Merindukan Kesederhanaan Part 40
Merindukan Kesederhanaan Part 40
Yang Di Depan Available Loh…
Pagi ini aku beraktifitas seperti biasanya. Bangun pagi. Menyempatkan diri menggendong dan menyusui Adipati walau cuma sebentar. Susu dari botol tentu nya. Karena susu dari calon ibu baru nya belum dapet. Yang bakal jadi susu bapaknya juga tentunya. Susu nya Diah? Astaga, masih pagi. Hahaha. Mending siap-siap dan berangkat kerja aja.
Senin pagi akan selalu menjadi saat-saat yang paling menyebalkan. Bagaimana tidak? Entah mengapa para pengguna jalan seperti habis membelah diri menjadi dua atau tiga bagian hingga membuat kemacetan ada di mana-mana. Istilahnya dalam dunia biologi apa ya? Hewan yang membelah diri? Hermafrodit? Mungkin. Aku agak-agak lupa. Dan ya sudah lah. Resiko tinggal di Jakarta. Kemacetan seperti tidak mengenal waktu dan tempat.
Sampai di kantor, saat masuk ke lobi, aku melihat seorang wanita seusia ku atau mungkin lebih muda sedang duduk di sofa untuk visitor. Aku tidak yakin dia lebih muda karena banyak yang bilang wajah ku sedikit ‘boros’. Jadi bila di antara kami berdua disandingkan aku yakin orang akan menganggap ku lebih tua, meskipun kenyataannya belum tantu. Lagi pula ga ada orang yang kurang kerjaan juga sih yang mau repot-repot menyandingkan kami berdua.
Saat aku menatap ke arah wanita muda itu, dia tersenyum kepada ku. Entah perasaan ku saja atau bukan, si wanita hendak menyapa ku, namun aku sudah buru-buru malingkan pandangan ke depan dan berjalan melewatinya. Aku kaya mengenalnya. Siapa ya? Apa aku dan dia saling mengenal? Tapi wajahnya ga asing sih. Sebentar? Itu kan? Aku lalu berbalik dan menghampiri nya.
“Mba Farah?” tanya ku.
“Mas Ian? Bener mas Ian kan?” tanya nya balik.
“Hah? Ngapain di sini?” tanya ku lagi. Dan kami saling bertanya tanpa ada yang menjawab.
“Aku? Wawancara, hihihi. Mas Ian gawe di sini yak?”
“Iya, aku kerja di sini sejak pindah dari tempat kita yang dulu. Owalah, wawancara toh…kirain siapa tadi pagi-pagi dah disenyumin wanita cantik aja, hehehe,” canda ku. Sekarang aku duduk di samping nya setalah selesai berjabat tangan dengan nya. Wangi banget parfumnya.
“Hihihi, mas Ian bisa aja deh,” balasnya sambil memukul pelan bahu kanan ku. “Oiya mas, aku turut berduka cita atas meninggalnya mba Ayu,” lanjutnya berbela sungkawa.
“Iya, makasih,” balas ku sambil tersenyum pahit karena pagi-pagi seperti ini sudah teringat Ayu lagi. Tapi ya wajar sih namanya orang berempati mengucapkan kalimat bela sungkawa.
“Eh, maaf ya mas jadi buat mas Ian inget mba Ayu lagi…” ucapnya dengan nada penyesalan. Ah aku terlalu sensitif sepertinya.
“Eh, ndak apa-apa. Justru kalau aku ndak inget Ayu lagi itu sama aja aku suami yang tidak tau diri, hahaha.” tawa ku yang kemudian diikutinya. Sejenak kemudian hening. Aku memperhatikan penampilannya. Ah ini anak masih sama saja seperti yang dulu.
“Napa liatin nya gitu mas? Ada yang salah ya dengan penampilan aku?” tanya nya sambil memgamati penampilannya sendiri karena sadar aku memperhatikannya.
“Ah endak, justru kamu terlihat…ehm…apa ya? Lebih dewasa aja sih dari yang dulu,” balas ku ngeles sambil manggut-manggut. Ngeles tapi malah terdengar seperti sedang mengeluarkan sebuah jurus gombalan maut. Apa iya? Garing sih sepertinya.
“Iiih, mas Ian bisa aja deh…pagi-pagi udah muji aja…” balas nya dengan wajah yang merona. Nah kan. Hahaha. “Lagian mas sekarang lebih luwes ya ngomong nya? Dulu kayanya kaku banget, hihihi,” lanjutnya masih dengan senyum-senyum malu.
