Merindukan Kesederhanaan Part 39
Merindukan Kesederhanaan Part 39
Sebuah Kenyataan Pahit (2)
Lega rasanya. Mirip seperti abis nahan BAB berjam-jam dan akhirnya bisa menemukan sebuah kamar kecil. Lalu kita melepaskan hajat disitu hingga tuntas. Entahlah. Susah sekali untuk diungkapkan. Tapi intinya aku merasa sangat lega setelah mengutarakan niat dan tujuan ku untuk menikah lagi. Mencari ibu baru untuk Adipati. Dan perasaan lega itu semakin membahagiakan setelah mendengar respon dari kedua orang tua ku, dan kedua mertua ku juga.
Untuk orang tua ku sendiri menyerahkan sepenuhnya keputusan ini di tangan ku. Hanya satu pesan dari mereka, bertanggung jawab atas jalan yang akan aku ambil. Sedangkan mertua ku, awalnya ibu mertua ku agak keberatan. Bukan keberatan juga sebenarnya, hanya saja menurutnya waktunya terlalu cepat. Namun kemudian bapak mertua sendiri yang meyakinkan beliau bahwa akan lebih baik bila secepatnya Adipati ada yang mengurus. Tidak berlama-lama diasuh oleh bude nya, yang tak lain adalah mba Endang.
Dan besok aku berniat mengabarkan berita baik ini ke Diah. Sekaligus menanyakan apakah dia sudah meminta pendapat kepada saudaranya itu. Dan apabila sudah, apa tanggapan dari mereka. Ya semoga saja berita baik juga.
•••
Sore ini aku sudah membuat janji dengan Diah. Aku akan mengajaknya jalan keluar. Bersama dengan Kayla juga kalau mau. Mungkin kami berkeliling kota Wonosari. Atau mungkin sekedar mencari jajanan di sekitaran alun-alun. Sekedar bernostalgia dengan masa-masa enam sampai tujuh tahun yang lalu. Pasti akan sangat menyenangkan.
Aku sudah rapi dan sudah bersiap-siap untuk jalan. Jarak rumah ku dan rumah saudara Diah itu tidak sampai tiga kilometer. Naik motor pun tidak sampai lima menit. Karena hanya berbeda desa saja. Jalan kaki pun bisa bila aku ingin main ke sana.
Begitu sampai di rumah saudara nya Diah, aku di sambut oleh Kayla dan Diah sendiri yang sudah menunggu di depan rumah. Ada saudara dari Diah juga. Dan dari ekspresi bagaiamana mereka menyambut ku, seperti nya mereka sangat welcome. Ah semoga saja ini pertanda bagus. Semoga menjadi awal yang baik untuk kami berdua. Ah salah. Untuk kami berempat. Aku, Diah, Kayla, dan Adipati. Semoga.
“Jadi kita berangkat sekarang?” tanya ku pada Diah setelah kami ngobrol beerbasa-basi sebentar dengan mereka.
“Ayuk. Kay, pamit sama pakdhe budhe nya dulu,” perintah Diah pada anak semata wayangnya itu. Yang sebentar lagi mungkin akan menjadi anak ku juga.
Dan Kayla pun berjalan menghampiri pakdhe dan budhe nya itu dengan lucu nya. Sebenarnya pakdhe dan budhe nya itu bukan kakak kandung dari Diah, mereka adalah kakak sepupu Diah yang dengan baik hati nya mau menampung Diah dan Kayla untuk sementara. Sungguh mulia. Dan setelah berpamitan dengan semuanya kami pun berangkat.
•••
“Loh, kok ndak berhenti?” Diah sepertinya kaget karena kami sudah melewati alun-alun kota wonosari tapi tidak berhenti di sana seperti rencana awal.
“Siapa yang mau ke sana?”
“Loh, bukannya kita mau ke sana?”
“Siapa bilang? Aku kan mau bawa kabur kamu, hehehe,” balas ku pelan kepadanya sambil sedikit menengok ke belakang. Takut Kayla bingung kalau mendengarnya yang duduk di tengah diantara aku dan Diah.
Plaakk!!
Sebuah pukulan ringan mendarat di bahu kanan ku. Pukulan ini, membuat ku teringat dengan masa-masa pacaran dulu. Saat kami biasa jalan kemana-mana bersama menggunakan motor, dan aku yang sering menggoda nya selalu mendapatkan pukulan ringan seperti ini. Pukulan sayang pikir ku. Hahaha. Tak sadar aku malah senyum-senyum sendiri. Aku yang tiba-tiba ingin main ke bukit bintang, merubah haluan ku menuju kesana.
“Kita kemana?” tanya nya lagi.
“Ke hotel,” jawab ku makin ngaco. Dan sekarang gantian kepala ku yang di toyor nya.
