Cerita Dewasa Setelah Walk in Interview
Saya cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya. Kemeja putih berbunga bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana panjangnya yang juga berwarna ungu.
Wahaliran matchingisme nih, pikirku. Hi mbak, look so nice, kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang out of mind itu.
Thanks, you too, jawabnya lagi sambil tersenyum. Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kita langsung berangkat. Karena mbak Tia meminta untuk tidak makan berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan city view yang bagus banget di bilangan dago pakar. Kalo udah malem, kelihatan indahnya warnawarni lampu kota Bandung dari situ. Many times Ive been there, but still never get bored.
Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlapkerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja.
Kalo dilihat dari facenya sih nggak cantikcantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart.
Daripada dengan cewek cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalo diajak ngomong nggak pernah nyambung dan otaknya isinya cuman kosmetik sama sale baju atau factory outlet doank sih jauh banget bagusan Tia kemana mana.
Pokoknya smartlah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.
Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embelembel mbak di depannya) memesan lasagna, biar nggak terlalu kenyang katanya.
Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asik banget melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu momen yang bagus banget saat tibatiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya sambil berkata, Lho kok malah nggak makan ?.
Hhhmmm..asli sumpah bagus banget anglenya. Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, so mungkin inilah yang disebut dengan angle terbaik.
Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu. Heh..kok malah bengong ?, Tia membuyarkan lamunan saya seketika.
Ah nggak kok, cuman lagi ingetinget aja tadi taruh kunci kost dimana ?, jawab saya sambil mencoba berbohong. Kalo dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi nggak enak suasananya.
Ooohhh. , sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak. Terus terang saya selalu rada takut menghadapi alumnialumni fakultas psikologi, takuttakut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha. .
Lalu kita terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992.
Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik lakilakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saatsaat perjuangan reformasi mahasiswa medio 1998 lalu.
Dia pernah hampir saja menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin 20an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang terlanjur dihamilinya.