“Enggak kok, aku emang begini ngomong apa adanya, ya termasuk kamu yang memang terlihat lebih dewasa dan, anggun, hehehe.”
“Hihihi. Udah ah, ntar aku nya terbang di puji terus, hihihi. Mas Ian di bagian apa di sini?” tanya nya mengalihkan topik. Ya kalau sudah malu, wanita selalu begitu.
“Sama seperti dulu, ga jauh-jauh dari bagian keuangan. Lah kamu sendiri?”
“Ya sama juga, ga jauh-jauh dari frontliner, customer service.”
“Oh iya, aku baru inget kalau ga salah CS yang lama kabar nya memang mau resign sih, kamu mungkin yang jadi penggantinya.”
“Ya doain aja. Di sini salary nya lebih gede kan mas?”
Aku lalu membisikinya sebuah angka range gaji untuk seorang customer service di perusahaan plat merah ini yang sukses membuatnya terkejut. Dan kemudian membuatnya sangat excited.
“Waaah, lumayan banget ya.”
“Makanya, nanti pas nego gaji, tembak aja segitu. Tenang aja, segitu mah ga kemahalan,” pesan ku.
“Oooh gitu ya? Sip-sip. Makasih ya mas info nya, hehehe.”
“Lebih sip lagi kalau nanti keterima gajian pertama traktir makan, hehehe,” canda ku. Candaan standar yang sangat standar banget yang biasa dilontarkan untuk calon karyawan baru.
“Bisa di atur itu mah. Ntar aku jajanin cilok yak? Hihihi.”
“Hahaha, masih aja. tukang cilok depan kantor masih ada?”
“Masih, makin endes rasanya mas. Hehehe. Mas ga pernah main-main ke sana lagi sih. Sombong mentang-mentang sudah kerja enak.”
“Pernah kok, tapi cuma sampe depan gerbang aja dulu waktu jemput almarhum.”
“Oh ya? Kok ga pernah lihat ya mas?”
“Butuh penerawangan khusus kalau mau liat aku di sana, hahaha.”
“Hahaha, bisa aja deh si mas ini becandanya.”
“Hahaha…”
“Aku masih ga nyangka lho bisa ketemu mas Ian di sini…”
“Hehehe, iya aku juga ga nyangka. Nanti wawancara sama siapa?”
“Sama bu Irene, mas kenal?”
“Oh bu Irene. Tau orang nya aja, tapi kenal banget. Tapi setau ku enak kok orang nya. Santai aja.”
“Hehehe, iya mas…doain Farah yaah…”
“Iya pasti. Ya udah kalau gitu tak tinggal masuk dulu. Entar kabar-kabar in lagi ya.”
“Nomernya?”
“Eh iya ya, aku yang kasih noner ku atau…?”
“Mas catet nomer aku aja…”
“Berapa?”
“0812xxxxxxxx” ucap Farah sambil melihat ke layar HP nya.
“Oke, entar aku wasap ya.”
“Ga di catet? Inget emang?”
“Insyaallah inget, ya udah tinggal dulu ya…”
“Waaah hebat langsung inget, aku aja nomer sendiri ga hafal-hafal, hihihi.”
“Hahaha”
Aku dan Farah saling melambaikan tangan. Dan aku pun meninggalkannya. Buru-buru aku langsung menyimpan nomer telepon Farah sambil berjalan karena sebenarnya kalau kelamaan aku bisa lupa juga. Hehehe.
Pertemuan ku dengan Farah pagi ini membuat ku seperti merasa deja vu dengan pertemuan ku dan Ayu satu tahun yang lalu. Kebetulan, atau?
•••
Benar-benar seperti deja vu. Siang ini aku makan siang dengan Farah, dan di kantin basement. Sama persis seperti dulu aku dengan Ayu. Hanya terbalik saja posisi nya saat ini. Bila dulu aku posisi nya sebagai pelamar kerja, kini aku berposisi sebagai calon senior nya. Tapi entahlah. Aku sebenarnya tidak percaya dengan hal-hal yang seperti itu. Semua ini bisa terjadi itu karena semata-mata memang sudah di takdirkan aku akan bertemu dengan Farah.
“Mas, terus sekarang yang ngerawat…” ucap nya terhenti.
“Anak ku? Adipati namanya.”
“Iya, anak mas Ian, siapa?”
“Bude nya, alias kakak ku.”
“Oooh, beruntung dong mas punya kakak yang mau nolongin?”
“Ya alhamdulillah, kakak ku juga seneng-seneng aja ngerawat. Sudah lama pengen punya anak lagi tapi belum kesampaian.”
