.
“Ya kenapa enggak, kan aku yang nyulik kamu, hehehe,” balasnya sambil tertawa renyah. Kita berdua sudah di dalam mobil dan sudah bergerak keluar parkiran.
“Jadi gimana, berani kan naik taxi sendiri?” tanyanya lagi sebelum aku sempat menjawabnya.
“Haha, beranilah. Enak aja,” balas ku. Dia hanya tersenyum.
Mobil sudah masuk ke jalan raya. Membelah jalanan kota jakarta yang sudah mulai lengang. Tidak butuh waktu lama untuk mobil ini sampai di komplek elite tempat Gita tinggal.
“Makasih ya Ian, untuk hari ini. Aku seneng banget, hehehe,” ucapnya saat mobil berhenti di depan gerbang besar perumahannya.
“Sini bayar sejuta buat jasa nemeninnya,” canda ku. Dia nampak tersenyum.
“Kamu sudah mulai bisa bercanda ya, hehe, seperti biasa, bill kirim aja ke Papa,” jawabnya enteng.
Lalu hening. Entah mengapa aku tidak langsung keluar. Dia juga tidak mengusir ku. Aku seperti tidak mau keluar dari mobil ini. Apa mungkin dia juga merasakan hal yang sama? Tapi ini terlalu cepat
“Aku orderin taxi online aja ya?” tawarnya. Kalimatnya terasa kaku.
“Iya, boleh juga,” balas ku. Sama kaku nya.
Kemudian hening lagi.
Satu menit, dua menit, lima menit.
“Ian.”
“Ya.”
“Aku harap setelah ini kita tetap seakrab tadi. Sebelum aku pergi besok, sekali lagi aku minta maaf untuk semua yang telah aku perbuat terhadap mu.”
“Sudah dari dulu Git, tenang aja.”
“Kamu memang baik, pantes Papa selalu…eh ga jadi deng, hehehe.”
“Apaan? Pak Weily bilang apa?”
“Enggaaak,” jawabnya sengaja membuat ku penasaran.
“Apaan?”
“Rahasiaaa, weeek.”
“Jelek!”
“Bodo!”
Dia nampak bahagia sekali bisa membuat ku penasaran. Percuma aku memaksanya. Dia pasti tidak akan cerita. Kemudiam hening lagi.
“Ian.”
“Hmmm…”
“Pasti gemes, haha.”
“Biasa aja tuh.”
“Haha, Ian jelek,” tawanya.
“Kamu juga!” balas ku
“Haha, Ian, satu lagi,” lanjutnya.
“Apaan?”
“Aku selalu mendoakan mu dengan Diah, semoga Tuhan menakdirkan kalian berjodoh,”
“Aamiin, makasih Git,” balas ku. Tapi entah kenapa aku biasa saja mendengarnya. Suasana kembali kaku.
“Nanti kamu mau oleh-oleh apa?”
“Apa aja, asal ga ngrepotin.”
“Oke deh, eh kayanya dah dateng tuh taxi nya,” ucapnya saat sebuah mobil pribadi berhenti tepat di depan mobil Gita. Ah sial. Aku belum ingin pulang. Aku masih ingin ngobrol dengam Gita. Tapi, aku harus keluar. Dengan berat hati aku pamit dengannya.
“Iya, ya udah aku balik ya. Hati-hati besok. Berdoa supaya perjalanannya lancar. Dan, jangan kangen aku ya, hahaha,” canda ku.
“Iya, makasih ya. Kamu kali yang kangen,” balasnya dengan tersenyum.
“Ntar aku nyusul kalau kangen,” balas ku sekenanya. Aku sudah keluar dari mobilnya.
“Aku tunggu kalau Gitu,” balasnya. Mobilnya sudah berjalan. Aku melambaikan tangan. Gita membalasnya dengan juluran lidah. Aku tersenyum. Menatap kepergian Gita hingga mobilnya benar-benar masuk ke dalam komplek.
Gita, aku tidak mengerti dengan perasaan yang aku rasakan selama satu hari ini, semuanya terasa begitu cepat. Tapi apapun itu, aku mohon cepatlah kembali. Ucap ku dalam hati.
[Bersambung]