“Makin ngaco yaaa…”
“Hahaha,” aku tertawa. “Kita ke bukit bintang, ndak apa-apa kan?”
“Oalaah, ngobrol dong dari tadi!”
“Hehehe.”
“Ya udah, yang bener bawa motor nya. Tapi nanti jangan malem-malem ya pulang nya, kasihan Kayla.”
“Siaaap…”
•••
Dari Wonosari, untuk menuju bukit bintang tidak lah memerlukan waktu yang lama. Paling hanya butuh waktu tiga puluh menit saja. Dan kami pun sudah sampai. Sekitar jam lima sore kami sampai. Suasana di tempat ini cukup ramai. Apalagi ini malam minggu. Muda-mudi sedang asik memadu kasih di pinggiran jalan yang terkenal dengan tanjakan Irung Petruk ini. Termasuk aku dan Diah, meskipun kami bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Hahaha.
Tempat ini sekarang semakin maju. Selain dibangunnya gapura super besar yang menjadi pintu masuk utama menuju kabupaten gunungkidul, ada juga taman serta air mancur yang asri yang menambah daya tarik tempat ini. Beberapa resto pun telah di bangung di pinggiran lereng bukit bintang ini. Bahkan, ada penginapannya juga. Daya tari utamanya tentu saja adalah, melihat gemerlap lampu malam seluruh kota Jogja yang bisa dilihat dari tempat ini.
Aku dan Diah yang sedang menggendong Kayla lalu masuk ke dalam sebuah tempat makan sederhana, bisa dibilang hanya sebuah warung makan, yang kalau tidak salah lantainya ini berupa beton yang menjorok ke arah jurang. Ngeri-ngeri juga sebenarnya. Kalau tiba-tiba terjadi longsor maka tamat lah riwayat kami semua. Tapi pasti kuatlah ini pikir ku.
Dulu, biasanya aku dan Diah selalu memilih tempat terbuka yang hanya berupa pagar pembatas antara jalanan dengan jurang. Rasanya, selain lebih terbuka, juga lebih murah meriah. Ekonomis. Namun sekarang karena kami membawa Kayla, rasanya terlalu beresiko kalau di sana. Maka warung makan ini menjadi pilihan kami.
Warung makan ini menyediakan menu jajanan yang cukup beragam. Roti bakar, jagung bakar, mie instan, dan beberapa makanan lainnya. Minumannya, ada kopi, susu jahe, teh manis, dan minuman ringan lainnya. Sederhana, tapi kami menikmatinya. Karena yang terpenting adalah bukan ‘kemana’ nya, tapi dengan ‘siapa’ nya. Mungkin terdengar naif, tapi ya seperti itu lah yang kami rasakan.
Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, yang menghadap langsung ke arah kota jogja, aku lalu memanggil yang punya warung. Aku memesan satu jagung bakar dan segelas jahe susu. Sedangkan Diah memesan seporsi roti bakar dan jahe susu juga.
“Jadi gimana?”
“Baru juga nyampe, langsung to the point aja kamu.”
“Hehehe, ndak salah kan?”
“Endak kok.”
“Lalu?”
“Mas Iqbal dan mba Irma setuju-setuju saja, yang penting itu pilihan ku sendiri. Dan, yang penting aku bisa bahagia. Yang penting kamu bisa membahagiakan ku.”
“Alhamdulillah kalau mereka mendukung.”
Jujur aku sangat lega mendengarnya. Itu arti nya kedua belah pihak dari keluarga kami sama-sama mendukung. Jika tidak ada halangan, artinya tinggal menunggu waktu saja kami bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius.
“Paklek Kusuma dan bulek Tyas sendiri gimana?”
“Sama, mereka juga mendukung saja, yang penting aku bertanggung jawab dengan pilihan ku.”
“Mertua mu?”
“Sama, mereka juga juga mendukung. Tapi mereka sih sepertinya lebih karena supaya ada yang merawat Adipati.”
Diah nampak lega dengan jawaban yang aku berikan. Sempat tersenyum juga wajahnya namun hanya sebentar karena kemudian senyuman itu surut lalu terdiam. Seperti ada yang sedang dipikirkannya. Kenapa?
“Kenapa?”
“Ndak…”
“Bohong…”
“Beneran…”
“Bohong. Kalau ada yang pengen kamu omongin, sekarang…”
“Hmm…itu…”
“Kamu keberatan merawat Adipati?”
“Endak kok, beneran bukan karena itu.”
“Terus karena apa?”
“Aku bingung ceritanya gimana…” jawabnya dengan lesu. Sangat lesu. Sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan dari wajahnya.
“Secepatnya aku akan melamar mu, mewujudkan mimpi dan angan kita dulu, tapi kenapa kamu kayanya ndak bahagia gitu? Malah seperti kaya ada beban. Ada apa?”
“Kamu yakin mau melamar ku?”
