Wanita Idaman Part 10
Wanita Idaman Part 10
REZEKI NOMPLOK
Petualangan dengan Tiwi menambah kepercayaan diriku soal berhubungan dengan wanita. Setelah kenikmatan itu, kami hanya dapat mengulang sekali dua minggu kemudian, dan itupun sembunyi-sembunyi di salah satu hotel di daerah kami bekerja. Kami belum dapat kesempatan lagi untuk bercinta. Ditambah dengan Dokter Ara yang kedatangan suaminya, aku sedikit pusing tak dapat menyalurkan birahi.
Tapi dasar setan memang bisa datang kapan saja. Aku sedang mendapatkan tugas dinas ke ibu kota. Terbang dari kota S, aku memilih pesawat jam 8 malam menggunakan maskapai singa merah yang terkenal dengan delay-nya. Apa boleh buat, waktunya yang pas membuatku tak ada pilihan lain. Seperti yang sudah diduga, pesawat yang seyogianya berangkat jam 8 itu harus tertunda. Sudah jam 9, tak ada tanda-tanda kami diminta masuk pesawat. Jengkel, aku memilih tiduran di kursi. Tak kupedulikan kapan pesawat akan terbang.
Di tengah tidur nyenyak, ponselku berdering. Shit. Sudah 9.45. Kutanya mbak-mbak di sebelah untuk memastikan apa yang terjadi.
“Mbak mohon maaf, berangkat pake pesawat ini juga?” kumulai bertanya.
Mbaknya menoleh. Dan ternyata aku mengenalnya.
“Loh, Awang. Iya, Wang. Gimana nih, katanya tadi pesawat ada masalah terus ini masih mau diganti pesawatnya nunggu yang dari Bali katanya,” ternyata wanita cantik yang kutanya adalah Rani, salah satu pegawai di perusahaanku namun dia bekerja di unit kerja lain yang masih satu kawasan dengan tempatku.
Mbak Rani, aku biasa memanggilnya jika berbincang. Kalau tak salah usianya sekitar 32 tahun, dan sudah punya 2 anak. Informasi itu kudapat dari teman-teman yg sering memperbincangkan wanita berjilbab itu. Wajahnya memang cantik dan kulit putihnya menambah nilai plus Mbak Rani. Hanya 2 anak yang telah dimilikinya menandai tubuhnya yg sedikit lebih berisi. Apalagi tubuhnya cenderung pendek, mungkin 150an senti. Tapi jelas semua kekurangan itu tertutupi parasnya yang aduhai. Apalagi kalau dilihat-lihat, tubuhnya tak telihat gemuk, leboh ke semok kalau kata orang.
Kembali ke kondisi di bandara. Kami akhirnya duduk berdampingan. Setengah jam setelah perbincangan kami, akhirnya pesawat kami meluncur. Kami jelas di tempat duduk berbeda, dan sedikit berjauhan jaraknya. Sampai di kota J, Mbak Rani menghampiriku ketika aku akan ke toilet.
“Jadi nginep di mana, Wang?” ia mengulangi pertanyaannya di bandara Kota S tadi. Bau-baunya sepik-sepikku tadi akan menemukan hasil. Semoga saja.
“Di Hotel F Mbak. Kamu gimana jadinya?” kutanya balik saja memastikan umpanku.
“Gatau nih, dari tadi
temenku tak telpon tapi nggak ada respon,” takutnya dia sudah tidur.
“Apa mau ikut aku ke hotel F? Siapa tau di sana masih ada kamar kosong?” kutembak saja, siapa tau rezeki.
“Gimana ya, Wang?” Ia nampak ragu, mungkin takut ku apa-apakan.
“Dari pada tidur di bandara sih,” aku ajak ia bercanda demi mencairkan suasana.
“Yaudah deh siapa tau ada,” kena juga Mbak Rani
Sambil jalan, ke buka aplikasi pemesanan hotel. Ingin Kupastikan bahwa tak ada lagi kamar di hotel tujuanku. Dan Voila!!! Hotelnya penuh! Nampak setan-setan sedang berasa di pihakku semua. Kita lihat saja apakah jebakanku berhasil mendapatkan umpan hari ini.
Sampai di hotel, kami menuju resepsionis, dan seperti yang sudah kuduga, hotelnya penuh. Aku tetap cek in, lalu terjadilah diskusi dengan Mbak Rani.
“Gimana mbak? Mau kucarikan hotel lain? Kayaknya sih banyak sekitar sini,” dalam prinsip yang kupelajari tentang dunia persepikan, kita tidak boleh terlihat menggebu, harus tetap menawarkan solusi yang positif.
“Gimana ya? Gara-gara pesawat nih,” Ia nampak mulai putus asa.
“Apa mau ke kamarku dulu sambil tak carikan? Siapa tahu Mbak Rani mau ke kamar mandi atau leyeh-leyeh dulu,”
“Boleh deh, sekalian numpang ke kamar mandi,” umpanku berhasil saudara-saudara.