“Emang sekarang anaknya berapa?”
“Satu.”
“Udah gede?”
“Sepuluh tahun, cewek, nih anaknya, lucu deh,” ucap ku sambil membuka hp dan memperlihatkan foto Tiara yang sedang berpose dengan centil nya.
“Iiih lucuuu, cantik banget, manis…”
“Iya, tapi kalau sama aku rese banget.”
“Wajar.”
“Kok wajar?”
“Dia anak tunggal kan?”
“Iya.”
“Dan mas Ian deket dengan ponakan mas ini? Siapa namanya?”
“Tiara. Iya deket.”
“Pantes. Anak cewek, kalau tunggal gitu biasanya sih butuh sosok saudara kandung. Makanya dia rese sama mas Ian. Itu sih menurut ku hanya sikap cari perhatian aja dari mas. Bisa jadi juga mas itu udah di anggap nya sebagai kakak kandungnya sendiri.”
“Hahaha, bener banget sih. Aku kan setelah nikah itu sempet tinggal di kontrakan sama Ayu, tapi sekarang balik lagi ke rumah kakak ku ini, nah ini si Tiara seneng banget pas aku balik lagi ke sana bareng Adipati.”
“Sebelumnya mas Ian tinggal sama mereka ya?”
“Iya, empat tahun lebih.”
“Iya bener, mas udah di anggep kakak sendiri.”
“Kayaknya sih begitu.”
Obrolan kami terhenti karena makanan yang kami pesan sudah tiba. Nasi rames, nasi goreng, dan dua es teh manis. Kami pun mulai makan bersama. Lumayan lah makan siang ada yang menemani.
“Kalau mas sendiri berapa bersaudara?”
“Empat, aku nomer tiga. Kenapa?”
“Ga apa-apa, pengen tau aja, hihihi.”
“Kakak ku yang pertama cewek, emak nya si Tiara ini. Yang ke dua cowok, udah nikah juga, tinggal di jawa. Yang bungsu cewek, masih kuliah tingkat tiga. Di jawa juga.”
“Mas Ian jawa nya dimana?”
“Jogja,” jawab ku sambil memicingkan mata ke arah nya.
“Kenapa?” tanya nya merasa aneh. Atau mungkin risih.
“Aku ngerasa kaya lagi diinterogasi, hahaha.”
“Emang lagi aku interogasi, hihihi.”
“Untuk?”
“Ada deh…”
“Hahaha”
Lagi-lagi kami terdiam setelah sama-sama tertawa. Aku tidak tau apa yang sedang dipikirkannya namun dia nampak senyum-senyum kearah ku. Walaupun kadang juga membuang pandangan ke arah sekitar.
“Eh mas…”
“Far kamu…”
Ucapnya tiba-tiba yang berbarengan dengan saat aku juga ingin berbicara kepadanya. Kami saling pandang, lalu saling tersenyum dengan malu-malu.
“Kamu dulu deh,” ucap ku lagi.
“Mas aja dulu…”
“Ladies first.”
“Yang lebih tua duluaaan,” balasnya sambil menahan geli.
“Tau dari mana aku lebih tua?”
“Muka nya, weeek,” balasnya sambil menjulurkan lidah.
“Sialan. Hahaha.”
“Jadi, tadi mau mgomong apa maaas?” lanjutnya dengan manja. Ah suaranya kenapa jadi lembut gini? Dan, anak ini lama-lama kalau di lihat makin manis aja ya. Aduh, malah jadi ga fokus.
“Ehm, itu…cuma mau bilang kamu ndak usah panggil mas lagi, panggil nama aja.”
“Lah kenapa?”
“Ya aku ngerasa nya kita seumuran.”
“Seumuran dari hongkong! Hahaha. Emang mas kelahiran tahun berapa?”
“Delapan sembilan.”
“Hah? Serius?”
“Iyeee.”
“Bohong!”
“Mau lihat KTP ku?” tanya ku balik dengan nada sangat serius, tapi sebenarnya bercanda sih.
“Iiih mas kok seriusan ya? Orang aku cuma bercanda juga.”
“Hehehe, aku juga cuma bercanda kali, emang kamu kelahiran berapa? Kok kayanya kaget gitu?”
“Aku sembilan puluuuh, beda setahun doang ternyata, hehehe.”
“Makanya ndak usah panggil mas lagi.”
“Ya ga bisa. Tetep aja mas ini lebih senior. Tapi muka mas kaya kelahiran delapan puluh awal, hihihi.”
“Asem.”