Pertanyaan yang aneh pikir ku. Aneh karena ditanyakan sekarang. Saat kita sudah sangat dekat. Hampir tidak ada lagi penghalang yang memisahkan kami. Lalu kenapa Diah malah bertanya seperti itu?
“Yakin. Kenapa kamu malah jadi ragu seperti ini sih?” aku menjawab pertanyaan Diah dengan sedikit kesal. Tentu saja. Ini yang aku harapkan sejak dulu, sebelum pernikahan ku dengan Ayu tentu nya, dan kita sekarang berada di titik yang sangat dekat dengan tujuan itu, kenapa dia jadi ragu?
“Sebelum kamu benar-benar akan melamar ku, aku mau cerita sebuah rahasia. Eh tapi bukan rahasia juga sih, karena kan kita udah lama banget ndak punya kesempatan untuk dekat seperti ini lagi.”
“Rahasia?”
Diah tidak langsung menjawab. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Menatap jauh ke arah kota jogja sana. Metatap ku lagi. Kemudian beberakali menanggapi pertanyaan lucu Kayla tentang tempat ini. Lalu menatap ku lagi.
“Apa kabarnya Gita, Ian?”
“Gita?”
“Iya, Gita Ratna Puspita…”
“Kamu kenal dia?”
“Kenal, tapi ndak kenal-kenal banget. Kami cuma pernah bertemu dua kali aja.”
“Kapan?”
“Beberapa bulan setelah aku di jodohkan dulu. Waktu kamu tidak bisa menepati janji mu yang pertama, yang kamu bilang mau pulang untuk menemui bapak.”
“Hah? Jangan bercanda ah!”
“Aku serius, Gita menemui ku waktu itu.”
“Untuk apa dia nemuin kamu? Waktu itu aku…”
“Ndak usah di ceritakan, kamu abis kena musibah kan? Aku sudah tau semuanya dari Gita.”
Aku lalu teringat dengan momen dimana Gita pamit kepada ku untuk pergi ke Australia. Kalau tidak salah waktu itu memang aku abis kena musibah yang di hutan itu. Apa waktu itu sebenarnya dia tidak ke Australia, tapi ke jogja? Iya. Pasti dia ke jogja. Pantas saja setelah kepulangannya waktu itu, saat dia mendorong ku untuk memperjuangkan Diah, dia seperti tau semuannya. Dan bodohnya aku, aku cuek saja darimana dia bisa tau.
“Gita cerita semuanya?”
“Iya, termasuk bagaimana terpukulnya kamu karena tidak bisa pulang. Bagaimana frustasinya kamu karena tidak bisa memperjuangkan ku.”
“Ya Tuhan, Gita…”
“Awalnya aku tidak percaya, tapi Gita terus meyakinkan ku hingga aku yakin kepadanya tidak ada untungnya juga bagi dia untuk berbohong kepada ku.”
“Gita…”
Aku tertunduk lesu setelah mendengar mengetahui kenyataan ini. Dulu, dari Ayu aku mendengar apa yang sudah Kiki lakukan untuk ku. Sekarang, dari Diah aku mendengar apa yang sudah Gita lakukan untuk ku.
“Yang mau aku tegaskan, apa kamu yakin mau memilih ku sedangkan ada wanita lain yang jauh lebih sempurna yang mencintai mu dengan tulus?”
“Tulus?”
“Kamu meragukan Gita?”
“Enggh…”
“Dia sendiri yang cerita kalau dia sebenarnya juga sayang sama kamu, tapi itu sebelum dia tau tentang diri ku. Namun kemudian dia memilih untuk mundur dan mengusahakan segala cara agar perjodohan ku batal. Untuk apa? Ya agar kamu bisa balik sama aku…”
“Segala cara?”
“Ya. Dia berniat menebus mahar yang akan di berikan si brengsek itu. Namun pada akhirnya bapak tetap dengan keputusannya. Setelah itu, akhirnya aku yang gantian memintanya untuk menggantikan posisi ku. Tapi sepertinya kamu masih belum bisa melupakan ku. Kamu mengabaikan Gita. Haha. Jujur, aku sangat senang dengan keteguhan hati mu itu. Tapi aku juga tidak sepenuhnya bahagia. Kenapa? Karena aku juga mau kamu bahagia, dan aku yakin Gita adalah wanita yang pas untuk mu. Aku mau kalian bahagia. Aku sempat akan menyampaikan ini langsung kepada mu, tapi Gita melarang. Katanya, ndak asik lagi kalau kamu menerima nya hanya karena aku yang meminta. Katanya begitu. Lalu akhirnya entah bagaimana ceritanya kamu malah menikah dengan mba Ayu. Tapi aku ndak menyalahkan pilihan mu itu sih. Kamu bebas memilih siapapun wanita yang akan jadi pendamping, karena kita kan waktu itu…”
“Aku…”
“Jujur, apa kamu sudah yakin akan memilih ku? Dan akan terus mengabaikan Gita?”