Di kamar, ia langsung menuju kamar mandi. Sepertinya ada hajat yang ingin dituntaskan. Aku yang sudah gerah segera ganti baju dengan pakaian kebesaranku, kaos dan celana kolor.
Kudengar ada bunyi shower, sepertinya Mbak Rani langsung mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dadi kamar mandi dengan pakaian yang biasa saja. Tak ada kesan seksi ataupun tertutup rapat.
“Kalo aku tidur sini gimana Wang?” Aku kaget, ia terus terang tanpa tedeng aling-aling.
Sambil mencoba menguasai diri. Aku tersenyum.
“Ya nggak apa-apa, Mbak. Kasurnya Twin kan?” Ini yang paling tidak mendukung, aku tadi mendapatkan kamar dengan kasur tipe twin. Sialan.
“Makasih ya, Wang. Sorry lho aku ngerepotin,” ia tersenyum, wajah teduhnya bikin aku tak tahan.
Dari pada aku kian tak tahan, kuputuskan untuk mandi. Sambil berdoa ada rezeki malam nanti atau besok hari. Semoga.
Usai mandi, aku melihat Mbak Rani sudah terlelap. Nampaknya ia memang kelelahan hebat. Tadi saja ia masih pakai seragam kantor. Melihat wajahnya saat tidur rasanya ingin menerkam saja. Tali selalu kuingat pesan Dokter Ara, lelaki sejati selalu menaklukkan wanita dengan kondisi sadar dan kuat, bukan yang sedang tak berdaya apapun. Ah Dokter Ara, ia memang guru terbaik.
Menjelang subuh, aku terbangun karena kedinginan. Dengan setengah sadar, aku tak melihat Mbak Rani di ranjang. Ah, kemana dia. Sambil berusaha mengembalikan kesadaran, aku melihatnya keluar dari kamar mandi.
“Eh, Wang, bangun ya,” wajahnya acak adut, pakaiannya juga berantakan.
“Iya nih, Mbak. Kedinginan kayaknya,” aku masih didekap selimut dengan erat.
“Aku gedein ya suhunya,” aku hanya mengangguk, ia membesarkan suhu AC.
Bergegas, ia tenggelam ke dalam selimut juga. Kami tak berpandangan. Mungkin kami sedang mengumpulkan kesadaran mengapa kejadian ini bisa terjadi. Kami, yang sebelumnya tak terlalu akrab justru sedang berada di kamar yang sama. Meski beda ranjang, tak seharusnya kami ada di posisi ini.
“Aku nggak pernah berduaan di kamar selain sama suamiku, jadi maaf ya,” ia nampak malu-malu, dengan suara seraknya yang khas itu.
“Namanya juga kebetulan, Mbak. Kalau buat aku sih, rezeki,” aku berusaha melempar candaan.
“Kamu mah, seneng pasti. Apa jangan-jangan udah sering?” ia nampak menyelidik.
“Kalau sering sih nggak, tapi ya bukannya nggak pernah,” aku memasang tampang innocent, ia malah tertawa.
“Dasar ya cowok, tak pikir kamu alim, lho,” ia meledekku, kikuk juga rasanya.
“Jadi nggak enak hehe Kan aku jadi mengecawakan Mbak Rani,” kali ini kupasang wajah menyesal.
Ia melemparku dengan botol air mineral kosong. Lumayan juga kena kepalaku.
Ini pelajaran berikutnya dari Dokter Ara. Jangan munafik dan menutup-nutupi sisi bajingan jika kamu memang memiliki. Sampaikan saja, tapi dengan nada bercanda dan sesuaikan konteksnya. Ah, tak salah aku berguru pada dokter satu itu.
Kami terdiam beberapa saat. Aku tak berani memulai percakapan. Mbak Rani juga ragu-ragu mengambil inisiatif. Sesaat kemudian mata kami bertemu. Kami seperti sedang memberikan kode masing-masing. Aku tak tahu ini apa. Aku bingung. Aku menginginkannya. Hasratku juga tak kalah menggebu. Tapi aku ragu. Aku takut bertepuk sebelah tangan. Aku takut besok kami tak lagi bertegur sapa. Aku takut ini terlalu terburu-buru. Aku bimbang. Aku ragu. Tapi aku ingin.
“Aku tahu ini salah Wang. Tapi nggak tahu kenapa aku pengen coba. Mungkin buat sekali seumur hidup,” ini dia! Aku tak menyangka ia seberani ini.
Namanya dikasih umpan, salah besar jika tak menyabetnya. Kita buktikan. Seperti kata Dokter Ara, yang pertama harus selalu meninggalkan kesan. Dan usahakan yang menakjubkan.
Tak kubalas perkataannya. Aku memilih mendekat. Kupandang lagi. Ia memejamkan mata. Ia masih memakai jilbabnya. Pakaiannya masih yang tadi. Nafasnya memburu. Hangat sekali.
“Kita coba, Mbak. Aku ingin memberikan pengalaman terbaik buatmu,” aku membisikkan kalimat ini di telinganya, pelan dan dalam.