“Hahaha.”
Kami tertawa lagi dan aku memperhatikan tawa wajahnya. Pipi tembem nya, menggemaskan. Membuat ku agak jadi gimana gitu. Farah memang memiliki postur tubuh yang agak bongsor. Aku tidak mengatakannya gemuk karena menurut ku masih proporsional. Tapi bentuk tubuh nya yang sekarang tidak bisa dibilang kurus juga. Ah kenapa aku malah memikirkan itu ya?
“Halooo, mas? Ada yang salah sama muka aku?” ucapnya sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah ku. Membuat ku jadi kaget sendiri.
“Eh, anu, endak, ndak ada apa-apa. Liat kamu kaya liat ade ku, mirip, cuma dalam versi…”
“Gemuknya?” potongnya tiba-tiba seolah mengerti maksud kalimat ku. Dan tebakannya benar.
“Bukan versi gemuk, versi chuby nya maksud ku, hehehe.”
“Halah ga usah bohong deh mas. Chuby kan istilah halus untuk gemuk.”
“Beda,” sangkal ku.
“Beda nya?”
“Kalau chuby pipi nya aja, kalau gemuk semuanya…” jawab ku spontan namun dengan tolol nya tatapan mata ku malah mengarah ke arah dada nya yang memiliki ukuran super itu. Baso super ini mah. Eh salah. Balon super. Salah. Susu super. Hahaha. Hadeh.
“Iiih, matanyaaa!!” balas Farah jutek sambil berusaha menyilangkan lengannya guna menutupi bagian dadanya yang membusung itu. Namun sia-sia. Tidak akan mungkin bisa tertutupi. Terlalu besar. Dan mungkin, terlalu kenyal juga. Hahaha. Tutup mata. Bersihkan hati.
“Hahaha, maaf!! Reflek…”
“Mesum!!”
“Ga sengaja…”
“Ga sengaja kok ngeliatin terus?” cecarnya dengan jutek namun kemudian memonyongkan bibir nya lalu tersenyum.
“Ya di depan mata, emang kamu mau kita ngobrol tapi aku ngadep ke samping, atau ke atas, atau sambil nunduk gitu?”
“Hahaha, ya enggak sih. Mana enak ngobrol begitu?” semyum nya kembali lagi.
“Jadi bukan salah ku kan?”
“Tetep salah mas Ian!”
“Kenapa?”
“Karena cowok selalu salah!! Hihihi,” ucapnya sambil tertawa geli.
“Hahaha. Malah ga jelas gini ya. Tadi ngobrolin apa sih?” tanya ku yang bingung karena arah pembicaraan kami malah menjurus ke…bukit kembar nya.
“Iya ya, tadi kita ngobrolin apaan sih mas?” tanya nya balik sambil menerawang ke atas seolah berfikir.
“Oh iya, aku tadi bilang kamu mirip ade ku, ceriwis nya mirip, cuma…”
“Dalam versi chuby nya, bukan gemuk nya,” lanjut nya. Dan aku menjentikan jari ku ke arahnya tanda setuju.
“Makasih lho mas, aku jadi terharu, eh tersanjung maksud nya, hihihi,” balasnya lagi sambil tertawa dan menutupi mulutnya dengan jari tangannya. Mirip ibu-ibu sosialita atau ibu-ibu pejabat yang menahan tawa saat sedang berkumpul bersama komunitas nya. Bisa membayangkan? Ya seperti itu.
“Tersanjung udah tamat,” sela ku.
“Hahaha, sinetron lama banget itu. Mas tau aja.”
“Ya kan kita sama-sama besar di era sembilan puluhan.”
“Iya ya, hehehe. Eh mas ada foto adenya ga? Liat dong, jadi penasaran. Pasti cantik. Namanya siapa mas? Umur nya berapa?”
“Lah banyak. Nih fotonya, namanya Binar, Binar Ayuningtyas. Umur dua puluh satu tahun. Centil, ceriwis, sama kaya kamu,” balas ku sambil menunjukan foto Binar.
“Tapi dia langsing,” timpalnya dengan lesu. “Iiih pengen banget deh punya bentuk badan kaya gini. Rahasianya apa ya?” lanjutnya sambil memandangi foto Binar dengan seksama.
“Ga ada rahasianya. Bawaan bayi itu. Orang dia makannya banyak kok.”
“Enak banget, aku udah diet kaya apa tapi ya begini maksimalnya.”
“Makanya, disyukuri aja, yang penting sehat.”