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
“Yakin.”
“Dengan mengorbankan perasaan Gita? Wanita yang rela mengorbankan perasaannya untuk mu, dan untuk ku juga?”
“Sebenarnya ada satu hal yang mungkin belum kamu tau,” balas ku.
“Yang aku belum tau?” balas nya.
“Ada satu masalah yang terjadi diantara kami. Sebuah kesalahpahaman antara aku dengannya. Meskipun tanpa kesalahpahaman itu belum tentu juga aku akan memilihnya. Dan lagi pula, Gita sudah tidak di Indonesia lagi.”
“Dimana?”
“Sudah pindah ke Australia.”
Diah nampak terkejut dengan jawaban ku. Berarti dia memang belum tau.
“Apa tidak bisa di usahakan lagi? Kita bisa saja menghubunginya kan?”
“Tidak. Yang aku mau sekarang hanyalah kamu,” jawab ku dengan tegas.
Diah nampak berat dengan keputusan ku. Meskipun sepertinya tidak akan menolak, namun sepertinya dia masih sangat menjaga perasaan Gita.
“Baiklah. Kalau memang itu keputusan mu. Aku senang. Aku bahagia. Meskipun aku juga merasa tidak enak hati pada Gita. Tapi paling tidak aku sudah menceritakan apa yang sudah dia lakukan demi kamu. Dan aku yakin dia melakukannya setulus hati. Baiklah. Kalau memang itu kemauan kamu. Aku akan menerima mu. Dan aku akan menunggu lamaran mu.”
Ya, aku sudah yakin. Dan aku sudah mantab dengan keputusan ku. Meskipun sekali lagi aku mendapati sebuah kenyataan yang pahit. Dimana salah satu sahabat wanita ku yang satu lagi, melakukan banyak hal untuk ku. Tapi, bukan kemauan ku kan bila mereka berdua yang menginginkan ku. Aku bukan lah seorang laki-laki sempurna. Bahkan aku sendiri merasa tidak pantas untuk mereka. Tapi kenapa harus jadi seperti ini?
•••
“Dari mana mas?” tanya Binar yang duduk di teras rumah begitu melihat aku tiba di rumah. Ini anak jam segini belum tidur ya? Eh tapi baru jam sepuluh juga sih.
“Jalan-jalan dong…”
“Ngapel?” lanjutnya lagi yang lebih terdendar seperti sebuah sindiran. Setidaknya aku mendendarnya seperti itu. Pertanyaan lanjutannya tadi seperti sebuah sindiran.
“Kamu nyindir?”
“Enggak…”
“Halaaah…”
“Bener kan? Abis ngapelin mba Diah?”
“Kalau iya kenapa?”
“Ya ga apa-apa juga…” balasnya santai. Aku lalu memasukan motor ke dalam rumah. Setelah selesai aku lalu menghampiri adik ku itu.
“Belum tidur de?”
“Liat sendiri kan?”
“Lagi datang bulan ya, hehehe?” tanya ku iseng menanggapi balasannya yang judes itu. Matanya langsung melotot ke arah ku. Tapi lucu. Dan kemudian kembali melihat ke layar HP nya.
“Oh iya ya, lagi LDR an…” lanjut ku dengan jahil nya.
“Rese banget sih!!”
“Tapi bener kan? Lagi LDR an sama kang mas Endra?”
“Udah tau nanya!!”
“Hahaha, beneran lagi sensi nih. Masuk aja ah.” balas ku sambil berlalu di depannya dan mengacak-acak rambut panjangnya.
“Mas!! Iiihhh…reseee banget!!” omelnya sambil berusaha memukul tangan ku namun tidak kena karena aku sudah menghindar duluan.
“Hahaha…” aku tertawa dan kabur meninggalkan nya.
“Mas…” panggilnya lagi begitu aku tepat berada di depan pintu.
“Apa lagi?” balas ku sambil menoleh.
“Siniii…” panggilnya dengan gemas. Apa sih maunya ini anak? Aku pun menghampirinya dan duduk di samping nya.
“Apaan?”
“Tadi abis dari mana sama mba Diah?” tanya nya dengan santai, tapi terdengar seperti seorang detektif. Sedangkan pandangannya masih lurus ke arah layar HP nya.
“Kenapa? Tumben-tumbenan kepo in mas?”
“Ga kenapa-kenapa. Ya elah tinggal kasih tau aja…”
“Ada yang aneh sepertinya,” balas ku lagi sambil berusaha melirik ke arah layar HP nya. Namun entah kenapa tiba-tiba dia langsung menutup layar HP nya dan menyembunyikannya dari ku.
“Apaan tuh? Kok pake di tutupin?”