Terbuka matanya. Kami berpandangan. Cukup lama. Ia memagut bibirku. Kami berciuman. Lembut sekali.
Sungguh, ini ciuman terbaik yang pernah kulakukan. Selalu ada nilai lebih dari tiap wanita yang sudah kujamah. Dan kesan pertama dari Mbak Rani adalah ciumannya. Tangan kami tak kemana-mana, mata kami juga sama-sama terpejam. Tapi bibir kami saling tahu apa yang terbaik. Bibirnya yang berukuran sedang membuat semuanya menjadi pas.
Tak tahu berapa lama kami berciuman. Sepertinya, bibir kamu tahu kapan harus mengambil jeda. Kami berpandangan lagi. Tak ada kalimat apapun. Kami seperti tahu apa yang harus dilakukan. Aku mengambil inisiatif, bibirnya kembali kuserang. Ia menerima dengan lembut, sekali lagi. Tangannya mulai menggerayangi punggungku. Aku melakukan hal yang sama. Ia kemudian melepas jilbabnya. Kutahan. Aku ingin ia tetap memakainya, sampai waktu yang pas untuk melihatnya tanpa sehelai benang pun. Ia tak protes kami tetap berciuman. Menjelajahi rongga mulut masing-masing. Mengeksplorasi jengkal lidah masing-masing. Juga setiap sudut bibir. Aku mulai melepaskan kancing kemeja longgarnya satu per satu. Ia memberi jalan. Dan membantunya. Tak butuh waktu lama, tinggal bra yang membungkus payudara. Ukurannya cukup menantang, meski sudah 3 mulut yang menikmatinya. Tanganku melanjutkan tugasnya. Kami masih tanpa kata-kata, kecuali desahan yang bersahut-sahutan.
Mendarat di gunung kembar milik Mbak Rani, aku merasa jantungnya berdegup terlampau cepat. Ini jelas perpaduan birahi dan rasa takut akan perbuatan yang telah menyimpang dari ajaran agama juga komitmennya sebagai seorang istri. Tapi aku yakin, syahwat birahi telah mengalahkan segalanya. Aku melepaskan ciumanku, kupandang ia dengan senyum terbaik. Dan ia membalas senyumku. Ia benar-benar ingin merasakannya. Mungkin selama ini ia penasaran bagaimana rasanya berhubungan dengan lelaki lain. Ini waktunya.
Aku menaiki ranjang, ia menyambutku dengan penuh penerimaan. Kami berpelukan, ia melepas kaosku. Tubuh kurus dan hitamku nampak tak sebanding dengan mulus dan putih tubuhnya. Tapi rasanya bukan itu yang dicari, ia menginginkan sensasi lain. Dan aku harus memenuhinya.
Mbak Rani kembali ingin melepas jilbabnya, dan tentu kembali kucegah. Ia tersenyum kecut namun cepat kuambil alih permainan dengan membenamkan kepalaku di tengah pusaka kembarnya. Ia sedikit berteriak, dan tertawa. Aku bahagia, ia ingin melakukan kenikmatan ini dengan bahagia. Kami bahagia. Tak kubuka branya, kujelajahi payudara itu dari pinggiran. Sedikit demi sedikit. Kukeluarkan semua jurusku. Mengantisipasi tak akan kudapatkan lagi, maka aku harus melayaninya semaksimal mungkin. Kusingkap pelan. Pelan sekali. Ia mulai menggelinjang. Satu tanganku bermain di areolanya. Lidahku mencari areola satunya. Kami bersatu padu.
“Waaang, aahhhh shhhhh,” sejak tadi baru kali ini kudengaria berbicara dan mendesah keras.
Kusingkap branya, kuterkam payudara bagian kiri. Kuhabisi ia dengan tempo agak cepat. Ia mulai panas. Suhu tubuhnya kian tinggi. Degup jantungnya apalagi. Kemudian pindah ke kanan. Begitu seterusnya dengan tempo cepat.
“Waaaang ohhhhh,” Mbak Rani menekan kepalaku. Aku hampir tak bisa bernapas.
Aku batuk. Ia paham. Diberinya aku jeda. Kuangkat kepalaku. Kupandang lagi matanya. Ia nampak memasang mimik menyesal. Lalu diciumnya bibirku pelan.
“Maaf ya. Aku belum pernah dibuat kayak gitu, jadi keenakan,” ia jujur dengan muka polos. Ini yang kusuka.
Kemenangan sudah kian nampak. Semoga saja Si Johny bisa diajak bekerja sama.
Bersambung
Pembaca setia BanyakCerita99, Terima Kasih sudah membaca cerita kita dan sabar menunggu updatenya setiap hari. Maafkan admin yang kadang telat Update (Admin juga manusia :D)BTW yang mau Mensupport Admin BanyakCerita dengan Menklik Gambar Diatas dan admin akan semakin semangat dapat mengupdate cerita full langsung sampai Tamat.
Terima Kasih 🙂