“Tapi kalau kurus peluang sehatnya lebih gede mas…”
“Tapi ada juga yang kurus punya diabet kok, kolesterol.”
“Iya sih. Iya deh di syukuri aja.”
“Nah gitu dong. Pinter.”
“Ade nya siapa dulu?”
“Emang ade nya siapa?” tanya ku bingung.
“Ade nya mas!”
“Lah? Sejak kapan?” tanya ku lagi sambil menahan ketawa.
“Iiih iyain aja sih biar seru!”
“Ga mau, ga ada perjanjian sebelumnya…entar ada jebakannya lagi, hehehe.”
“Suudzon banget…”
“Candaaa…”
“Weeek.”
“Emang kamu mau jadi ade ku?”
“Engggak mau. Ga jadi!”
“Berarti awal nya mau dong?”
“Bodo!!!”
“Hahaha, ngambeeek…”
“Auuu ah!!!”
Aku tersenyum melihat wajah lucunya yang cemberut karena mungkin kesal dengan keisengan ku tadi. Apalagi kalau membayangkan bagaimana kenyalnya pipinya yang tembem itu. Jangan di bayangkan!
“Emang kamu anak tunggal ya?”
“Enggak. Tiga bersaudara.”
“Itu punya saudara. Anak pertama ya?”
“Enggak juga, aku punya kakak kok.”
“Lah terus, kok tadi bilang kamu ade ku?”
“Ehm…kita bertiga cewek semua. Jadi yaaa gitu deh, ga ada sosok kakak atau ade cowok jadi ga ada yang mau ngalah. Suka iri-irian. Kalau punya saudara cowok kan enak. Selain kita jadi ada yang jagain, atau bisa minta anter kemana-mana gitu, hihihi, ga perlu iri-irian atau saingan gitu di rumah,” jelas nya. Masuk akal. Terkadang anak laki-laki bisa lebih cepat dewasa.
“Sian amat,” komentar ku dengan sinis.
“Sinis amat!” balas nya sewot.
“Hahaha, sensi amat!” balas ku lagi.
“Nyebelin!!!”
“Hahaha, canda Faaar,” balas ku sambil mencubit pipi tembemnya. Yang ternyata pipi itu jauh lebih tembem dari bayangan ku. Aku lalu berfikir, pipi nya aja tembem, apalagi itu nya ya? Aduh. Perlu di sapu nih otak.
“Iiih, sakit mas,” protes nya namun tidak berusaha menepis tangan ku. Hanya memberikan mimik muka sebel dan cemberut.
“Makanya…”
“Apaaa?” tanya nya dengan galak. Tapi sedikit pun tidak menakutkan. Aku lalu melepaskan cubitan ku di pipi nya.
“Cepet nikah, biar ada yang jagain, dan biar ada yang…”
“Yang apa? Mesum nih dari tadi. Ga nyangka ya mas Ian yang dulu keliatannya pendiem ternyata mesum,” ucap Farah dengan heran. Hahaha. Kan peribahasa mengatakan air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan. Tawa ku dalam hati.
“Maksud ku biar ada yang nyayangin gitu…”
“Oooh…”
“Dan membelai juga sih kalau malem, hehehe,” aku tersenyum mesum kepadanya.
“Tuh kan. Dasar omes.”
“Hahaha, emang begitu kan?”
“Iyaaa. Mas sendiri ada rencana mau nikah lagi?”
“Ehm…jujur ada. Biar ada yang ngurus Adipati juga. Cuma, belum dapet yang available aja.”
“Nih, yang di depan mas available lho, hihihi,” balas nya cepat sambil memainkan alis nya.
Semua candaan ku padanya dibalasnya hanya dengan satu tembakan. Dan tepat mengenai dada ku. Merobek jantung ku. Membuat ku susah bernapas. Lalu peluru itu menembus punggung ku. Eh, ini anak bercanda apa serius? Aku menatapnya sambil bertanya-tanya. Farahnya malah ketawa-tawa ga jelas. Gawat ini kalau sampai keterusan bisa ga jadi sama Diah lagi ini. Kacau.
[Bersambung]
Hallo Bosku, Disini Admin BanyakCerita99
Agar Admin Semakin Semangat Update Cerita Cerita Seru Seterusnya, Bantu Klik Iklan yang Ngambang ya.
Atau Gambar Dibawah INI
Pembaca setia BanyakCerita99, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)BTW yang mau Mensupport Admin BanyakCerita dengan Menklik Gambar Diatas dan admin akan semakin semangat dapat mengupdate cerita full langsung sampai Tamat.
Terima Kasih 🙂