“Apaan sih!! Mau tau aja! Chatingan doang kok sama Endra.”
“Biasanya kamu ga pernah nutup-nutupin apapun tentang Endra ke mas? Hayo ada apa?”
“Jangan ngalihin pembicaraan deh! Mas tadi abis jalan dari mana sama mba Diah?”
“Kamu kok jadi kaya ibuk-ibuk sih?”
“Ya calon ibuk kan?”
“Hehehe, iya sih…”
“Jadi?”
“Hmm…dari bukit bintang doang. Makan, sama Kayla juga kok.”
“Hahaha,” tiba-tiba Binar tertawa.
“Kenapa?”
“Jauh-jauh dari jakarta maennya ke bukit bintang doang,” ejeknya.
“Biarin. Deket, murah meriah. Dari pada kamu malem mingu ngendon aja di rumah.”
“Namanya juga jarak jauh. Nanti juga ada saatnya kami akan bersama, hahaha,” Binar tertawa dengan kalimatnya sendiri.
“Aseeek daaah, gaya banget.”
“Ade nya ngomong positif bukannya di support malah di katain!”
“Hahaha, iya-iya. Jadi, nanti setelah lulus mau langsung ke pelaminan nih?”
“Entahlah, tergantung mas Endra sih. Kalau dia udah siap kenapa enggak? Aku mah cewek ngikut aja. Tapi kalau dia belum siap ya aku ga akan nuntut. Mungkin aku kerja setahun atau dua tahun dulu juga ga apa-apa.”
“Luar biasa emang ade nya mas yang satu ini…”
“Yang satu? Emang cuma satu kan?”
“Hahaha, iyaaa. Jangan kaya mas, lulus langsung nikah.”
“Itupun juga karena…” lanjutnya kemudian berhenti.
“Iya, kamu sudah tau kan. Kesalahan terbesar dalam hidup mas.”
“Ndak apa-apa, seenggaknya mas Ian mau bertanggung jawab.” lanjutnya dengan sebuah kalimat pembenaran. Entah, apakah kesalahan yang sudah aku lakukan dulu itu bisa di benarkan dengan pernikahan ku dengan Ayu.
“Terus, sekarang gimana dengan mba Diah?” tanya nya.
“Apanya yang gimana?”
“Ya kelanjutannya. Mau lanjut?”
“Masih mengalir sih, ikutin arus aja. Yang jelas, aku semalem sudah ngomong sama bapak ibu, dan orang tua almarhum mba Ayu, mereka setuju.”
“Jadi beneran?”
“Masih ngikutiin arus deee, ndak tau bakalan gimana kedepannya. Tapi mungkin dalam waktu dekat kita akan berkunjung ke rumah sodara mba Diah.”
“Ngapain?”
“Melamar nya lah.” Binar langsung menoleh setelah mendengar kalimat terakhir ku.
“Serius?”
“Ya iya lah.”
Entah apa yang di pikirkannya, namun Binar nampak seperti kehabisan kata-kata untuk membalas kalimat ku.
“Oh.”
“Kok gitu tanggepannya? Kenapa?”
“Ga kenapa-napa…”
“Kamu, ndak suka ya?”
“Enggak, biasa aja.”
“Bohong.”
“Serius. Hanya…” binar manggantung kalimat nya.
“Apa?”
“Apa mas udah yakin?”
“Kamu mau nanya sampai berapa kali pun jawaban ku tetep sama, mas udah yakin.”
“Tapi kan mas?”
“Kenapa? Bicara yang jelas. Kalau ndak suka ngomong aja ndak apa-apa.”
“Enggaaak, aku ndak bilang ga suka, tapi…tapi…”
“Apaan sih de? Nda biasanya kamu tertutup gini sama mas.”
“Susah ngomongnya.”
“Tinggal bilang aja.”
“Iya sih.”
“Ya udah ngomong.”
“Tapi mas jangan marah ya.”
“Iya.”
“Jangan tersinggung juga!”
“Apaan sih?”
“Ehm…itu…anu…menurut ku…mas itu bisa dapet yang lebih baik dari mba Diah. Maaf…”
“Maksud kamu?”
“Tuh kan…”
“Maksud kamu Diah kurang baik?”
“Bukan gitu mas…mba Diah baik kok. Aku juga udah lama kenal sama dia, tapi…”
“Aku pikir kamu udah cukup dewasa de, ternyata belum…” balas ku dengan kesal. Maksudnya apa bilang aku bisa dapet yang lebih baik? Emangnya Diah masih kurang?
“Iiihhh…dengerin dulu! Maksud ku tadi tuh mas bisa dapet yang lebih baik, kenapa mesti mba Diah? Tapi itu bukan berarti mba Diah jelek.”
“Dengan kata lain kamu menganggap mba Diah masih kurang kan?”
“Yaaa, kalau ada yang lebih baik kenapa enggak?”
“Ati-ati kalau ngomong, entar kalau Endra nyari yang lebih baik daru kamu baru tau rasa kamu,” ucap ku balik menasehatinya.
“Eh, jangan dooong…”
“Makanya, belajar menerima orang lain apa adanya!”
“Aku menerima mas Endra apa adanya.”
“Tapi kamu ga menerima mba Diah apa adanya. Eh tunggu-tunggu! Kamu kenapa tiba-tiba ngebahas ini deh? Pake bilang ada yang lebih baik segala? Kamu?”
“Apa?” tanya nya balik.
“Ya kenapa?”
“Enggak…”
“Bohong.”
“Terserah!”
“Pasti karena mba Gita, iya kan?” tanya ku menyelidik.
“Itu tau! Kalau iya kenapa?”
“Gita udah tinggal kenangan!”
“Dan itu semua karena mas Ian. Karena mas Ian mba Gita pergi.”
“Heh, tau apa kamu?” tanya ku dengan suara agak keras. Hampir membentaknya.
“Semuanya. Bahkan yang mas ga tau pun aku tau! Puas?” balas Binar tidak kalah keras. Saat ini aku hanya berharap semoga orang rumah sudah pada tidur dan tidak ada yang denger. Binar tiba-tiba bangkit dan berjalan meninggalkan ku dengan tatapan judes nya.
“Mau kemana? Kita belum selesai ngomongnya.”
“Ga ada yang perlu diomongin lagi. Mas sendiri yang bilang kalau mba Gita tinggal kenangan kan?”
“Ini kenapa malah jadi gini sih?”
“Tanya tuh sama hati mas sendiri. Itu juga kalau mas masih punya hati. Cowok emang ga pernah peka!”
“Bin? Binar?” panggil ku pada nya. Namun sia-sia, anaknya mengabaikan ku dan tetap masuk ke dalam rumah. Halaah. Ini apa coba? Harusnya kan aku yang marah. Kenapa malah dia? Kayanya beneran lagi PMS. Tepok jidat.
Tapi dia tadi sempet bilang kalau tau semuanya? Apa iya? Kalau memang iya, dia tau nya sebelum atau sesudah Gita pergi ya? Kalau misal sesudah berarti mereka masih berkomunikasi sampai sekarang. Ah entahlah. Mending tidur saja.
•••
Aku bangun pagi ini agak siangan. Sudah jam sembilan lewat. Ah ini sih bukan bangun pagi namanya. Tapi bangun siang. Apapun lah ga penting karena ada yang aneh rasanya. Biasanya kalau aku di rumah gini, Binar selalu membangunkan ku. Tapi pagi ini tidak. Dia pasti masih marah kepada ku.
Sampai detik ini sebenarnya aku masih bingung kenapa Binar sampai segitunya dengan Gita. Aku jadi mikir, apa dia jadi seperti ini karena mendapat pengaruh dari Gita? Kalau iya, berarti mereka masih berkomunikasi. Kalau begitu, apa mungkin Gita sebenarnya tidak ke Australia? Bila dulu saja dia bisa berbohong, kemungkinan itu sekarang pasti ada juga.
Entahlah. Tiba-tiba firasat ku mengatakan kalau Gita sebenarnya berada tidak jauh dari kami semua. Tapi dimana? Dan untuk apa dia menghindar? Apa aku harus ketemu pak Weily? Ah kapan-kapan mungkin aku harus mengajaknya ketemuan, sekalian untuk bersilaturahmi.
Setelah selesai packing barang yang akan aku bawa nanti, siang ini aku habiskan untuk bersantai-santai. Aku baru akan berangkat ke jogja, ke bandara maksud nya, sore hari karena aku mengambil penerbangan malam. Tidak lupa aku menanyakan kabar Adipati ke mba Endang. Dan tadi juga sempa melakukan video call untuk melihat wajahnya yang imut dan lucu itu. Hahaha. Kadang suka masih belum percaya kalau inget aku sudah punya seorang anak jagoan yang ganteng.
Aku duduk di bale yang ada di teras rumah. Menikmati angin yang semilir. Tempat ini biasa di gunakan bapak untuk bersantai di siang hari. Biasanya setelah selesai mencari pakan ternak, beliau akan tidur siang di sini. Agak usang, namun nyaman kalau digunakan untuk rebahan.
Beberapa lama aku duduk di sini, beberapa kali pula Binar lewat di dekat ku. Aku memperhatikannya. Dan dia masih tetap mengacuhkan ku. Hahaha. Tipikal seorang wanita. Gede ambegan nya. Mirip…seseorang, Gita. Pantes.
“Apa lihat-lihat?”
“Ah, enggak,” hahaha. Aku malah jadi nggak konsen sendiri melihat adik ku ini. Cantik sih, pinter, rajin pula. Ga nyangka sekarang sudah segede ini. Meskipun manja dan ngambeg nya kadang masih kumat. Tapi masih wajar.
“Kok ngeliatinnya gitu? Ndak pernah lihat cewek cantik bersih-bersih rumah ya?”
“Hahaha, pede…”
“Biarin!”
“Hahaha. Bin, sini mas mau ngomong.”
“Apaan?”
“Sini…”
“Kalau soal mba Diah, terserah mas aja. Tapi mas udah tau kan pendapat ku gimana?”
“Yah kok gitu?”
“Namanya juga pendapat. Mas mau ambil keputusan apa itu terserah mas.”
“Hmm…Tapi aku sudah terlanjur ngomong sama mba Diah semalem…”
“Ya udah, jalanin lah. Laki pantang narik omongannya kan? Kok mas jadi ragu gitu? Jangan cuma karena aku terus mas jadi berubah pikiran.”
“Iya. Tapi kamu nya juga jangan judesin mas gitu terus. Kamu itu salah satu orang yang paling berharga di hidup mas. Kalau kamu ga suka mas juga jadi ga enak.”
“Halaaah, gombal banget,” sangkal Binar dengan jutek sambil menonjok dada ku pelan. Tapi kemudian tersenyum.
“Bener. Jujur, mas sayang banget sama kamu. Apapun akan mas lakuin demi kamu. Tapi kalau masalah yang satu ini, urusannya hati. Kamu juga ga mau kan kalau misalnya, amit-amit Endra suka sama kamu karena terpaksa?”
“Iya sih.”
“Makanya…”
“Tapi mas…”
“Apaan?”
“Ah enggak.”
“Apaan?”
“Enggak jadiii…”
“Apaan?” tanya ku lagi sambil berusaha menggelitikinya.
“Hahaha, aaww…geli maass…”
“Makanya apaan?”
“Engh…engh…enggak…cuma mau bilang kalau mudah-mudah mas berjodoh sama mba Gita, Hahaha.”
“Hahaha…kalau dua-dua nya kamu setuju ndak?”
Binar tiba-tiba berhenti tertawa dan menatap ku dengan tajam.
“Halaaah, ndak usah sok jadi player. Aku tau mas itu paling ndak bisa mendua. Dari mba Diah aja ga move on move on.”
“Hahaha, ya abis gimana?”
“Yaaa, bagus sih. Untung kemarin sempet sama mba Ayu, meskipun…eh mas, itu gimana ceritanya sih? Hihihi,” tanya Binar dengan geli.
“Apanya yang gimana?”
“Ya itu, mas sama almarhum bisa…”
“Husssh! Masih kecil kamu. Belum ngerti gitu-gituan!”
“Enak aja! Udah dua puluh satu tahun ini!”
“Hahaha, tetep aja kamu itu masih ade kecil mas yang paling lucu dan gemesin,” ucap ku sambil merangkul pundaknya dan mengacak-acak rambutnya.
“Dan cantik juga kan…?”
“Hahaha, iya siiih.”
“Hahaha.”
•••
Sebuah kebetulan yang tidak di sengaja. Kemarin aku berencana menemui pak Weily untuk menanyakan kabar tentang Gita. Dan malam ini aku malah bisa langsung bertemu dengannya. Entah dia dari mana, tapi kami berpapasan di dalam bandara. Setelah aku tanya, katanya abis dari hunting barang antik. Dan kami langsung memutuskan untuk makan malam dulu di salah satu restoran di sini.
“Sudah biasa naik pesawat nih sekarang?” candanya sambil tertawa.
“Hahaha, alhamdulillah ada kemajuan pak. Masa mau gitu-gitu aja,” balas ku.
“Ya bagus. Kerja dimana sekarang?” tanya nya lagi sambil memperhatikan ku dari atas hingga bawah. Mungkin memperhatikan perubahan-perubahan dari penampilan ku sekarang. Yang memang sedikit berbeda dengan yang dulu.
“Di salah satu BUMN pak.”
“Keren dong ya.”
“Alhamdulillah pak, bisa untuk beli tiket pesawat kalau mau mudik, hahaha.”
“Hahaha. Ga perlu pegel-pegelan semaleman lagi sekarang. Oiya aku denger kamu abis kena musibah ya? Istrimu…”
“Iya pak, istri saya…” balas ku dengan lesu.
“Aku turut berduka cita.”
“Ndak apa-apa pak. Makasih.”
“Terus sekarang anak mu kamu rawat sama siapa?”
“Mba Endang pak. Sekarang saya juga tinggal lagi di rumah mereka. Di sawangan. Main-main lah pak.”
“Oh gitu. Kamu yang ga pernah main. Pintu ruman ku masih terbuka lebar lho untuk mu.”
“Hehehe, maaf pak. Sibuk di kantor, maklum karyawan baru. Tapi insyaalla kapan-kapan saya main. Kalau ada porselen yang mau dibikinin hardcase lagi, hahaha,” canda ku mengenang kerja sama ku dengan bapak yang satu ini dulu.
“Hahaha, udah ga pantes kamu sekarang bikin hardcase. Udah kerja kantoran gitu. Ga apa-apa sibuk. Mumpung masih muda harus rajin. Sambil dikit-dikit nyari muka ke atasan itu wajar.”
“Hehehe. Iya pak. Eh pak, ehm anu…”
“Ya? Kenapa?”
“Itu mau nanya sesuatu, tentang…”
“Gita?”
“Hahaha iya. Tapi ndak ada maksud lain lho pak. Cuma pengen tau kabarnya aja.”
“Hahaha. Kamu itu. Masih aja malu-malu.”
“Hehehe.”
“Kabar Gita baik.”
“Sekarang dimana?”
“Ya masih di Australia.”
“Ndak pernah pulang gitu?”
“Pernah…”
“Hah? Kapan?”
“Natal tahun lalu.”
Deegghh!!!
Natal? Itu berarti tidak lama sebelum pernikahan ku. Berarti bener apa yang dikatakan Binar. Masuk akal kalau dia benar-benar melihat Gita. Atau jangan-jangan sebenernya mereka malah ketemuan? Entahlah.
“Berapa lama itu pak si Gita pulang nya?”
“Semingguan. Tapi dia tidak nginep di rumah. Cuma sekali doang nemuin aku ke rumah.”
“Jadi udah baikan nih ceritanya?”
“Ya begitulah. Anak itu memang aneh. Mendadak kabur. Dan mendadak balik gitu aja.”
“Kalau udah balik, dan baikan, kenapa ga ngabarin saya ya?”
“Udah baikan sama aku, tapi sama kamu belum.”
“Lah? Kok bisa begitu?”
“Ya aku kan bapak nya, kamu siapa? Hahaha, canda lho…”
“Hehehe. Iya ya. Ya bagus lah kalau begitu. Saya ikut seneng denger nya, paling ndak sama bapak sudah baik, saya mah siapa?”
“Hahaha, kamu kecewa ya?”
“Hahaha, dikit pak. Kita kan udah sahabatan hampir empat tahun waktu itu. Nyesek aja ending nya ndak enak.”
“Yaaa wajar sih.”
“Eh anu pak, saya boleh minta kontak nya?”
“Lebih baik jangan. Kamu ga usah nghubunginya lagi. Bukan karena aku melarang mu ya. Tapi dia sendiri yang minta. Kamu ga mau kan kalau dia ngamuk-ngamuk lagi gara-gara aku ga nurutin mau nya?”
“Eh i-iya pak. Nda usah kalau gitu. Saya ga mau bapak sama Gita ada masalah lagi.”
“Sebenernya aku dulu seneng-seneng aja kamu deket sama Gita. Tapi sayang nya kita membicarakan sesuatu hal yang baik di momen yang kurang tepat. Eh ngomong-ngomong, gimana kabar temen kamu itu? Siapa? Kiki ya? Dan yang cowok itu, Do-ni ya?”
“Hahaha, iya pak, Doni. Kabar nya sih baik pak. Kalau Kiki sekarang lagi S2 di Kairo.”
“Kabarnya?”
“Iya, kami ga kontak-kontak kan lagi. Ada hubungannya sama kejadian malam itu juga. Dia juga ngerasa di bohongi dan paling enggak terima karena Gita yang jadi korbannya.”
“Gita?”
“Iya, sebenernya Doni lebih deket dengan Gita dari pada saya dengan Gita. Makanya dia marah banget dan ga terima…”
“Oohh gitu.”
“Ya gitu lah pak. Nyesek deh pokoknya kita jadi sendiri-sendiri kaya gini. Tapi saya masih tetep seneng kok sekarang, paling tidak bapak sama Gita udah baikan lagi. Itu yang paling penting bagi saya.”
“Ya, positif nya sih itu. Terima kasih. Kamu sudah merubah Gita dulu.”
“Saya tidak merubah nya pak. Saya hanya kebetulan saja waktu itu nolongin dia, dan mungkin dari situ dia berubah dengan sendirinya. Seperti yang sudah pernah saya katakan, meskipun sangat kecil, saya percaya tidak ada orang yang benar-benar jahat. Pasti masih ada sedikit kebaikan di hatinya, meskipun dikit.”
“Iya, aku juga percaya dengan itu. Tuhan Yesus memberkati mu.”
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin BanyakCerita99
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Pembaca setia BanyakCerita99, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)BTW yang mau Mensupport Admin BanyakCerita dengan Menklik Gambar Diatas dan admin akan semakin semangat dapat mengupdate cerita full langsung sampai Tamat.
Terima Kasih 🙂